Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2014

"Piye Kabare", Menghapus Dosa Rame-Rame

Di lorong deretan toko dan kios  beberapa waktu lalu saya tersenyum melihat sebuah stiker terpasang di gerobak milik seorang penjual cenderamata. Tentu saja senyuman saya bukan untuk membalas senyum yang terbingkai di gambar pada stiker tersebut. Saya tersenyum memaknai sendiri bahwa sudah begitu masifnya hal ini. Seperti sebuah gerakan, fenomena ini terlihat sederhana, hanya berupa untaian kalimat dan sebingkai foto namun sebenarnya sangat “sistematis”. “Piye bro kabare....?. Penak zamanku tho...”. . Atau yang terdengar serupa dan lebih dulu muncul “Piye kabare? Enak jamanku tho ?. Ungkapan sederhana berbahasa Jawa itu seketika menjadi fenomena negeri setahun kemarin dan makin bergaung saat ini. Bagaimana tidak di tengah berbagai masalah yang membelit bangsa saat ini, “sapaan” tersebut berhasil membuat banyak orang berfikir untuk mundur ke belakang. Mundur ke sebuah zaman di mana semuanya “terasa” nyaman meski diam-diam terbungkus penyakit yang menakutkan. Berawal dari jala

Mau Apa Lagi?

Maaf, saya terlambat tahu jika yang sebulan lalu meninggalkan jejak panggilan tak terjawab di ponsel itu kamu. Saya juga terlambat tahu jika saat itu ada panggilan masuk. Sempat ada tanya siapa pemilik nomor ini?. 0813 tak ada dalam rekaman buku telepon.  Namun kemarin tak sengaja saat membaca sebuah tulisan abstrak di sana ada namamu. Lalu sebuah index menuliskan namamu dan sebuah nomor. Meski tak menyimpannya sebulan kemarin, kepala ini masih bisa mengingat itu nomor yang sama.  Untuk apa menelepon waktu itu?. Saya bukan pemeran pengganti lagi. Atau kau salah orang  lagi?. Mau apa lagi, Non?. Semua sudah lewat bertahun-tahun. Jika dulu tak ada kata terakhir, bukankah kini juga tak perlu mengulangi lagi?.  Tak ada yang perlu kita bicarakan, bukan?. Seperti itu yang dulu terjadi saat kau pergi tanpa suara. Sementara di ujung jalan seorang pria hanya bisa diam memintal angin.  Saya bukan pemburu jawaban, kau pun tak harus merasa perlu menyampaikan pesan. Tak pernah ada

ANDAI DIA TAHU

Baru saja pulang dari supermarket. Tujuan awalnya adalah beli obat ke apotek, hari ini agak demam. Tapi entah kenapa tiba-tiba belok arah dan masuk ke supermarket. Di dalam saya merasa ada yang salah tapi gagal mengingat kalauseharusnya ke apotek. Sebabnya di dalam supermarket pengeras suara mengalunkan lagu kesukaan saya. Mungkin pengelola  tahu saya y ang datang belanja malam ini lalu sehingga memutarkan Andai Dia Tahu.  Selanjutnya layaknya orang belanja, saya mengambil keranjang lalu menyusur lorong singgah ke beberapa rak sambil ikut bergumam menirukan lirik lagu manis itu. Satu demi satu barang saya ambil termasuk susu. Selanjutnya menuju freezer, spontan mengambil sebuah wadah kecil berisi sayuran padahal tak pernah ada niat sekalipun belanja sayuran. Tapi akhirnya sayuran itu masuk juga ke keranjang. Pulang dari supermarket saya baru ingat kalau tempat yang seharusnya saya datangi adalah apotek dan obat adalah yang harus saya beli. Tapi hari sudah malam, sudah jamnya tidur d

Gamelan Pusaka Kraton Yogyakarta

  Tak terlalu keras namun bunyi gendhing itu berhasil membuat saya serta sejumlah orang lainnya yang yang kebanyakan orang tua hening untuk beberapa waktu. Penabuhnya yang mengenakan pakaian tradisi penuh wibawa menambah kesan hidmat bunyi-bunyian itu. Beberapa menit awal bunyi yang dihasilkan memang monoton dengan jeda antar pukulan lumayan lama. Tapi gaung dari pukulan sebelumnya awet di telinga. Barulah sekitar 20 menit kemudian tempo yang dimainkan mulai meninggi meski tetap sangat “ballad”. Kali ini bunyinya semakin   bersuara. Sayapun semakin menikmati alunan Gamelan Sekaten itu. Gamelan Sekaten adalah salah satu pusaka Kraton Yogyakarta. Ia tak bisa disaksikan pada sembarang waktu melainkan hanya dikeluarkan dari Kraton dan ditabuh saat bagian utama pagelaran Sekaten . Gamelan Sekaten Yogyakarta memiliki dua rancak yaitu Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu . Sudah lama saya mendengar nama kedua gamelan pusaka tersebut dan akhirnya bisa meny

Ketagihan Sate Cempe Pak Wandi

Sate kambing adalah salah satu yang paling banyak digemari masyarakat Indonesia, termasuk saya. Salah satu daerah yang terkenal dengan kenikmatan sate kambingnya adalah Klaten. Tak sulit menemukan penjual sate kambing di kota perbatasan DIY dan Jawa Tengah ini. Penjual sate kambing banyak dijumpai baik di dalam kota maupun pelosok kecamatan.   Kebanyakan berupa warung-warung sederhana di pinggir jalan, namun itulah daya pikatnya.  Salah satu yang wajib dicoba oleh penggemar sate kambing dan juga penikmat sate pada umumnya adalah Sate Cempe Pak Wandi .   Saya mendapat rekomendasi tempat ini dari sepupu yang tinggal di Klaten. Katanya sate ini cukup digemari dan jadi langganan sejumlah pejabat daerah setempat. Terletak di Jalan Raya Selatan Wedi, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, tempat ini menyajikan olahan sate yang istimewa karena daging yang digunakan adalah daging cempe.   Cempe adalah anak kambing atau kambing yang masih muda sehingga tekstur   dagingnya lebih l

Tahun Baru: Sepotong Pizza Pertama

Sekian lama dilahirkan sebagai manusia di muka bumi, selama ini saya selalu menjaga darah sebagai orang Indonesia. Bagi saya orang Indonesia sebisa mungkin makan makanan negeri sendiri. Oleh sebab itu saya tak pernah sekalipun mau mencicipi ayam goreng Amerika meski kata orang krispinya luar biasa. Lidah saya tak pernah mencecap kentang dari McD meski katanya gurih dan lembut. Saya selalu eneg setiap kali melihat burger. Sayapun tak pernah tahu yang namanya Pizza meski sering mengunjungi cafe yang menyajikan hidangan Italia.  Namun sesuatu terjadi di malam tahun baru kemarin. Di sebuah cafe yang cukup punya nama, namanya juga mirip salah satu grup musik terkenal Indonesia, saya menghabiskan sore hingga malam bersama sejumlah teman. Bukan untuk menanti tahun baru atau melihat kembang api dan meniup terompet, ada deadline yang harus kami selesaikan sebelum pukul 24.00. Jadi ketika ribuan orang berduyun-duyun menuju pusat kota dan merayakan pesta, kami duduk tepekur menghadap puluh