“Karunia terbesar yang paling diinginkan manusia ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya” Saat membaca ulang novel “Arok Dedes” karya Pramoedya Ananta Toer beberapa waktu lalu, kutipan di atas terasa amat mengusik. Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah sepak terjang para pemburu kekuasaan yang saling bersekutu sekaligus berkhianat demi menjadi yang paling berkuasa. Kebaikan dan kelaliman, kemuliaan dan kenistaan, keteladanan dan keburukan lebur tanpa batas yang tegas hingga tokoh protagonis dalam Arok Dedes pun bukan sosok pahlawan yang suci. Tak sekadar intrik perebutan kekuasaan, di kedalaman lain Arok Dedes juga menghadirkan dinamika kehadiran agama-agama di tengah masyarakat. Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah yang diwarnai ketidakrelaan dan kecemburuan suatu kelompok keyakinan atau agama terhadap keyakinan lain. Secara ringkas Arok Dedes bisa diceritakan menurut perspektif berikut: “Tumapel yang saat itu dipimpin oleh Tunggul Ametung dianggap semakin bercorak Hindu Wi...
Dengan penguasa yang sewenang-wenang, pemerintah berubah menjadi organisasi kriminal. “Lihat, betapa sudah cerah Hindia…”. Begitu sesumbar Gubernur Jenderal penguasa Hindia Belanda suatu kali. Politik Etik dijanjikannya hendak membawa negeri Hindia menuju masa depan yang cerah. Lewat pendidikan manusia-manusia Hindia akan semakin berilmu dan beradab. Dengan irigasi pendapatan negara akan bertambah. Melalui emigrasi akan dibuka perkebunan-perkebunan baru. Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer (dok.pribadi). Namun, Minke segera mengetahui bahwa Politik Etik hanya manis kata-kata. Bangsanya justru akan semakin gelap karena pendidikan hanya mencetak priyayi-priyayi yang tunduk dan bekerja pada kehendak pemerintah dan penguasa. Penduduk Hindia Belanda kebanyakan tetap dibiarkan tertinggal dan terasing dari kemajuan ilmu pengetahuan. Sedangkan pertanian dan perkebunan tak lain adalah penindasan dan perampasan hak-hak petani serta pemilik tanah. Bahkan, ketika Gubernur Jender...