Sejarah masa kolonial di Indonesia, baik penjajahan Belanda, Jepang, hingga pergolakan pasca kemerdekaan kerap diceritakan dengan hanya menonjolkan kepahlawanan pejuang dan nasib rakyat jajahan sambil secara bersamaan menutup ruang bagi kenyataan-kenyataan lain.
![]() |
Semua untuk Hindia (dok. pribadi). |
Seolah sejarah negeri ini hanya dilahirkan oleh orang-orang Indonesia dan hanya dibentuk dari peristiwa-peristiwa seputar kehidupan pribumi. Sementara kehidupan, sikap, dan peran para “londo” di tengah manis dan getir tanah jajahan belum banyak digali dan diangkat.
Penceritaan yang terbatas seperti demikian bisa membuat kita kehilangan fakta sejarah yang lebih besar dan utuh. Di tengah kecenderungan masyarakat yang malas mengingat dan memahami sejarah, lama kelamaan kita akan menjadi generasi yang sulit menerima dan mengakui adanya sejarah lain tentang negeri ini.
Sebanyak 13 cerpen dalam “Semua untuk Hindia” berusaha mengamputasi ketidaktahuan kita terhadap sepenggal sejarah bangsa di seputaran kehidupan orang-orang kulit putih. Iksaka Banu “menghidupkan” lagi orang-orang Indo, wartawan perang, administratur perkebunan, tentara NICA, gubernur jenderal hingga misionaris agama yang sebenarnya turut membentuk sejarah Indonesia.
Dengan pencerita orang pertama dan dari sudut pandang “aku”, jalinan cerita “Semua untuk Hindia” mengajak kita masuk lebih dalam untuk menjenguk masa silam yang jarang diceritakan dalam buku-buku sejarah.
Meski bentuknya fiksi, sekumpulan cerita ini bukan fantasi belaka karena memiliki sandaran fakta sejarah. Maka dari itu kita bisa membayangkan dan seperti merasakan sendiri situasi kedatangan armada Cornelis de Houtman saat pertama kali menyentuh daratan Enggano sebagaimana dikisahkan dalam “Penabur Benih”.
![]() |
Gugurnya misionaris di atas kapal ekspedisi Cornelis de Houtman saat tiba di Enggan (dok. pribadi). |
Ekspedisi yang menjadi cikal bakal penguasaan Belanda atas kepulauan Indonesia tersebut rupanya dipenuhi keputusasaan, tragedi, dan konflik antar anggota rombongan. Wabah penyakit menular menewaskan satu demi satu anggota rombongan. Tidak semua jasad diurus dengan baik. Beberapa dilarungkan begitu saja ke tengah lautan dengan upacara agama sekadarnya. Sementara mereka yang sakit hanya bisa pasrah tergeletak tanpa harapan sembuh. Mereka sedang menunggu waktu gilirannya dibuang ke laut.
Di tengah rasa putus asa dan kelelahan mengarungi samudera, seorang pastor yang hampir sekarat mendapatkan kenyataan pahit lainnya. Terkuak kenyataan bahwa penjelajahan besar yang mereka ikuti hanyalah misi dagang.
Para misionaris ditipu dan nama mereka telah diselewengkan. Awalnya mereka diberitahu bahwa pengarungan samudera ke tempat yang jauh ini merupakan misi suci untuk menabur benih agama. Ternyata hanya sedikit misionaris yang turut serta. Keberadaan mereka sengaja dimanfaatkan demi mendapat restu dari negara yang saat itu sedang dilanda euforia perkembangan agama Katolik dan Kristen di Eropa.
Namun, tak ada lagi waktu dan kemampuan untuk menggugat. Sang pastor meninggal dunia tepat saat kapal yang ditumpanginya tiba di Enggano.
![]() |
Geertje, wanita Belanda yang memilih menjadi Indonesia sepanjang hayatnya (dok. pribadi). |
Sementara itu kisah “Selamat Tinggal Hindia” memaparkan keteguhan hati seorang wanita keturunan Eropa untuk menjadi Indonesia seutuhnya.
Pasca kekalahan Jepang situasi Indonesia dicekam kemelut dan kekacauan baru. Didorong rasa dendam sebagai orang-orang yang pernah terjajah, pasukan rakyat melampiaskan kebenciannya pada orang-orang Eropa, Jepang, dan semua yang dianggap sebagai kolaborator penjajah. Di sisi lain tentara NICA memburu para pasukan rakyat karena dianggap sebagai pemberontak.
