Langsung ke konten utama

Postingan

Larut dalam Imajinasi Sampul-sampul Klasik Nh. Dini

Sekarang saya sedang mendedikasikan sebagian waktu untuk membaca beberapa buku.   Di antara judul-judul yang saya baca ialah karya Nh. Dini: “Langit dan Bumi Sahabat Kami” serta “Tanah Baru Tanah Air Kedua”.   Dua judul itu saya punyai dalam dua versi sampul dari dua penerbit berbeda.   Sebelumnya saya telah membaca “Langit dan Bumi Sahabat Kami” yang diterbitkan oleh Gramedia. Kali ini saya memilih bernostalgia dengan sampul yang lebih lawas terbitan Pustaka Jaya. Sedangkan “Tanah Baru Tanah Air Kedua” terbitan Pustaka Jaya merupakan “reborn” dari “Orang-orang Tran” terbitan Sinar Harapan. Buku-buku karya Nh. Dini dengan sampulnya yang cantik (dok.pribadi). Saya punya alasan khusus untuk memilih membaca kembali karya Nh. Dini tersebut. Selain ceritanya saya sukai, juga karena ilustrasi sampulnya yang memikat. Meski diterbitkan oleh dua penerbit berbeda, masing-masing sampul menurut saya tetap akurat mewakili cerita yang Nh. Dini tulis di dalamnya. Menyandingkan sampul depan “Langit da
Postingan terbaru

Masjid Sekayu, Tertua di Jawa Tengah, Tetangga Rumah Nh. Dini

Dari Nh. Dini saya tahu keberadaan masjid ini. Melalui cerita-cerita kenangan yang ia tulis: “Sebuah Lorong di Kotaku”, “Padang Ilalang di Belakang Rumah”, “Langit dan Bumi Sahabat Kami”, dan “Sekayu”. Dalam cerita-cerita tersebut berulang kali Nh. Dini menyinggung masjid sebagai patokan tempat tinggalnya. Ia menyebut lingkungan rumah sebagai “kampung selatan masjid”. Sedangkan rumahnya ditandai sebagai “rumah di selatan masjid”. Isyarat bahwa masjid ini melekat kuat di ingatan dan hati Nh. Dini sebagai salah satu tempat yang istimewa. Masjid Sekayu (dok.pribadi). Dalam “Langit dan Bumi Sahabat Kami”, Nh. Dini bercerita bahwa saat kecil ia mengagumi lantunan azan dari masjid tersebut. Seruan indahnya terdengar hingga ke rumah Nh. Dini yang jaraknya sekitar 100 m dari masjid. Namun, ia tak tahu muazin di balik suara merdu itu. Suatu hari seorang tetangga tiba-tiba datang ke rumah mencari kakak Nh. Dini yang bernama Teguh. Rupanya Teguh belum hadir di masjid sehingga azan terlambat dikum

Bertamu ke Rumah Nh. Dini, Menyimak Kisah Kenangan Tentangnya

"Keinginan menginjakkan kaki di rumah masa kecil Nh. Dini telah tercapai. Namun, duduk di teras rumah itu dan diterima oleh seorang anggota keluarganya merupakan keberuntungan yang tak saya duga. Pengalaman yang mengatasi sebagian ketidaktahuan saya tentang Nh. Dini". Rumah Nh. Dini di Sekayu, Kota Semarang (dok.pribadi).  Menurut salah seorang warga Sekayu, sebelum kedatangan saya pada Minggu pagi (19/2/2023) itu ada sekelompok mahasiswa yang hendak bertamu ke rumah Nh. Dini. Namun, mereka urung mencapai halaman dan rumah sang sastrawati. Kemungkinan karena tak memberi kabar rencana kedatangannya terlebih dahulu. Saya pun sebenarnya datang tanpa diundang, apalagi memberi kabar. Ibarat orang asing yang tiba-tiba muncul di depan pagar rumah seseorang, lalu terpaku agak lama mencari tahu cara agar bisa melihat rumah itu lebih dekat. Berdiri dengan keraguan akankah saya diterima bertamu? Terdiam dalam bimbang bolehkah membuka sendiri pintu pagar dan melangkah ke halamannya? Namu

