Dari kegelapan kubur, kedalaman sungai, hingga dasar jurang. Mereka yang nyawanya dihilangkan “hidup lagi” untuk menerangi sejarah agar tak dilupakan.
![]() |
| "Kebun Jagal" (dok. pribadi). |
Jurang antara penguasa dan rakyat seringkali mewujud dalam bentuk kekerasan oleh aparat yang terus berulang. Seketika nyawa menjadi barang yang sangat murah harganya. Kemanusiaan membusuk hingga nyaris tak menyisakan jejaknya.
“Kebun Jagal” karya Putra Hidayatullah menumpahkan kenyataan murung tersebut. Melalui dua puluh satu cerita tentang kematian, sebagian di antaranya berlatar konflik di Aceh semasa operasi militer, Kebun Jagal menghidupkan lagi suara-suara yang terkubur bersama tubuh yang telah tiada atau hilang entah ke mana.
Cerita-cerita pendek ini yang beberapa bahkan sangat pendek, berupaya merentangkan panjangnya rantai kekerasan oleh aparat. Hilangnya nyawa seringkali tak memutus rantai kekerasan tersebut. Bahkan, berlanjut dalam bentuk luka dan trauma bagi mereka yang masih hidup, tapi tak mendapat keadilan.
Seperti dialami Leman dan Limah dalam cerita “Angin Ingatan”. Pasangan suami istri ini sepanjang sisa hidupnya memeluk duka serta trauma karena kaki tangan penguasa merenggut nyawa anak mereka.
Limah masih sering dihantui ingatan saat memandang seseorang yang mirip dengan mendiang sang anak. Setiap melihat TV rasa duka itu berubah menjadi teriakan yang menggedor batinnya karena sosok penguasa yang merampas hidup anaknya masih tampil penuh kehormatan.
Namun, teriakan menuntut keadilan itu tak pernah terucap dengan suara yang keras terdengar. Leman dan Limah hanya menyimpannya lirih di dalam rumah. Leman bahkan memotong kabel antena TV dengan harapan bisa mengurangi duka yang terus menjangkiti batin dan pikiran sang istri.
Leman dan Limah pada akhirnya harus terdiam. Apalagi saat ulama setempat yang mereka hormati ternyata berkampanye dan mengajak warga untuk memilih orang yang telah merenggut nyawa sang anak.
![]() |
| Kebun Jagal (dok. pribadi). |
Riwayat Leman dan Limah menguak hal penting dalam rantai kekerasan yang berlanjut kepada keluarga korban. Relasi feodal dan kepatuhan buta pada tokoh agama membuat mereka yang tertindas semakin takluk tak berdaya. Dalam konteks Leman, ketidakmampuan melepaskan diri dari pengaruh kepatuhan buta membuatnya menganggap kematian sang anak tidak ada kaitan langsung dengan kesewenang-wenangan penguasa.
Penjinakkan karena ikatan feodal dan agama membuat trauma tak pernah benar-benar sembuh dan harapan keadilan semakin runtuh.
Kekerasan aparat yang digerakkan kehendak brutal juga kerap dicampuri sentimen terhadap ras dan kelompok minoritas tertentu. Seperti dalam “Aku Melihat Nyawa Ibu” yang memaparkan tentang arwah seorang bocah Tionghoa. Bersama para arwah lainnya, si bocah turun dari surga untuk berkumpul di sebuah dasar jurang. Di sana sepanjang malam mereka bercerita menerangkan riwayat semasa hidup masing-masing.
Arwah si bocah menceritakan bagaimana ia dan ibunya yang diambil oleh aparat. Mereka dituduh komunis karena aparat kekurangan satu nama dalam target yang mesti mereka tangkap. Demi menggenapkan daftar nama, dimasukkan nama ibunya yang sebenarnya tak bersalah.
Kekerasan verbal mereka alami karena berasal dari etnis minoritas. Sampai akhirnya peluru menembus tubuh si bocah yang saat itu dalam pelukan sang ibu. Peluru yang sama juga menerjang raga ibunya. Satu peluru telah merenggut dua nyawa sekaligus.
Pengilustrasian latar yang menarik, tapi tragis digunakan dalam cerita ini. Dasar jurang tempat para arwah bertemu dan berkumpul bisa diartikan sebagai tempat jasad-jasad mereka dibuang dan dihilangkan setelah dieksekusi aparat. Sedangkan para arwah yang saling menceritakan riwayat hidup masing-masing ibarat pesan bahwa dari dalam kubur suara-suara kebenaran akan mencari jalan agar sampai ke pendengaran dunia. Kebenaran tidak akan hilang meski jasad mereka dihilangkan.
Suatu ketika jasad-jasad yang hilang itu mungkin bisa ditemukan seperti pada cerita “Baluembidi”. Mitos angker yang disampaikan turun temurun membuat banyak orang menghindari sebuah sungai. Menurut cerita para orang tua hantu Baluembidi yang buas bersemanyam di dalam ketenangan aliran sungai hingga di pohon-pohon besar di sekitarnya.
Namun, di balik mitos keangkeran tersebut terkuak sebuah rahasia oleh Dek Gam dan Banta. Seperti kebanyakan bocah di daerah konflik, Dek Gam dan Banta berasal dari keluarga yang terkoyak kehidupannya oleh kesewenang-wenangan aparat.
Mereka tinggal di antara keluarga-keluarga yang ayahnya menghilang setelah menjadi buruan aparat. Pada keluarga yang lebih malang nasibnya, setelah kepala keluarganya hilang, ibu dan saudara perempuan mereka dipaksa melayani nafsu aparat.
Suatu hari setelah memenangkan pergulatan antara rasa takut, nekad, dan penasaran, Dek Gam dan Banta memutuskan berenang di sungai yang angkera tersebut. Pada bagian sungai yang tak jauh dari markas tentara, keduanya menyelam. Permainan menyelam yang mengasyikkan bagi kedua bocah tersebut segera berubah menjadi ketegangan. Di dasar sungai mereka menemukan beberapa karung goni yang berat. Isinya jasad manusia, para ayah dan suami yang hilang dari tengah keluarganya.
![]() |
| Kebun Jagal (dok. pribadi). |
Di sebuah kampung rakyat kecil juga ditindas dengan senjata-senjata seperti diceritakan dalam “Kebun Jagal”. Seorang yang kaya menguasai banyak tanah dan sumber daya, sementara di sekitarnya warga hidup menderita dan kelaparan. Banyak warga meninggalkan kampung tersebut. Sedangkan yang bertahan ditimpa kemurungan dan kemalangan.
Selain memagari tanah dan kebunnya, si kaya juga mempekerjakan orang-orang bersenjata sebagai penjaga. Si kaya tak senang hasil kebunnya diberikan atau diambil, meski hanya sedikit oleh warga kampung yang kelaparan.
Warga sering terpaksa menerobos kebun untuk sekadar memetik daun sebagai bahan makanan. Beberapa di antara mereka tak selamat karena para penjaga bersenjata segera menyergap. Kebun milik si kaya pun menjadi kebun penjagalan.
Banyak jasad warga tak kembali ke keluarganya lagi. Namun, seorang anak yang sedang sakit dan menunggu sang ayah pergi memetik daun untuk makan, merasa “beruntung”. Sebab ia masih bisa menjumpai potongan kepala ayahnya tergeletak di depan pintu rumah.
Kisah tersebut mengingatkan kita pada banyak konflik lahan yang melibatkan para pemilik modal dan kuasa dengan komunitas masyarakat seperti masyarakat adat. Aparat yang diharapkan adil mengayomi masyarakat justru mengabdi pada para pemilik kuasa dan modal. Tak segan aparat menindas, bahkan mengusir masyarakat dari tanah leluhurnya.
Buku ini juga menyinggung polah tingkah wakil rakyat dan petinggi partai. Dalam “Hipokrit”, seorang bernama Sawung telah meraih kemapanan sebagai politikus elit di Jakarta. Kekuasaan dan jabatan tak hanya memuaskannya secara materi, ia juga senang maksiat dan berzina.
Meski demikian Sawung pandai memoles diri. Citra sebagai orang yang lurus ditampilkannya ke hadapan publik. Saat turun menemui rakyat di daerah, Sawung mengajak semua orang mengamalkan kebaikan sebagaimana diajarkan oleh agama.
“Kita sudah melihat betapa rusaknya generasi muda karena narkoba dan zina! Semua harus kembali pada kepada Islam. Hanya itu solusi untuk kita semua! Allahu Akbar!”, begitulah gelora Sawung ketika berpidato meyakinkan semua yang menatapnya.
Sawung dan “Hipokrit” adalah secuil kemunafikan wakil rakyat yang selama ini telah banyak dan sering diperlihatkan tanpa malu-malu. Namun, di sisi lain “Hipokrit” membawa potret suram tentang realita sebagian masyarakat yang mudah dimanipulasi oleh atribut-atribut keagamaan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat.
![]() |
| Kebun Jagal (dok. pribadi). |
“Kebun Jagal” adalah etalase murung dari nasib rakyat di negara yang sudah merdeka dari penjajahan bangsa asing, tapi ditindas oleh penguasa dan aparat bangsa sendiri.
Ketika rezim berganti, kekerasan terus terjadi. Mesin penaklukan yang dibangun oleh segitiga penguasa, aparat, dan partai politik atau wakil rakyat tidak sekadar merenggut nyawa rakyat, tapi juga menghilangkan keadilan.
Sejarah merekam semua itu meski banyak di antaranya tak terceritakan dan terungkapkan. Namun, bukan berarti kebenaran lenyap begitu saja. Mereka yang hilang nyawanya tak pernah mati suaranya.
Lewat berbagai cara, suara mereka hidup dan dihidupkan lagi untuk menuntut keadilan. Salah satunya lewat “Kebun Jagal”.




Komentar
Posting Komentar