Di tengah eksodus orang-orang kulit putih yang ingin menyelamatkan diri, Gertje justru menolak anjuran seorang wartawan Belanda agar ia pergi meninggalkan Indonesia. Bagi Geertje hanya ada satu tanah air yang dikenalnya. Tempatnya lahir adalah Hindia Belanda. Dan ketika nama itu berganti menjadi Indonesia, ia mengucapkan selamat tinggal hanya pada nama Hindia Belanda.
Geertje antusias menyambut nama baru “Repoeblik Indonesia”. Ia telah menetapkan di mana akan berpijak dan ke mana harus bergabung. Maka diam-diam Geertje menjadikan rumah tinggalnya sebagai markas bagi pasukan rakyat. Sampai di ujung nasibnya, hanya Indonesia yang menjadi tanah air Geertje.
Mencuatnya ikatan batin yang kuat antara orang-orang kulit putih dengan tanah kelahirannya Indonesia nampaknya lazim pada masa revolusi kemerdekaan. Tak hanya Geertje, seorang letnan NICA juga merasakannya seperti dalam cerita “Keringat dan Susu”.
Sang letnan merupakan putra pejabat perkebunan teh. Ia lahir di Bandung dan menghabiskan masa kecilnya dalam asuhan seorang wanita pribumi yang menjadi ibu susu.
Suatu malam saat sedang berpatroli, sang letnan dan para anak buahnya mendapat serangan mendadak. Salah seorang pemuda yang melakukan penyerangan berhasil dilumpuhkan, terluka dan mengerang kesakitan. Saat itulah tiba-tiba muncul wanita berkebaya berlari menghampiri dan melindungi si pemuda yang ternyata adalah anaknya.
Melihat ibu dan anak tersebut, sang letnan segera larut dalam nostalgia yang membawanya pada kenangan terhadap ibu susunya. Dekapan sang ibu kepada anaknya yang terluka membuat sang letnan teringat wajah ramah ibu susunya serta aroma keringat dan minyak rambutnya. Ia ingat semasa kecil sering rewel dan ibu susunya menenangkannya dengan memberi ASI.
Demi semua kenangan indah tersebut sang letnan menyuruh anak buahnya untuk melepaskan pemuda dan ibunya.
Suara moral dan gugatan nurani juga muncul dalam “Racun untuk Tuan” yang menceritakan kegalauan hati seorang pejabat Belanda menjelang perpisahannya dengan gundik yang telah memberinya dua orang anak.
Meski tidak dinikahi secara resmi, sang pejabat memperlakukan gundik dan anak-anaknya dengan baik layaknya keluarga. Namun, setelah bertahun-tahun hidup di Hindia Belanda bersama mereka, sang pejabat harus menyadari kenyataan lain bahwa ia mempunyai istri di Belanda.
Saat tiba waktunya si istri menyusul ke Hindia Belanda, tak ada pilihan bagi sang pejabat selain menerima kehadiran istrinya yang berarti juga harus melepaskan gundik dan anak-anaknya. Sebab tidak mungkin baginya menceraikan istri yang sah.
Dalam suasana perpisahan, sang pejabat mengatakan akan tetap membuka pintu rumah bagi anak-anaknya jika suatu hari mereka ingin menginap. Ia juga tidak melarang sang gundik untuk menemuinya jika mengalami kesulitan hidup.
Kisah tersebut memperlihatkan bahwa masih ada sedikit kemanusiaan dan cinta dalam relasi antara tuan eropa dan gundik pribumi yang selama masa kolonial lekat dengan perbudakan, feodalisme dan eksplotasi seks. Meski bukan untuk membenarkan atau menormalkan praktik pergundikan, cerita “Racun untuk Tuan” bisa menjadi pengisi celah-celah kosong sejarah Indonesia yang terlalu lama dibiarkan sebagai ruang gelap.
![]() |
"Semua untuk Hindia" karya Iksaka Banu (dok. pribadi). |
Dalam konteks yang lebih besar, “Semua untuk Hindia” berupaya menunjukkan bahwa sejarah Indonesia tak hanya berupa episode-episode kehidupan penuh kesuraman. Ada lapisan-lapisan wangi yang pernah terhampar meski penindasan tetap harus dilawan.
Saat banyak buku sejarah terasa kering sehingga banyak orang tak berminat untuk membukanya, “Semua untuk Hindia” menunjukkan bahwa sejarah bisa dihidupkan secara lebih indah dalam bentuk fiksi. Sejarah bisa “diselundupkan” secara manis ke dalam cerita nostalgia sehingga menjadikannya tidak pernah usang.
Pada akhirnya himpunan cerpen “Semua untuk Hindia” bisa menjadi jembatan untuk menapaktilasi babak demi babak perkembangan Indonesia sekaligus mengamputasi ketidaktahuan kita tentang masa silam.
Komentar
Posting Komentar