Lorong-lorong yang Mengantar Saya ke Rumah Nh. Dini

 “Petunjuk dari bapak penjual wedang tahu di Jalan Depok menuntun saya memasuki lorong-lorong sempit di Kembang Paes. Dimulai dari tempat itu, langkah kaki menuju rumah masa kecil Nh. Dini dilalui dari lorong ke lorong” Lorong Jalan Sekayu di muka rumah Nh. Dini (dok.pribadi). Semarang teduh dan tenang pada Minggu (19/2/2023) pagi. Dari lantai 3 penginapan, Jalan Depok seperti masih enggan menggeliat. Belum banyak kendaraan lalu lalang. Pertokoan dan bangunan di sepanjang jalan banyak yang masih menutup pintu. Padahal ini salah satu jalan besar di tengah Kota Semarang. Barangkali karena waktu baru menunjukkan pukul enam lewat. Setengah jam kemudian dari ruangan resepsionis, sebelum mengembalikan kunci kamar, saya sempatkan melongok lagi ke arah Jalan Depok. Kali ini situasi sedikit lebih ramai. Beberapa orang berpakaian rapi melintas, menyeberang, lalu mengarah ke terusan yang sama. Semuanya berjalan kaki. Saya menduga mereka hendak pergi ke gereja untuk beribadah Minggu. Menginap di J

Semangkuk Soto Gerabah di Belakang Rumah Nh. Dini

Padang Ilalang itu membatasi halaman belakang rumah dengan sungai. Di sana saat ilalang dibabat, Nh. Dini untuk pertama kali melihat rupa orang Jepang yang datang sebagai penjajah. Lewat belakang rumah pula, Nh. Dini bersama ibu dan para kakaknya berjalan membelah malam, menyeberang jembatan menuju kampung Batan untuk mengungsi saat pertempuran meletus di dekat Sekayu. Lain hari ketika hujan deras mengguyur tanpa henti, sungai meluap menggenangi padang ilalang.  Sebuah kolam dadakan pun muncul di belakang rumah. Ikan-ikan dari sungai terjebak di sana. Dengan gembira, Dini kecil bersama kakak-kakaknya dan sang ayah memanennya sebagai lauk. *** Soto gerabah di belakang rumah Nh. Dini (dok.pribadi). Kini padang ilalang tak dijumpai lagi. Namun, rumah Nh. Dini masih berdiri di kampung Sekayu yang telah semakin padat. Terhimpit oleh pertumbuhan kota Semarang serta rumah-rumah yang berjejalan di kanan kiri lorong jalan sempit. Padang ilalang di belakang rumah Nh. Dini telah berubah. Digantik

Pakai Batik Keren, Bukti Ferdy Sambo Sangat Cinta Tanah Air

Kamu adalah apa yang kamu pakai.   Sudah lama kita mengenal pepatah bijak di atas. Terutama untuk menerangkan bahwa busana atau pakaian yang dikenakan seseorang mencerminkan pemakainya. Ferdy Sambo dengan batiknya yang keren di pengadilan (foto: liputan6.com). Walau ada pula pepatah yang menyarankan agar kita tidak menilai seseorang dari sampulnya, tapi pakaian seringkali secara akurat menjelaskan karakter, prinsip, atau kepribadian seseorang. Kita juga sering sengaja memilih pakaian tertentu sebagai pembawa pesan tentang nilai dan pemikiran yang ingin kita sampaikan. Misal, mengenakan pakaian serba hitam atau gelap ke acara pemakaman menandakan kita sedang merasakan kesedihan. Menggunakan baju penuh warna ke acara reuni mengandung makna bahwa kita sedang bahagia. Begitu pula orang yang setiap hari suka mengenakan pakaian kasual kemungkinan besar merepresentasikan karakter pemakainya yang santai dan luwes. Selain itu, pakaian atau busana tertentu juga sering dipilih karena pemakainya i