Langsung ke konten utama

Media Sosial di Antara Rahim Intoleransi dan Pencerah


Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Keberagaman dalam hal agama, budaya, suku, ras dan lain sebagainya merupakan fitrah masyarakat Indonesia sejak dulu. Perjalanan bangsa menunjukkan bahwa semua perbedaan itu merupakan modal persatuan dan kekuatan dalam mengarungi peradaban. 

Media sosial, medium bersosialisasi sekaligus ruang berekspresi dalam genggaman setiap orang (dok. Hendra Wardhana).
Akan tetapi, kejadian akhir-akhir ini seakan menunjukkan kecenderungan ketidakmampuan masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan dalam perbedaan. Sikap yang ditampilkan atas perbedaan seringkali berkebalikan dengan karakter bangsa yang selama ini dikenal menjunjung toleransi. Berbagai gesekan  menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rentan dimanipulasi oleh isu perbedaan. Sejumlah konflik memperlihatkan bahwa perbedaan, terutama masalah agama, masih mudah meletupkan emosi dan memancing kekerasan di tengah masyarakat.

Ada apa dengan toleransi di Indonesia saat ini?. Apa yang membuat masyarakat mudah terprovokasi oleh isu perbedaan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pantas diajukan meski menurut survei nasional Kementerian Agama dan data Litbang Kompas 2016 toleransi di Indonesia masih berada pada tingkat yang baik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini sentimen negatif terhadap perbedaan masih ada di dalam diri sebagian masyarakat Indonesia. Banyak di antara kita belum memiliki wawasan yang baik tentang keberagaman sehingga mudah terhasut oleh provokasi dan berita bohong yang disebarkan, salah satunya melalui media sosial (medsos).

Di era komunikasi global saat ini, ditambah gairah kebebasan pascareformasi, pengaruh media sosial dalam kehidupan tidak bisa diabaikan. Apalagi, konsumen internet di Indonesia mayoritas adalah pengguna aktif media sosial. 
Profil pengguna internet di Indonesia, 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial (smartbisnis.co.id).

Facebook, twitter, path, instagram, blog dan jenis medsos lainnya menjadi medium penyebaran informasi yang sangat cepat dan luas. Medsos bahkan telah menjadi sumber informasi itu sendiri. Namun, tidak semua informasi di media sosial akurat dan mengandung kebenaran. Segelintir orang bahkan memanfaatkan teknologi tersebut untuk membangkitkan kebencian dengan mengangkat masalah perbedaan. Berdalih kebebasan berpendapat seseorang tak segan melakukan provokasi di media sosial. Atas nama demokrasi, medsos digunakan untuk menghina sesuka hati. Semuanya dilakukan demi kepentingan sempit.

Agama adalah hal yang paling sering dan paling mudah dimainkan di media sosial. Ujaran penistaan terhadap agama tertentu sering dijumpai di facebook. Adu argumentasi dengan mencatut simbol ajaran agama banyak beredar di blog. Twitwar yang menyinggung dan menyudutkan penganut agama tertentu juga tak jarang terjadi. 
Atas nama kebebasan berpendapat, media sosial diperalat untuk menghujat. Atas nama demokrasi, media sosial dijadikan alat untuk menghina sesuka hati (dok. Hendra Wardhana).

Benih intoleransi di media sosial seringkali berawal dari satu atau beberapa orang. Namun, medsos dengan cepat mengundang orang-orang yang berpikiran sama atau bertujuan serupa untuk berkumpul. Tidak mengherankan jika sebuah tulisan di facebook yang dengan jelas mengumbar kebencian justru mendapat banyak like dan share. Demikian juga sebuah tweet yang memuat hasutan justru didukung dengan diretweet berulang kali.
Dunia medsos hampir tidak mengenal cover both side. Kebebasan memiliki dan menggunakan media sosial membuat semua orang bebas memproduksi konten apa saja. Medsos menjadi ruang publik yang sangat liar. Di media sosial seseorang bisa sangat berani menghina orang lain. Melalui media sosial pula pihak-pihak tertentu dengan mudah melontarkan provokasi untuk membuat “panas” kelompok lain.

Sayangnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadikan media sosial sebagai “guru”. Apa yang beredar di medsos sering dijadikan rujukan dan diamini begitu saja. Jumlah like dan retweet yang banyak dianggap sebagai legitimasi bahwa ada mayoritas yang mendukung. Kemudian mayoritas dianggap sebagai kebenaran. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa selain pemahaman yang kurang terhadap keberagaman, masyarakat juga belum memiliki literasi media sosial yang baik. Kondisi inilah yang membuat media sosial berpotensi menjadi rahim kebencian dan intoleransi.
Propaganda yang awalnya hanya berupa kalimat di media sosial bisa berubah menjadi konflik di kehidupan nyata. Rasa saling percaya dan menghargai yang semula dirawat bersama, perlahan luntur karena timbul prasangka serta curiga. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena akan mengancam persatuan bangsa. 
Oleh karena itu, kesadaran untuk menghormati keberagaman perlu ditingkatkan kembali. Masyarakat harus didorong untuk memahami etika menggunakan media sosial. Tindakan tegas oleh penegak hukum juga semestinya diupayakan untuk mencegah penyebaran kebencian dan intoleransi melalui medsos.
Banyak orang menjadikan media sosial sebagai "guru" yang diikuti begitu saja. Sementara sebagian lagi menjadikannya alat untuk menyebarkan benci (dok. Hendra Wardhana).
Meskipun demikian, pada dasarnya benteng untuk menghalau ancaman intoleransi ada di tangan setiap orang. Setiap orang perlu membekali diri dengan kecerdasan literasi media sosial agar mampu memverifikasi setiap informasi yang bertebaran dunia maya.
Medsos tidak hanya mempengaruhi secara kognitif dan afektif, tapi juga mampu mengarahkan perilaku. Orang yang tidak mampu merenungkan kebenaran setiap informasi di medsos akan mudah termakan berita bohong. Seseorang yang membiarkan dirinya terpapar dan mengkonsumsi muatan kebencian di media sosial akan menerima intoleransi sebagai hal yang biasa. Dari hanya mengkonsumsi informasi, lama kelamaan seseorang akan terpengaruh untuk bersikap intoleran.
Selain tidak ikut menyebarkan informasi sesat, pengguna medsos juga perlu memiliki ketegasan untuk membersihkan timeline dari konten yang memuat intoleransi. Cara paling mudah adalah tidak mengikuti akun-akun yang gemar mengumbar hujatan dan propaganda. Sekitar sebulan yang lalu saya memutuskan berhenti mengikuti (unfollow) beberapa teman di facebook dan twitter. Awalnya muncul keraguan dan rasa tidak enak hati untuk menyudahi “pertemanan”. Tapi, akhirnya saya melakukannya untuk menangkal pengaruh buruk kebiasaan mereka membuat status dan tweet yang mengekspresikan intoleransi.
Selanjutnya, orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kepedulian diharapkan tidak menjadi silent majority. Melalui media sosial anggota masyarakat bisa saling berbagi tentang berkah keberagaman. Ulasan yang penuh kedamaian perlu disebarkan lebih banyak.
Media sosial memungkinkan setiap orang menjadi pembawa pesan kedamaian dan toleransi (dok. Hendra Wardhana).
Jika kebencian bisa menyebar dengan mudah di media sosial, maka semangat kerukunan juga bisa dipupuk secara efektif melalui ruang yang sama. Media sosial harus bisa menjadi pencerah dan memberikan dampak positif dalam memperkuat toleransi sekaligus memberikan solusi untuk setiap masalah.
Di antara kita memang  ada yang berbeda dan tak selalu sejalan. Tapi intoleransi dan membenci keberagaman adalah sifat purba. Jangan sampai teknologi maju bernama media sosial justru membuat peradaban manusia Indonesia kembali mundur. Keberagaman yang lahir dan berkembang di negeri ini adalah anugerah yang sangat besar dari Tuhan. Mengapa tidak kita syukuri dengan merawatnya penuh cinta kasih?.

Komentar

  1. Tulisan yang sangat menggugah perenungan..

    Hidup berbeda harusnya sudah jadi lumrah, tapi banyak yang tak mau mengakui perbedaan. Indonesia padahal disusun dari suku, ras, agama yang berbeda. Semoga Indonesia tetap damai..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang merasa lebih tenang jika tak membuka medsos. Tapi teknologi itu kini semakin dibutuhkan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk