Langsung ke konten utama

KAHITNA dan "Titik Nadir", Cara Indah Menghayati Kehilangan

"OK, kenyataan memang seringkali tak ramah. Tapi, mari coba kita rayakan titik nadir ini dengan indah”.


KAHITNA (dok. pribadi).

Barangkali itu pesan tersirat yang ingin KAHITNA sampaikan tepat saat hari jadinya yang ke-39 tahun pada pada 24 Juni 2025. Hari saat mereka mempersembahkan karya terbaru berjudul “Titik Nadir”.


Kisahnya kembali tentang “cinta yang tak memiliki” dengan penegasan “menjaga jodoh orang lain”. Sepasang manusia yang sudah membayangkan jalinan masa depan indah berdua selamanya. Namun, akad yang terjalin ternyata bukan di antara mereka. Ada orang lain yang tiba-tiba hadir dan menggantikan. Pada akhirnya pelaminan itu menjadi panggung bertabur bunga untuk untuk orang lain dengan seorang yang diundang dan datang hanya untuk menonton cintanya yang tak teraih.


Dibawakan bersama solois wanita bersuara sendu dan merdu, Monita Tahalea, “Titik Nadir” menambah himpunan karya-karya indah KAHITNA. Menyusul deretan lagu  cinta yang setiap orang bisa menebak judulnya dengan lancar di acara-acara kuis musik serta melantunkan liriknya dengan tanpa keraguan di kamar mandi dan ruang-ruang karaoke.


Saat orang-orang belum bosan dan memang takkan pernah bosan dengan Cerita Cinta, ketika orang-orang masih merona mendengarkan Andai Dia Tahu dan tersanjung disapa Cantik. Saat banyak hati belum lupa pada Mantan Terindah atau ketika siapapun yang ikut menyanyikan Tak Sebebas Merpati menjadi terbawa bahagia. KAHITNA menyodorkan “Titik Nadir” sebagai salah satu cara yang indah menghayati realita kehilangan, patah hati.


Titik Nadir (dok. pribadi).

Tentu tak ada yang menyenangkan dari patah hati. Tak ada yang membanggakan dari sebuah kehilangan dan kejatuhan. Sama halnya tak ada orang yang benar-benar secara sukarela menelan sendirian perasaan tumbang dihantam kenyataan.


Ya, kenyataan memang seringkali kurang rumah pada para pemilik hati yang telah sabar dan terlalu kejam pada mereka yang telah berharap penuh keyakinan. Walau demikian, tetap lebih banyak pemilik hati yang berhasil bertahan, tegar dan akhirnya bangkit setelah dihantam patah hati.


Begitu pula yang tertuang dalam Titik Nadir. Dari awal hingga akhir lirik lagu ini nyaris seluruhnya berupa kekelaman. Tanpa basa-basi lagu ini dibuka dengan: “Sampai juga di titik nadir cinta ini semakin tak mungkin kuraih”. 


Dengan langsung menyebut “titik nadir” di awal lagu, KAHITNA sedang tidak menutup-nutupi kenyataan bahwa perasaan kehilangan dan patah hati memang seringkali tidak bisa diperhalus: “sakit, ya memang sakit, kelam dan memang kelam sehingga tak perlu pura-pura tidak sakit jika kenyataannya hati memang koyak dan terlempar ke titik nadir”.


Pembuka lagu yang tak bertele-tele semacam ini mengingatkan kita pada kecenderungan KAHITNA yang tak terlalu bermegah-megah dalam liriknya. Setidaknya kita  masih ingat bagaimana Mantan Terindah juga dimulai dengan: “Mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku”.


Titik Nadir (tangkapan layar musica studios).

Menyimak “Titik Nadir” seperti KAHITNA menemukan catatan harian seseorang yang terserak di suatu tempat, membawanya ke studio dan mulai membukanya. Sementara Hedi dan Mario membacakan isinya, Yovie Widianto dan kawan-kawan telah memainkan musiknya. 


Kesan itu terasa lewat lirik bernuansa apa adanya, seperti: “di pelaminan itu masih sempat kau melihat tepat ke arahku, aku tertunduk”. 


Kita akan mudah menghayati kalimat semacam itu sebagai tulisan yang dibuat seseorang secara spontan di lembar kosong diary-nya pada hari kesekian setelah ia datang ke akad dan pernikahan mantan kekasih. Dan seseorang yang menulis diary hampir tak pernah merasa perlu untuk mengutak-atik kalimatnya lagi. Sebab yang tertulis pertama kali adalah suara paling jujur dari hati.


Maka jadilah “Titik Nadir” lagu yang apa adanya. Lagu yang intim karena mewakili banyak hati dan mencerminkan perasaan terdalam dari sebuah kehilangan. Senyap, tapi juga hangat. Kelam sekaligus indah. KAHITNA memang juaranya dalam mengolah paradoks semacam itu. 


Teristimewa Monita bagaikan kekasih sejati yang tepat untuk lagu ini. Amat jarang KAHITNA berkolaborasi merekam lagunya bersama solois. Terakhir KAHITNA mengajak solois pada lagu Terima Kasih Cinta yang dibawakan bersama Dea Mirella di album Cinta Sudah Lewat (2003).

Titik Nadir (dok. pribadi).

Beberapa bagian dalam “Titik Nadir” mungkin tidak langsung mudah dinyanyikan pada awalnya. Orang perlu sedikit berlatih untuk bisa mengikuti dan menirukan liukan serta patahannya. Namun, tak perlu khawatir karena  aransemen musik KAHITNA yang khas selalu merupakan pengiring terbaik. 


Lazimnya sebuah lagu, setiap orang boleh memaknai “Titik Nadir” secara berbeda. Jika itu adalah sebuah akhir, maka menutup semua pintu pertemuan mungkin boleh dianggap cara bijaksana untuk mulai melupakan. Seperti KAHITNA katakan: “Meski hatiku untuk kamu, meski hatimu tetap aku, jangan coba kita tuk bertemu”. 


Namun, jika “Titik Nadir” merupakan fase yang perlu disinggahi untuk menuju ikhlas, maka tak mengapa sejenak larut dalam perasaan tumbang itu sambil mencoba memahami bahwa salah satu tugas terpenting manusia ialah memastikan orang yang dicintai bisa bahagia dalam kehidupannya.

Titik Nadir (tangkapan layar musica studios).

Tak apa jika yang sebentar atau lama itu berakhir. Semoga "Titik Nadir" ini bisa pelan-pelan menemani perjalanan menuju ikhlas. Menuju yang indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...