Selama ini kita mengenal “hukum media” yang berbunyi “Bad News is a Good News”. Itu semacam sindiran atau ungkapan ironi tentang pola pemberitaan media masa kini yang kerap berlebihan dalam menyampaikan informasi dan berita seputar bencana.
Youtube (dok. pri). |
Kita tahu bencana adalah kejadian buruk yang mestinya direspon dengan bersimpati, berempati, atau kalau perlu menyampaikan solusi dan bantuan yang nyata meringankan.
Namun, bagi media kejadian bencana seolah menjadi kesempatan emas. Alasannya karena masyarakat kita suka dengan informasi seputar bencana. Maka setiap ada bencana atau peristiwa yang memilukan, kisah-kisahnya selalu menyedot perhatian masyarakat secara luas.
Media lalu memberitakannya dengan porsi yang besar. Informasi diobral, termasuk informasi-informasi yang tak jelas ikut dilempar ke publik dengan label berita. Segala aspek dikulik dengan dalih “sudut pandang media”. Padahal hal-hal tersebut mungkin tak pantas diberitakan. Semakin parah komentator “palugada” jadi narasumber langganan yang dikutip ocehannya.
Kini di era di mana sumber berita tidak lagi dikuasai oleh media dan produksi informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, hukum “Bad News is a Good News” telah berkembang. Seiring menjamurnya kreator konten di media sosial yang dalam beberapa aspek lebih mampu mempengaruhi masyarakat karena punya banyak pengikut dan fans, hukum yang kurang lebih sama juga berlaku.
“Bad Content is a Good Adsense”. Begitulah kurang lebih hukum media sosial saat ini tentang perilaku dan motivasi sebagian kreator konten di media sosial.
Tidak terlalu sulit mengamati eksistensi hukum tersebut. Ambil contoh di youtube. Terutama semenjak banyaknya artis yang “hijrah” dari layar kaca ke youtube.
Ramai-ramai mereka memproduksi konten yang orang mudah menilainya sekadar menjual kehebohan untuk menarik sebanyak-banyaknya viewer dan pengikut. Ujungnya mudah diterka karena popularitas mudah dikapitalisasi menjadi rupiah lewat iklan dan AdSense.
Tentu tidak semua kreator konten perilakunya seperti itu. Namun, menemukan atau menandai yang demikian tidak sulit.
Kalau motivasinya mendulang rupiah saja, mungkin masih bisa dimaklumi. Kita bisa memfilternya atau memilih untuk menonton konten itu atau tidak. Akan tetapi motivasi memburu rupiah seringkali disertai motivasi-motivasi lainnya yang bisa jadi lebih destruktif. Sebutlah untuk menyebarkan “kebenaran” menurut versinya.
Memang tidak ada kebenaran tunggal karena kebenaran sifatnya relatif. Setiap orang yang memiliki pikiran memiliki kemampuan untuk mencari kebenaran melalui pengalaman-pengalaman hidup. Kebenaran juga bisa didekati dengan pembelajaran yang bisa ditempuh setiap orang.
Walau demikian di dunia ini juga ada ilmu pengetahuan sehingga klaim kebenaran selalu bisa diuji dan dibuktikan. Oleh karena itu, klaim kebenaran tidak persis sama dengan kebebasan berpendapat, apalagi kemerdekaan berkomentar.
Masalah muncul ketika seseorang atau sekelompok orang merasa bahwa klaim kebenarannya perlu diikuti oleh orang lain. Sekelompok orang itu menganggap bahwa kebenaran versi mereka perlu juga dijadikan kebenaran umum yang diimani oleh sebanyak-banyaknya orang.
Apapun caranya klaim kebenaran itu harus dipercaya. Termasuk dengan memanfaatkan media sosial.
Di sinilah bahayanya jika ada kreator konten yang karena kebodohan atau memiliki motivasi kurang baik berupaya memproduksi rangkaian opini atau kebohongan yang disampaikan seolah-seolah sebagai realitas yang sahih. Semakin bahaya jika konten itu terkait bencana atau klaim kebenaran tersebut disampaikan di tengah situasi bencana.
Kalau pemicunya hanya karena kebodohan atau ketidaktahuan, itu tidak terlalu mencemaskan karena kondisi ketidaktahuan ibarat gelas yang kosong atau baru berisi sebagian. Kita bisa mengisinya ulang dengan informasi-informasi yang baik sehingga yang bodoh itu bisa berubah menjadi lebih baik. Gelas yang kosong pun akan menjadi bejana yang berisi kebenaran dan bisa mengalirkan kebenaran pula.
Begitu pun jika konten yang buruk lahir dari sebuah motivasi yang kurang baik. Keburukannya masih bisa diluruskan.
Namun, akan jadi bencana besar jika konten yang buruk memang sengaja dibuat dengan dasar kebodohan dan motivasi jahat sekaligus. Ibarat gelas yang kosong dan tertutup, ia tak bisa diisi ulang. Tutupnya menolak apapun yang hendak diisikan ke dalam gelas. Maka meski sudah berulang kali dihadapkan dengan cahaya pengetahuan, kebodohan itu tak tercerahkan. Walah sudah ditunjukkan fakta yang baik, keburukan tetap mencekeram motivasinya.
Pada era media sosial yang menjanjikan samudera keuntungan materi dan popularitas seperti sekarang, tidak menutup kemungkinan ada orang bodoh sekaligus jahat yang sengaja memproduksi klaim kebenaran untuk meraih keuntungan pribadi dengan memanfaatkan segala macam keadaan, termasuk bencana.
Di sini hukum “Bad Content is a Good Adsense” berlaku. Semakin ngaco kontennya akan semakin menguntungkan karena kontroversi mendatangkan banyak penonton. Motivasi demikian didukung oleh kondisi masyarakat yang masih lemah literasinya serta rapuh pondasinya dalam menyeleksi fakta dan imaji.
Maka bisa dibayangkan betapa bahayanya daya rusak konten-konten buruk yang dihasilkan karena kebodohan dan dilandasi motivasi yang kurang baik. Ini yang beberapa kali kita saksikan di tengah pandemi Covid-19.
Ketika sebagian masyarakat berusaha keras untuk terus saling menjaga dan melindungi sesama, selalu ada pihak lain yang justru menjerumuskan keselamatan masyarakat dengan suara-suara berisiknya yang ngaco.
Sementara obat atau vaksin bisa diupayakan lebih cepat, bahaya-bahaya mematikan dari virus lain berupa konten buruk di media sosial sesungguhnya lebih sulit dibasmi karena kapan pun upaya untuk menyuarakan klaim-klaim itu tidak akan pernah berhenti.
Oleh karena itu, selagi jutaan nyawa terus berusaha diselamatkan setiap harinya, kita tak boleh menutup mata terhadap daya rusak konten-konten buruk di media sosial. Jangan sampai korban bertambah justru disebabkan oleh pandemi konten buruk dan berita bohong. Bukankah kita sudah tahu ada tombol block, report, unfollow, dan unsubscribe?
Komentar
Posting Komentar