Langsung ke konten utama

Minions, Tentang Seorang Anak yang Ingin Terus Merawat Cintanya pada Sang Ibu

Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan banyak orang film Minions terbaru, The Rise of Gru. Terutama karena para makhluk kuning nan menggemaskan itu kembali memunculkan beberapa kosakata bahasa Indonesia dalam dialognya. Di antaranya “nasi goreng”, “kecap manis”, dan “terima kasih”.

Minions (youtube illumination).

Banyak yang menyambut dengan senang dan bangga karena “identitas” Indonesia muncul dalam salah satu animasi terpopuler di dunia. Ada juga yang menganggap biasa saja karena ini bukan kali pertama. Toh, beberapa tahun belakangan sejumlah aktor dan aktris asal Indonesia telah “go internasional” membintangi film-film buatan “barat”.

Namun, muncul pula pandangan sinis tentang Minions. Sejumlah netizen beranggapan bahwa kosakata Indonesia hanya “gimmick” untuk menarik penonton dari Asia, terutama Indonesia. Minions yang berbahasa Indonesia dianggap sebagai materi “pansos” demi kepentingan komersil.

Saya agak terusik dan tertarik untuk menanggapi. Sebagai penggemar dan pembaca karya-karya Nh. Dini, sedikit terganggu dengan anggapan tentang “gimmick” dan “pansos” tersebut.

Mengapa Nh. Dini? Sebab kreator Minions, Pierre Coffin merupakan anak Nh. Dini. Salah satu novelis dan penulis besar Indonesia.

Fakta tersebut sebenarnya bisa mudah dibaca di internet. Akan tetapi mengingat netizen Indonesia hanya “melek teknologi”, tapi kurang “melek informasi”, hal penting semacam itu belum dipahami oleh publik. Apalagi kedekatan antara Nh. Dini dengan anaknya.

Sementara para penggemar dan pembaca setia Nh. Dini tentu mengetahui lebih banyak cerita mengenai Pierre Coffin dan ibunya yang asal Semarang. Sebab dalam beberapa tulisannya, terutama buku terakhir Nh. Dini sebelum ia wafat, diungkap banyak hal tentang “Padang” dan “Minions”.

“Padang” adalah nama tengah Pierre Coffin yang sekaligus panggilan kesayangan Dini kepada putranya. Dalam tulisan-tulisan Dini, nama Padang-lah yang sering muncul dibanding Pierre. Demikian pula kakak Padang, “Marie Claire” yang punya nama Indonesia, “Lintang”.

Cerita tentang Padang dan Minions banyak dipaparkan Dini dalam “Gunung Ungaran”. Padang yang pernah merasakan tinggal di Semarang semasa kecil digambarkan oleh Dini sebagai putra yang baik.

Dalam bukunya Dini pun sedikit membocorkan bagaimana Padang bekerja sampai akhirnya Minions lahir.  Dini pernah ikut mengantre di salah satu bioskop di Semarang untuk menonton Minions. Melihat banyak orang menyukai Minions, Dini merasakan haru sekaligus bangga pada sang anak. Sementara hampir tak ada yang tahu bahwa di dalam gedung bioskop itu ada “Nenek Minions” yang ikut menonton.

Mereka saling mengunjungi. Misalnya saat Dini menjenguk Padang dan keluarganya di Perancis. Sementara Padang menemui Dini di Bali. Bagaimana mereka menikmati pertemuan juga Dini ungkapkan dalam “Gunung Ungaran”. 

Saat sedang bersama, Padang masih suka mencium kening dan pipi Dini ketika berpamitan untuk berangkat bekerja. Kepada Dini pula Padang beberapa kali “curhat” karena pekerjaannya di bidang film sering membuatnya terpisah lama dengan istri dan anak.  

Pendek kata, hubungan ibu-anak tersebut tetap terjaga dan dekat meski terpisah benua.

Sampai kemudian kecelakaan di jalan tol Semarang memisahkan mereka. Tragedi pada  Desember 2018 itu merenggut nyawa Nh. Dini.

Padang yang terpukul berupaya segera terbang ke Indonesia. Sayangnya ia tak mendapatkan tiket keberangkatan tercepat sehingga hanya Lintang yang bisa melihat ibundanya untuk terakhir kali di Semarang.

Gunung Ungaran, di sini Nh. Dini membagikan cerita tentang "Padang" dan "Minions" (dok.pribadi).

Oleh karena itu, jika ada yang berseloroh dan bergurau bahwa Minions buatan orang Jawa karena bisa ngomong “soto” dan “kecap manis”, mungkin ia belum tahu bahwa Minions memang benar dibuat oleh orang berdarah Jawa bernama Padang yang lahir dari ibu asal Semarang.

Dan kosakata Indonesia yang diucapkan oleh Minions bukanlah “gimmick” atau “pansos”. Itu merupakan cara sang kreator untuk tetap mengingat Indonesia sekaligus merawat cintanya pada sang ibu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk

PERBEDAAN

Sejatinya tulisan ada karena sms seseorang yang masuk ke HP Nokia saya kemarin malam. Sebut saja Indah, nama sebenarnya, usianya yang lebih muda dari saya membuat kami beberapa kali terlibat perbincangan seperti halnya saudara. Beberapa hal ia ceritakan pada saya, yang paling sering soal asmaranya beserta segala macam bumbu seperti perkelahian antar wanita (berkelahi beneran), cinta segitiga dan sebagainya. Saya sering “terhibur”mendengar cerita-cerita itu darinya. Daripada menonton kisah sinetron, kisah Indah ini lebih nyata. Dan semalam dia mengirim sms bahagia. Bahagia dari sudut pandang dirinya karena usai jalinan asmara lamanya kandas dengan meninggalkan banyak kisah sinetron, kini ia mengaku bisa merasai lagi indahnya cinta. Sekali lagi cinta menurut sudut pandang dirinya. Namun rasanya yang ini begitu menggembirakan untuknya. Alasan pastinya hanya ia yang tahu, namun satu yang terbaca dari bunyi smsnya semalam adalah bahagia karena tembok perbedaan yang menjadi batas pem