Langsung ke konten utama

Saat "Malaikat" Penjual Es Teh Membongkar Kepalsuan Penjual Agama

Pada suatu malam di negara yang warganya dikenal sangat relijius, orang-orang berkerumun di sekeliling panggung yang diyakini bisa melimpahkan banyak berkah. Ketinggian panggung itu seolah menyesuaikan kehormatan orang-orang yang menempatinya.


Dan memang begitu yang lazim dan dimaklumi oleh kebanyakan warga di negara relijius ini. Jamaah pengajian berada di emperan. Duduk dengan alas seadanya. Itu tak mengapa.


Sementara para penceramaah yang kadang sebenarnya tidak terlihat alim-alim amat, tapi karena personanya telah dibangun dengan sangat wangi, maka mereka dianggap suci dan memiliki kebenaran pada semua aspek, menempati panggung beralas permadani. Duduk pada bantalan empuk. Disuguhi minuman dan buah-buahan segar. Seringkali di belakangnya berdiri pengawal baik aparat maupun ormas berseragam semimiliter.


Kartun sindiran buatan micecartoon.co.id (dok. pribadi).


Para penceramah itu suka mengenakan jas dan aksesoris mencolok. Seakan ingin mempertegas bahwa mereka perlu tampil dan dilihat berbeda dari jamaahnya yang rakyat biasa. Bahwa mereka adalah para penceramah yang tidak bisa disamakan dengan khalayak kebanyakan. Mereka adalah “ulama”, “ustaz”, gus”, dan seterusnya. Ilmu, kedudukan dan status mereka tidak sama dengan kebanyakan rakyat yang masih perlu belajar dan diajar agama seumur hidup.


Dan lagi-lagi warga di negara yang dikenal sangat relijius ini menerima keadaan itu. Ketundukan mereka pada para penceramah agama diyakini sepenuh jiwa sebagai salah satu bentuk ketaatan pada Tuhan. Apalagi jika si penceramahnya sosok yang terkenal dan memiliki gelar tertentu. Ditambah si penceramahnya dekat dengan pejabat, petinggi, dan aparat pembesar negeri. Apalagi jika si penceramahnya telah resmi diangkat sebagai utusan penguasa yang diberi predikat setara menteri.


Maka otomatis si penceramah perlu diperlakukan istimewa. Tempatnya berceramah tidak boleh seadanya. Tempat duduknya harus lebih tinggi. Sorot lampunya harus lebih terang dari sekelilingnya. Agar para jamaah bisa melihat betapa unggul personanya. Betapa rapi baju, jas, dan penampilannya. Jika hujan, panggung bagi si penceramah harus terlindung. Tak mengapa jamaah basah asal bisa mendengarkan ajaran-ajaran mulia penyejuk rohani dari si penceramah. 


Di dekat tempat ia berceramah perlu ada penyejuk udara, minimal kipas angin. Selain agar si penceramah tidak kegerahan juga supaya wangi parfumnya bisa ikut dibaui oleh para jamaah. Sungguh mulia ia karena mau berbagi keharuman surga dengan warga biasa.


Malam itu pun si penceramah kembali menggelar siraman rohani. Didampingi para pemuka lainnya yang sama-sama menduduki panggung, sebelah menyebelah dan di belakangnya. Semua yang di atas panggung nampak betul sebagai sosok alim. Kerapiannya tak berbeda dengan si penceramah. Dan bagi banyak warga di negara relijius ini penampilan seperti mereka itulah yang pantas dijadikan panutan dan penuntun urusan agama.


Omongan jika keluar dari orang-orang berpenampilan seperti si penceramah akan dipatuhi dan disebarkan kepada para tetangga. Ujaran jika keluar dari orang-orang berpenampilan alim seperti mereka akan dianggap sebagai petuah yang tak perlu ditinjau lagi kebenarannya. Dan memang di negara yang dikenali relijius ini, daya kritis orang-orangnya mudah lumpuh di hadapan para penceramah.


Si penceramah yang telah menduduki tahta tinggi itu terus bicara. Jamaah pun terus menyimak sembari memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan sebanyak-banyaknya ajaran si penceramah. 


Lazimnya kerumunan di negara yang warganya sangat relijius ini, selalu ada orang-orang yang menyuguhkan makanan dan minuman, tapi tidak gratis. Mereka adalah pencari nafkah yang berjihad untuk menghidupi keluarga di rumah dan di kampung. 


Selaris-larisnya para penjual makanan dan minuman di tengah kerumunan, tidak akan pernah uangnya lebih banyak dari si penceramah. Es Teh mereka tawarkan murah saja. Sebotol air mineral pun masih wajar harganya. Mungkin dinaikkan sedikit, tapi masih jauh lebih murah dibanding minuman dan buah-buahan yang terhidang di depan si penceramah.


Dan memang para penjual es teh di tengah kerumunan tidak perlu dicurigai akan mengeruk keuntungan setinggi langit. Mereka bukan kapitalis. Malah sangat humanis. Pada banyak peristiwa demonstrasi, para penjual es teh tak memedulikan keuntungan. Tak jarang mereka membagi es teh kepada warga pendemo. 


Es teh (dok. pribadi).


Sayangnya jihad mencari nafkah yang ditempuh oleh penjual es teh seringkali dianggap remeh. Mereka dipandang sebelah mata oleh warga-warga di negara yang dikenal relijius ini. Mereka ditertawakan karena tetap menjual es teh, padahal sedang musim hujan. Mereka dicap sebagai biang kerok anak-anak kecil menjadi batuk, pilek, dan demam. Mereka dituduh sebagai penyumbang utama sampah plastik yang berceceran di jalanan. 


Dan ironisnya, penjual es teh yang sedang berjihad mencari nafkah ini dicemooh dan ditertawakan sebagai orang goblok. Dicemooh dan ditertawakan bukan oleh penjual wedang ronde atau jagung rebus. Melainkan oleh si penceramah dan kawanannya yang malam itu juga sedang berjualan agama.


Gerimis telah reda, menyisakan dingin yang mencengkeram malam. Kerumunan acara siraman rohani telah usai beberapa jam lampau. Penjual es teh itu sudah jauh langkahnya meninggalkan tempatnya dicemooh. Di pekatnya malam sosoknya tiba-tiba dipenuhi pendar cahaya. Entah dari mana datangnya cahaya itu. Sebab tak ada lampu besar di sepanjang tepian jalan.


Cahaya itu semakin terang melingkungi tubuh penjual es teh. Sementara rumah-rumah sudah menutup semua pintu dan jendelanya sehingga tak seorang pun melihat saat tubuh penjual es teh tiba-tiba memudar. Melesat menuju ketinggian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu...

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan...

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk...