“Karunia terbesar yang paling diinginkan manusia ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya”
Saat membaca ulang novel “Arok Dedes” karya Pramoedya Ananta Toer beberapa waktu lalu, kutipan di atas terasa amat mengusik.
Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah sepak terjang para pemburu kekuasaan yang saling bersekutu sekaligus berkhianat demi menjadi yang paling berkuasa. Kebaikan dan kelaliman, kemuliaan dan kenistaan, keteladanan dan keburukan lebur tanpa batas yang tegas hingga tokoh protagonis dalam Arok Dedes pun bukan sosok pahlawan yang suci.
Tak sekadar intrik perebutan kekuasaan, di kedalaman lain Arok Dedes juga menghadirkan dinamika kehadiran agama-agama di tengah masyarakat. Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah yang diwarnai ketidakrelaan dan kecemburuan suatu kelompok keyakinan atau agama terhadap keyakinan lain. Secara ringkas Arok Dedes bisa diceritakan menurut perspektif berikut:
“Tumapel yang saat itu dipimpin oleh Tunggul Ametung dianggap semakin bercorak Hindu Wisnu. Kondisi tersebut membuat para pemuka Hindu Syiwa tersisih dan tidak lagi dominan pengaruhnya. Mereka tidak lagi berada di lingkaran dekat kekuasaan. Tak lagi pula dilibatkan dalam urusan-urusan keagamaan di kerajaan maupun di tengah masyarakat Tumapel. Raja dan pejabat tidak lagi menganggap para pemuka Syiwa sebagai tokoh yang perlu dimintai pertimbangan-pertimbangan.
Para pemuka Syiwa menganggap para penganut aliran Wisnu sebagai kelompok yang lebih rendah sehingga tidak pantas memimpin atau menempati kedudukan yang lebih tinggi. Selain menyembah dewa yang berbeda, pemuka Syiwa menilai beberapa ritual pemuja Wisnu telah menyimpang. Hirarki sosial yang ditetapkan oleh penguasa-penguasa penganut Wisnu dianggap merusak tatanan kasta menurut pemuja Syiwa.
Pertentangan antar pemeluk Hindu yang berbeda aliran tersebut mula-mula tidak secara terbuka ditunjukkan. Hanya dalam pertemuan-pertemuan internal pemuka Syiwa menggerutu dan mengungkapkan ketidaksenangan mereka atas semakin kuatnya eksistensi serta pengaruh aliran Wisnu di kerajaan.
Sementara penganut Syiwa dan Wisnu memendam iri dan ketidaksenangan, terhadap Budha juga muncul pandangan curiga. Apalagi setelah penguasa lokal memperlihatkan perhatiannya yang besar pada “agama baru” tersebut. Pembangunan candi-candi Budha dicurigai mengambil batu dari bangunan-bangunan Hindu.
Bagai api dalam sekam, kecemburuan dan rasa iri yang menghinggapi para pemuka agama di Tumapel mendapatkan bahan bakar. Kesewenang-wenangan penguasa Tumapel menjadi momentum bagi pemuka-pemuka agama untuk mensponsori kudeta atau pemberontakan.
Arok maupun tokoh-tokoh pemberontak lainnya masing-masing memiliki penyokong utama dari kalangan “orang suci”. Arok didukung oleh Lohgawe, sedangkan Kebo Ijo dikendalikan oleh Belangkaka. Mereka tidak rukun satu sama lain. Namun sama-sama menghendaki jatuhnya Tunggul Ametung.
Meski para “orang suci” tidak terlibat langsung dalam pertempuran, mereka aktif di belakang layar dengan merestui pihak-pihak yang dianggap mampu melengserkan penguasa. Harapannya setelah penguasa Tumapel berhasil dilengserkan, pengaruh Wisnu bisa dikikis dan Syiwa kembali tegak sebagai ajaran tertinggi di Tumapel.
Di akhir cerita Tumapel berhasil diambil oleh kelompok Arok berkat strategi yang cerdik sekaligus licik. Selain mampu menggulingkan Tunggul Ametung, Arok sekaligus melumpuhkan para pesaingnya sesama pemberontak.
Saat berbicara pertama kali sebagai penguasa baru, Arok melontarkan pernyataan bahwa di bawah kekuasaannya semua keyakinan agama harus dan akan diperlakukan setara. Tidak boleh ada penindasan dan perbudakan satu sama lain.
Namun, benih kecemburuan dan rasa iri ternyata tetap hidup dalam lubuk hati terdalam orang-orang. Dalam suatu kesempatan ibadah bersama, permaisuri Arok yang memuja Syiwa diam-diam masih tidak rela berbagi ruang dan tempat dengan pemuja Wisnu.
***
Melalui uraian di atas ada dua hal penting yang bisa ditarik dari peristiwa kudeta kekuasaan di Tumapel. Pertama, bahwa sejak dulu agama telah dilibatkan dalam praktik politik dan kekuasaan. Baik untuk menjaga stabilitas kekuasaan maupun merebut kekuasaan, para pemuka agama telah menggunakan pengaruhnya secara efektif.
Kedua, adanya perasaan tersisih, iri, dan cemburu yang menghinggapi para pemuka agama serta penganutnya di Tumapel menunjukkan sifat dasar manusia yang ingin menguasai dan mempengaruhi sesamanya. Kehendak itu menimbulkan ketidakrelaan untuk berbagi ruang dan tempat. Bahkan berkembang menjadi rasa benci terhadap kelompok keyakinan lain.
Apa yang terjadi Tumapel memperlihatkan bahwa intoleransi telah ada sejak dulu. Dalam hal ini kita pantas bertanya: benarkah pada masa dahulu agama-agama berkembang di Nusantara secara damai?
Seperti yang dikisahkan dalam Arok Dedes, sikap kurang bisa menerima keberagaman memicu kebencian antar penganut aliran dalam satu keyakinan yang sama. Sementara perasaan tersaingi atas berkembangnya agama baru menimbulkan rasa tidak rela akan kehilangan pengaruh dan pengikut.
Keterlibatan para orang suci di balik kudeta dan pemberontakan mengindikasikan ada suatu masa ketika perkembangan agama bergantung atau mengandalkan “kebijaksanaan” penguasa. Jika seorang penguasa menganut aliran atau keyakinan yang sama dengan para pemukanya, maka aliran tersebut akan bisa tegak dengan dominasi yang penuh. Pada saat bersamaan eksistensi dan pengaruh keyakinan lain bisa diredam.
Seolah pada saat itu bagi para pemuka agama di Tumapel satu-satunya cara untuk menegakkan pengaruh agama ialah dengan melibatkan diri dalam kekuasaan. Tak peduli apakah pemuka agama yang menunggangi kudeta atau kelompok pemberontak yang memanfaatkan pengaruh pemuka agama. Akibatnya eksistensi agama menjadi berisinggungan dengan pergantian kekuasaan yang brutal. Maka dari itu ada kecenderungan pada satu masa perkembangan agama dan aliran keyakinan di Nusantara berlangsung secara kurang damai.
Arok Dedes memang sebuah sastra atau novel sejarah yang tidak serta merta bisa dijadikan referensi sejarah. Namun, bukankah sastra yang baik bisa mencerminkan kondisi masyarakat dan zaman tertentu?
Begitu pula sastrawan yang baik bisa menyampaikan pengetahuan tentang realitas secara kreatif. Dengan intuisi dan perspektif yang dimiliki, sastrawan menghadirkan alternatif kebenaran. Artinya, sastra merupakan cara atau bentuk lain untuk menampilkan dan memperjelas realita.
Melalui sastra bisa didapatkan pengalaman-pengalaman yang tidak hadir dalam buku-buku sejarah. Pengalaman-pengalaman itu jika dikaji mungkin akan membawa kita pada pengetahuan atau pengertian lain tentang suatu persoalan. Dalam hal ini pemahaman bahwa agama-agama berkembang di Nusantara secara damai boleh jadi memiliki alternatif yang sedikit berbeda.
Membaca Arok Dedes seperti kita mengalami “kenyataan” masa silam yang sebenarnya. Meski novel sejarah berbeda dengan fakta sejarah, Arok Dedes memberi konteks dan makna yang logis. Terutama untuk mengaitkannya dengan intoleransi yang masing sering terjadi di tengah masyarakat sekarang.
Secara umum kerukunan di Indonesia masih dibilang terjaga. Namun, di akar rumput letupan-letupan kecil juga masih mudah disulut. Seperti ada rasa ketidaksenangan yang terpendam lama dan pada satu titik akhirnya terlampiaskan.
Berbagai peristiwa intoleransi seolah menandakan bahwa potret keakraban yang ditunjukkan oleh para pemimpin agama di acara-acara besar dan kedekatan pemuka-pemuka agama di seminar tentang kerukunan tak meresap sempurna hingga ke bawah. Ataukah sebaliknya, keakraban yang dipertontonkan di acara-acara itu belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapisan terdalam masyarakat?
Beberapa kalangan menilai menguatnya intoleransi di tengah masyarakat merupakan pengaruh ideologi transnasional. Itu bisa diterima dan memang bisa dibuktikan.
Namun, tidak bisa diabaikan kemungkinan adanya faktor lain yang berasal dari dalam tubuh masyarakat kita sendiri. Ketidaksenangan terhadap kelompok keyakinan lain yang diekspresikan dalam bentuk intimidasi, ujaran kebencian, pelarangan ibadah, penolakan tempat ibadah dan sebagainya, mengindikasikan ada yang belum selesai dalam hal penerimaaan terhadap keberagaman.
Ada citra kedamaian yang tidak sepenuhnya damai. Mungkinkah itu warisan dari masa silam seperti yang dikisahkan dalam Arok Dedes?
Komentar
Posting Komentar