Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Dawet Mbah Hari di Pasar Beringharjo, Segar Sejak 1965

Berjalan dari Stasiun Besar Yogyakarta alias Stasiun Tugu ke Pasar Beringharjo pada Sabtu (21/12/2019) ternyata sedikit melelahkan dari biasanya. Padahal sudah sering kaki melangkah menyusur jarak yang lebih jauh lagi.   Dawet Mbah Hari di Pasar Berongharji Yogyakarta (dok. pri). Akan tetapi rupanya kala itu sedikit berbeda kondisinya. Selain perut belum terisi makanan berat, juga karena hawa cukup gerah. Langit yang sempat terlihat teduh ternyata bukan berarti tak mengundang peluh.   Menginjak Pasar Beringharjo sekitar pukul 10.00 saya segera menyasar lantai bawah yang menjadi gudang batik aneka rupa. Maksud hati ingin melihat-lihat kemeja batik untuk menggantikan sebuah kemeja lama yang sudah   menciut. Selain itu hendak membeli geplak dan dodol titipan orang rumah. Baru lima belas menit berburu batik, saya memutuskan menepi. Sejenak keluar memisahkan diri dari kerumunan pengunjung pasar yang sama-sama tergila-gila pada batik. Sebabnya peluh dan keringat

Laris Manis Buku Bajakan, Moralitas yang Rusak di "Car Free Day" dan "Marketplace" Indonesia

Minggu, 20 Oktober 2019, untuk kesekian kalinya saya berjalan-jalan di Car Free Day  (CFD) Kota Solo, Jawa Tengah. Bagi saya CFD Solo yang membentang di Jalan Slamet Riyadi adalah salah satu CFD ternyaman di Indonesia.   Buku-buku bajakan berharga murah yang dijual di salah satu lapak di Car Free Day Kota Solo, Jawa Tengah (dok. pri). Saya selalu merasa segar dan antusias menyusuri kawasan ini pada Minggu pagi. Meski sepanjang itu pula saya harus menjumpai satu potret yang memprihantinkan. Di depan sebuah hotel, menempati ruas trotoar yang lebar, tergelar sebuah lapak buku. Ada banyak buku dari penulis terkenal, best seller , hingga judul-judul terbaru yang dijajakan. Tak jarang ada pengunjung CFD yang tertarik kemudian menghampiri. Tentu saja jika ada kecocokan, transaksi jual beli bisa terjadi dan buku pun berpindah tangan. Buku Bajakan di Ruang Publik Lalu apa yang memprihatinkan dari pemandangan semacam itu? Bukankah hal bagus ada penjual buku d

11 Tahun Kompasiana, Jurnalisme Warga di Tengah Obsesi Popularitas

Hari Minggu lalu, 13 Oktober 2019, blog saya ini tepat berumur satu tahun. Lebih tepatnya satu tahun umur www.hendrawardhana.com . Cikal bakalnya sendiri, yakni wardhanahendra.blogspot.com sudah ada sejak 2011.   Akan tetapi blogpost ini bukan membahas hendrawardhana.com . Rasanya tak ada yang istimewa dari blog ini kecuali bahwa saya senang mengetahui telah banyak tulisan yang tertuang di dalamnya. Selebihnya belum ada keunggulan dari blog pribadi ini yang pantas untuk diangkat sebagai cerita khusus. "Esensi bukan sensasi", kata Kompasiana dulu (dok. pri). Beda halnya dengan Kompasiana yang kebetulan juga berulang tahun pada bulan Oktober. Kompasiana resmi menjejak umur 11 tahun pada 22 Oktober 2019.  Dengan umur yang telah melampaui satu dasawarsa, tentu banyak keistimewaan yang melekat pada Kompasiana.   Silakan mencari tahu di google, di buku-buku, di dokumentasi-dokumentasi acara, atau di naskah-naskah hasil penelitian. Kompasiana bisa dite

Festival Bocah Dolanan 2019: Merindukan Dolanan, Menolak Jadi Robot

"Ponsel pintar adalah simbol kedigdayaan teknologi modern. Namun, penggunaan gawai canggih tersebut secara berlebihan telah memangsa anak-anak dan menjadikan mereka robot yang kehilangan kepekaan. Dolanan atau permainan anak tradisional bisa menjadi pemulih dan penyeimbangnya" Festival Bocah Dolanan 2019 (dok. pri). Minggu pagi, 13 Oktober 2019, halaman Museum Radya Pustaka di Kota Surakarta terlihat ramai dan meriah. Banyak orang dari Car Free Day di Jalan Slamet Riyadi membelokkan langkahnya untuk ke halaman museum. Sebuah panggung di depan pintu museum segera dipenuhi masyarakat dan terutama anak-anak.   Tabuhan musik dan suara riang bocah membuat suasana pagi dilingkupi keceriaan. Cuaca yang cerah kian berwarna dengan tingkah para bocah. Sebuah lagu berbahasa Jawa terdengar keras dinyanyikan. “Ayo kanca dolanan neng jaba, padhang wulan wulane kaya rina Rembulane sing awe-awe Ngelingake aja padha turu sore” Lagu riang tersebu