Langsung ke konten utama

Simbah Penjual Endhog Abang di Sekaten Yogyakarta

Ada pemandangan manis yang begitu kental di pagelaran Sekaten Yogyakarta 2014. Di halaman masjid Gedhe Kauman sejumlah orang tua yang banyak di antaranya sudah lanjut usia duduk melantai menghadap beberapa bakul dan wadah berisi sejumlah ubo rampe yang baru pertama kali saya lihat. 

Para simbah berpakaian kebaya itu menyebar di beberapa sudut halaman masjid. Namun demikian yang mereka lakukan hampir sama yakni merangkai dan menata sesuatu.  Ada yang memasukkan daun sirih, tembakau dan sesuatu lainnya ke dalam gulungan daun pisang. Satu persatu gulungan kemudian ditata di tampah anyaman bambu. Sementara yang lain membuat sesuatu yang unik yang baru pertama kali saya lihat. Telur berwarna merah itu mereka tusuk dengan sebilah bambu berukuran kecil. Di antara tusukan itu mereka pasang hiasan dari guntingan kertas seadanya.


“Niki endhog abang, mbiyen cah cilik kan seneng” (ini telur merah, dulu anak kecil suka), simbah itu menjawab rasa ingin tahu saya. Dan selanjutnya dengan agak terbata, sambil terus merangkai tusukan-tusukan telur lainnya, ia sedikit bercerita tentang makna endhog abang.



Tak terlalu banyak orang yang menghampiri mereka. Setiap kali ada yang membeli usia mereka tampaknya tak jauh berbeda. Interaksi para simbah itu  membuat saya tersenyum diam-diam. Meski pada saat yang hampir bersamaan sebuah pertanyaan menghampiri termasuk untuk diri sendiri?. Ke mana kita?. Ke mana generasi muda?. Haruskah para simbah itu yang terus merawat budaya-budaya ini?.
 

Kita mungkin boleh bangga menyebut diri sebagai pewaris masa depan negara. Tapi jangan tanyakan sejauh mana para simbah itu sudah menjaga Indonesia. Mereka bahkan sudah lebih dulu ke ujung masa merawat budaya di saat kita yang lebih muda berjalan meninggalkan semuanya.


Dalam diam para simbah  penjual Endhog abang itu sedang menjaga identitas budayanya. Dalam diam mereka duduk tak beranjak menyindir “manusia sekarang” yang berjalan meninggalkan budayanya. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk

PERBEDAAN

Sejatinya tulisan ada karena sms seseorang yang masuk ke HP Nokia saya kemarin malam. Sebut saja Indah, nama sebenarnya, usianya yang lebih muda dari saya membuat kami beberapa kali terlibat perbincangan seperti halnya saudara. Beberapa hal ia ceritakan pada saya, yang paling sering soal asmaranya beserta segala macam bumbu seperti perkelahian antar wanita (berkelahi beneran), cinta segitiga dan sebagainya. Saya sering “terhibur”mendengar cerita-cerita itu darinya. Daripada menonton kisah sinetron, kisah Indah ini lebih nyata. Dan semalam dia mengirim sms bahagia. Bahagia dari sudut pandang dirinya karena usai jalinan asmara lamanya kandas dengan meninggalkan banyak kisah sinetron, kini ia mengaku bisa merasai lagi indahnya cinta. Sekali lagi cinta menurut sudut pandang dirinya. Namun rasanya yang ini begitu menggembirakan untuknya. Alasan pastinya hanya ia yang tahu, namun satu yang terbaca dari bunyi smsnya semalam adalah bahagia karena tembok perbedaan yang menjadi batas pem