Langsung ke konten utama

Postingan

Raja Jawa dan Kekuatan Tanah Kuburan

Membaca beberapa karya sastra dan mengingat lagi sejumlah novel sejarah yang pernah dibaca, membuat saya tidak terlalu terkejut dengan geger politik dan demokrasi di Indonesia hari ini. Memang dinamika politik melaju dengan cara dan kecepatan yang mengejutkan. Namun, mengikuti pola atau intrik penyalahgunaan kekuasaan dan penghancuran demokrasi, rasanya seperti sedang membaca ulang tulisan-tulisan para pujangga dan sastrawan.   Presiden Jokowi berbusana Raja Keraton Surakarta (shutterstock.com via kompas.com) P ara pujangga sastra dan penulis sejarah telah sejak lama menaruh perhatian. Seolah sedang memperingatkan, karya-karya mereka mengungkap wawasan seputar pola dan perilaku kekuasaan.   Para pujangga, penulis novel, maupun kritikus sejarah itu tidak membual. Meski karya mereka berupa fiksi sejarah, isinya bukan khayalan. Mereka berpikir dan menulis berdasarkan perenungan, pengamatan, pengalaman, serta penelitian. Itu sebabnya karya-karya mereka abadi. Buah pemikiran mereka kembali
Postingan terbaru

Roman yang Merawat Ingatan, Sastra yang Membangkitkan Pengorbanan untuk Bangsa

Sudah 79 tahun Indonesia merdeka. Kembali upacara peringatan HUT RI digelar. Syukuran dan renungan pada 16 Agustus malam masih diadakan. Aneka lomba meriah di mana-mana sepanjang bulan. Pekik “merdeka!” diteriakkan bersahut-sahutan di sepanjang jalan saat karnaval. Roman-roman perjuangan, merawat ingatan sejarah (dok.pribadi). Namun, semua perayaan tahunan itu seringkali konteksnya selesai ketika upacara ditutup, lomba diakhiri, dan syukuran disudahi. Setelah itu seolah “kewajiban” kita selesai. Seakan merawat warisan para pejuang dan pendiri bangsa telah tuntas ditunaikan. Sementara kenyataan lain dalam kehidupan menunjukkan terus pudarnya ingatan bangsa ini pada pengorbanan pejuang dan bagaimana kemerdekaan itu direbut serta dipertahankan. Banyak generasi muda yang tak mengenali siapa Soekarno, Hatta, Jenderal Sudirman dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang merasa tidak perlu untuk mengetahui dengan cara apa dan bagaimana merah putih akhirnya bisa dikibarkan. Ingatan kita  terlalu p

Dikalahkan Pegi Setiawan di Praperadilan, Para Polisi Malu Bertemu Tetangga?

Pil teramat pahit kembali ditelan paksa oleh Kepolisian Republik Indonesia yang baru saja riang menyanyikan lagu “happy birthday”. Palu seberat berton-ton seolah menghantam kepala para aparat yang sedang bersantai menikmati kemapanan di balik seragamnya. Kado dan kue yang belum lama dinikmati saat hari ulang tahun Bhayangkara 1 Juli kemarin ternyata hanya untuk di kalangan sendiri. Sebab faktanya banyak masyarakat sedang memandang sinis   dan kritis ke arah polisi. Pegi Setiawan vs polisi (dok.pribadi). Bulan madu karena indeks kepercayaan yang semakin pulih usai dihajar oleh kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa dan Tragedi Kanjuruhan juga tak punya makna mendalam. Sebab kenyataannya penyakit lama belum benar-benar sembuh. Setidaknya hari ini kerja dan profesionalisme kepolisian sedang disorot tajam pada 2 kasus. Pertama, pengungkapan kasus pembunuhan Vina yang menyeret Pegi Setiawan sebagai tersangka baru dengan label buronan lama. Kedua, kasus kematian Afif di Padang yang dipenuhi kejan

Warisan Kenangan pada Buku Bekas dan Lawas

Buku bekas bukan barang sembarangan. Setiap mendapat buku bekas dan lawas, saya menanti penuh penasaran. Warisan kenangan apa yang akan saya dapatkan? "Pada Sebuah Kapal" karya Nh. Dini. Buku lawas ini sudah berumur hampir 50 tahun (dok.pribadi). S aya sedang sangat senang memandangi sebuah buku. Hanya memandangi tanpa membaca isinya. Sebab cerita di dalamnya sudah lama saya lahap. Meski dari cover yang berbeda, tapi sama judulnya. Buku yang saya maksud ialah Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang merupakan edisi klasik. Yakni yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1973-1979. Sudah tentu kenampakkannya penuh dengan kelawasan. Cover, kertas halaman, dan cetakan-cetakan di atasnya bernuansa jadul. Ilustrasi covernya unik sekali. Seperti goresan cat air yang membentuk wujud tertentu serupa wanita dan layar sebuah kapal. Aroma kertasnya menyengat seolah telah memerangkap banyak debu, udara dan kelembaban yang melingkunginya selama 50 tahun. Sedangkan pada jilid