Langsung ke konten utama

Suatu Ketika di Stasiun Jakarta

Masih ada sekitar 5 jam lagi kereta Senja Utama tiba, waktu yang sangat lama jika hanya duduk menunggu tidak melakukan apa-apa. Membaca pun kadang jadi membosankan jika dilakukan di tengah keramaian orang yang lalu lalang. Ditambah suara bising lokomotif dan gerbong yang hilir mudik keluar masuk stasiun. Sementara suasana panas dan ruang tunggu yang tak luas membuat waktu menunggu menjadi ujian bagi saya yang belum terbiasa menumpang kereta api dan menanti boarding lama seperti ini. Beruntung baterai kamera dan ruang memori masih mencukupi untuk mengambil beberapa gambar, mencoba menikmati kehidupan stasiun kereta dengan segala hal yang terjadi di sana dan beberapa di antaranya baru pertama kali saya lihat.
Ketika tiba beberapa hari sebelumnya di stasiun yang sama, Staisun Pasar Senen, saya terkejut menjumpai banyak orang tertidur di peron hanya dengan alas koran. Baru pertama kali saya melihat hal ini. Lalu ketika keluar dan mencapai ruang tunggu saya menjumpai hal yang tak beda, bahkan ada lebih banyak orang yang membujur lelap menghadap segala arah di atas keramik yang dingin. Saya mencoba memahami karena  jam masih menunjukkan pukul 3 pagi, mereka  sengaja menunggu menanti metahari terbit. Tapi hari-hari berikutnya ketika akan kembali ke Yogyakarta, pemandangan yang serupa ternyata dijumpai di siang hari. Beberapa orang terlihat menikmati tidur siangnya di atas lantai dengan lembaran koran yang dihamparkan. Tas punggung yang cukup berisi dijadikannya bantal, tak peduli puluhan atau mungkin ratusan pasang kaki sudah melangkahi tubuhnya. Begitu nikmat sepertinya menunggu dengan cara seperti itu, tapi saya belum berfikir untuk melakukan hal yang sama.

Sementara yang lainnya memilih menunggu dengan  mendengarkan lagu. Sesekali sambil membaca koran. Lalu ada sosok wanita berkerudung melintas di depan mata. Berdiri entah mencari tempat duduk atau menunggu seseorang. Lama ia berdiri di depan saya, bergeser ke arah pintu, mengeluarkan ponselnya dan kembali berdiri menunggu.
 Lewat pukul 5 sore, pengumuman lewat pengeras suara yang memekikkan telinga mengabarkan jika boarding untuk penumpang kereta Senja Utama sudah dibuka. Saya segera meninggalkan ruang tunggu dan menuju sebuah pintu peron. Sesuai jadwal masih 1,5 jam sebenarnya kereta akan berangkat, tapi ternyata antrian penumpang yang hendak boarding sudah mengular hingga 2 lajur. Dari sini saya tahu bahwa mengantri boarding sebaiknya segera dilakukan. Selain untuk mengantisipasi antrian yang panjang, menunggu di dalam peron atau di dalam gerbong jika kereta sudah tersedia akan lebih nyaman dibanding menunggu di ruang tunggu yang tak seberapa luasnya.
Meski di dalam peron kerumunan penumpang juga tak kalah banyak. Apalagi kereta berangkat dari stasiun tersebut, maka bisa dipastikan hampir seluruh penumpangnya akan berkumpul di stasiun itu. Menarik mengamati warna-warni bawaan dan kebiasaan calon penumpang tersebut.
Tak berapa lama setelah menunggu di dalam peron, kereta pun datang, saya  memasuki sebuah gerbong, mencari tempat duduk sesuai nomor dan berusaha menyesuaikan diri dengan suasana gerbong, dengan dinginnya AC dan tempat duduk yang terlalu tegak. Beberapa menit kemudian, bertepatan dengan tenggelamnya senja, kereta Senja Utama berangkat meninggalkan Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk