Bismillah.
Hari ini, 21 Februari 2012.
Aku perlu bertanya itu pada diri sendiri. Karna nyatanya aku tahu, juga sedari lama aku berusaha untuk tahu diri. Aku adalah orang yang tak pernah kau harapkan ada. Maaf jika suudzon. Tapi jauh di sini, aku merasakan itu. Aku ingat, lebih dari setahun kemarin, atau bahkan lewat 3 tahun lalu, saat aku nyatanya hanya jadi pemeran pengganti yang datang mengacaukan sepenggal cerita mu. Maaf.
Lebih dari setahun kemarin, saat kau “pergi” dengan cara yang rasanya lebih persis sebagai cara menepikanku. Saat tanpa kata, saat semua banyak kata yang pernah kau bagikan untuk aku dengarkan, lenyap seketika saat mentari terbit kembali esok harinya..
Apa sebegitu parahnya aku di depanmu hingga kata terakhirmu saja aku tak boleh mendengarnya langsung ?. Rasanya bagai ada palu berat yang tiba-tiba menghajarku saat tahu yang sebenarnya, dan itu bukan dari mulutmu. Ke mana kamu yang selama 2 pekan begitu cerewet di bangsal itu. Mungkin saja waktu itu kau hanya bersandiwara untuk menjaga perasaanku, sungguh andai kau tahu, kau tak usah menjaga perasaanku, aku akan selalu senang melakukan sesuatu untukmu.
Atau mungkin benar, kau yang sedang sakit saat itu hanya membutuhkan sosok pengalih rasa, pemeran pengganti untuk seorang yang sebetulnya sudah ada di dirimu. Dan sekali lagi kebetulan saat itu aku yang muncul. Maaf jika aku suudzon. Tapi jika memang itu benar, insyaAllah aku ikhlas. Aku tak marah. Semua yang kulakukan dulu bukan karna aku kasihan pada sosok wanita yang sedang berbaring sakit. Bukan juga karna menginginkan hal lain yang mungkin ada di benakmu. Yang membuatmu merasa perlu menjaga perasaanku. Toh aku rasa siapapun bisa melakukan hal itu untukmu, hanya kebetulan aku saja yang saat itu ada di hadapmu. Dan aku bahagia walau akhirnya aku tahu kenyataan yang ada. Kau pergi untuk menepikanku dengan cara yang terlampau “halus”.
Tapi apakah sebegitu parahnya aku di hadapmu hingga tak pantas mendengar ucapan terakhir itu dari mulutmu sendiri ?. Sebegitu parahkah aku hingga kau memilih cara itu untukku ?. Memang, ada tembok pemisah yang begitu kentara di antara kita, tapi apa begitu parahnya aku hingga tak kau beri sedetik pun waktu untuk aku bernafas, bersiap dan mendengar kata pamitmu saat itu ?. Hantaman palu itu jauh memukulku lebih keras dibanding apa yang 3 tahun silam pernah terjadi.
Namun kini semua tak masalah lagi jika aku selama waktu itu memang hanyalah pemeran pengganti untuk siapapun bagimu. Semua tak masalah lagi.
Siang ini. Saat memasuki ruang ini sisa rasa itu masih ada. Sisa rasa apakah aku boleh melihatmu meski dari jauh. Apakah hatimu berkenan jika ternyata melihatku duduk mengikuti salah satu hari bahagiamu. Masih bolehkah orang yang tak diharapkan seperti aku menyampaikan salam dan doa meski tanpa suara sekalipun.
Nyatanya aku sudah duduk di sini sekarang. Banyak orang duduk di belakang membicarakanmu, menanti saat-saat namamu dipanggil. Aku tersenyum, ternyata kau idola bagi banyak adik-adikmu.
Dan saat namamu dipanggil, syukur alhamdulillah. Aku bisa melihatmu walau samar, walau tak kau rasa. Aku berharap kau tak melihatku. Dan semoga itu benar. Karna hingga detik melihatmu pun aku masih merasa ilegal di ruangan ini.
Sepanjang duduk di sini aku melepas kacamata. Bukan karna sudah tidak membutuhkan alat ini. Tapi karna saat memakai kacamata aku akan menjadi jelas melihat wajah sayumu. Sementara kenyataanya aku adalah orang yang tak diharapkan. Jadi masih bolehkah aku melihatmu sementara mendengar kata terakhirmu saja aku tak berhak. Aku tak mungkin mengambil apa yang tak boleh jadi milikku, akupun tak boleh melihat apapun yang tak pernah diizinkan untuk kulihat. Walau hati ini berontak. Meski rindu yang akhirnya menuntunku melangkah menuju ruangan ini. Menepikan segala bentuk pertanyaan – pertanyaan itu.
Dan betapa senangnya saat akhirnya kau tampil di depan, membuka suaramu dan membiarkannya terdengar seisi ruang. Rasanya senang bukan main, aku bisa mendengar suaramu lagi. Jelas dan masih tetap tidak berubah.
Tuhan, terima kasih. Kalau ini akhirnya suaramu yang terakhir yang berhak kudengarkan, aku tidak akan meminta lebih lagi. Dan tolong maafkan aku sekali lagi jika tanpa kau undang sekali lagi aku datang hari ini.
Ingin aku menghampiri dan mengucap selamat padamu beserta ibu dan bapak mu. Tapi hati ini melarang. Lalu aku menjadi tahu diri, semua tak boleh lagi, aku yang dulu kau usir dengan halus sudah menerima. Walau jauh di sini ingin sebentar saja menyalamimu, mengucap maaf dan terima kasih. Lalu aku menjadi tahu diri. Jika itu terjadi hanya akan merepotkanmu lagi, merusak cerita di hari bahagiamu.
Aku sudah melihatmu. Itu sudah cukup. Aku yang kau tepikan secara halus waktu itu merasa sudah cukup dengan mendengar suaramu begitu jelas hari ini. Merasa bahagia melihatmu melangkah diapit kedua orang tuamu. Meski itu samar. Itu sudah cukup. Oh iya, beberapa anak yang duduk di belakangku jelas berkata, saat kau melangkah maju, “eh ibunya mba Dini saja cantiknya ya..”. Aku tersenyum dari balik punggung di depan mereka.
Aku sudah melihatmu. Itu sudah cukup. Aku yang kau tepikan secara halus waktu itu merasa sudah cukup dengan mendengar suaramu begitu jelas hari ini. Merasa bahagia melihatmu melangkah diapit kedua orang tuamu. Meski itu samar. Itu sudah cukup. Oh iya, beberapa anak yang duduk di belakangku jelas berkata, saat kau melangkah maju, “eh ibunya mba Dini saja cantiknya ya..”. Aku tersenyum dari balik punggung di depan mereka.
Selamat untuk segala yang sudah kamu raih hingga hari ini. Dan terima kasih untuk perkenalan yang sebentar lalu, cuma itu dulu yang bisa kulakukan buatmu, sedikit dan aku percaya semua orang bisa melakukan itu, sekali lagi kebetulan hanya aku saja yang saat itu ada di depanmu, meski mungkin yang kau lihat bukan aku.
Dan hingga saat ini aku tetap tidak berubah, tak ada sesal kecuali satu, kau pergi untuk mengusir dan menepikanku dengan cara yang terlalu halus, dan itu jauh lebih menyakitkan dibanding kau tendang aku sekalipun seperti majikan mengusir pekerjanya yang mencuri setengah ons merica.
Tapi itu hanya cerita dulu, bukan masalah dan tak penting lagi. Sekarang aku percaya kau sudah membuka lembaran baru yang lebih baik. Dan aku tak ingin merusak lagi cerita yang kau tulis di sana. Maafkan aku karena 2 dan 3 kali kehadiranku dulu selalu memberantakkan jalan ceritamu. Aku tak pernah sengaja.
Aku selalu bangga padamu. Selamat jalan dan berbahagialah dengan bahagia yang kusimpan bagimu, Non.
Komentar
Posting Komentar