Langsung ke konten utama

Menjelajah Botania Garden Seluas 13 Hektar di Purbalingga

Sederet tempat menarik telah berkembang di Purbalingga dalam beberapa tahun terakhir. Saat musim liburan tempat-tempat tersebut diserbu wisatawan yang datang tidak hanya dari sekitar Purbalingga, tapi juga dari luar kota dan provinsi. Bukan hal yang kebetulan pula jika kini semakin banyak bus-bus AKAP yang sebelumnya hanya mencapai Purwokerto memperpanjang rutenya hingga Purbalingga.
Botania Garden alias "Bogar" di Purbalingga (dok. Hendra Wardhana).

Sejumlah obyek wisata yang terus bermunculan di Purbalingga melengkapi line up obyek wisata lain yang sudah lebih dulu berkembang. Salah satu yang paling anyar adalah “Botania Garden” atau “Bogar”.

Sesuai namanya, Botania Garden yang berlokasi di Desa Karangcengis, Kecamatan Bukateja, merupakan kebun buah-buahan. Kebun-kebun tersebut milik para petani lokal yang kemudian dikelola oleh kelompok masyarakat setempat sebagai destinasi wisata. 

Botania Garden yang luasnya 30 hektar ini secara resmi diluncurkan pada libur lebaran 2017. Namun, tempat ini sebenarnya sudah dibuka  untuk umum sejak Maret 2017.
Tiket masuk Botania Garden (dok. Hendra Wardhana).

Pematang sekaligus jalan di antara kebun-kebun buah (dok. Hendra Wardhana).

Botania Garden bisa dicapai dengan menempuh perjalanan sejauh 17 km dari pusat Kota Purbalingga. Meski jaraknya lumayan jauh, tapi tidak sulit untuk menuju ke sana. Setidaknya itu yang saya dan keluarga rasakan saat berkunjung ke sana dengan bantuan aplikasi google maps beberapa waktu lalu.

Perjalanan cukup lancar melalui Jalan S. Parman di timur alun-alun Kota Purbalingga. Sesampainya di pertigaan Bojong, kami melintasi Jalan Bukateja-Klampok yang dilanjutkan melewati Jalan Argandaru di Bukateja. Saat mencapai perempatan Kembangan, kami berbelok ke timur menyusuri Jalan Raya Lengkong. Tepat di pinggir jalan raya tersebut, sebuah gardu dan spanduk besar bertuliskan Bogar menjadi penanda bahwa kami telah sampai di Botania Garden.

Tak jauh dari tempat parkir kendaraan yang masih memanfaatkan ruang-ruang kosong di antara rumah-rumah warga, terdapat pintu masuk Bogar. Di sana kami membeli tiket seharga Rp5000 untuk satu orang.  Rupanya harga tiket tersebut sudah termasuk minuman rasa buah merek terkenal yang dibagikan sebagai bekal saat menyusuri kebun. Di tempat pembelian tiket ini kami juga meminjam caping yang disediakan secara gratis untuk wisatawan.
Kebun buah manis (dok. Hendra Wardhana).

Jeruk yang siap dipetik (dok. Hendra Wardhana).

Jambu biji (dok. Hendra Wardhana).

Kami pun melanjutkan berjalan kaki menyusuri jalan setapak berupa tanah dan kerikil. Meski sinar matahari terasa terik, tapi pemandangannya cukup indah. Kebun-kebun berpagar bambu berjejer di kanan dan kiri. Langit biru dan awan yang berserakan menciptakan pemandangan yang kontras dengan hamparan hijau kebun buah. Sementara angin yang bertiup pelan sesekali memutar baling-baling bambu yang ada di beberapa ruas jalan menuju kebun.

Saat itu beberapa kebun pintunya masih tertutup karena pohon di dalamnya belum berbuah. Tapi kebun-kebun lain terlihat menggoda dengan buah-buahan yang menggantung. Kami pun memilih masuk ke sebuah petak kebun jeruk yang pintunya terbuka. Ternyata di sana sudah ada beberapa wisatawan lain yang sedang memetik jeruk ditemani penjaga kebun.

Botania Garden menawarkan pengalaman wisata memetik buah secara langsung dari pohon di kebun petani. Wisatawan bisa berkeliling sambil memilih buah-buahan yang ingin dipetik. Jika tidak cocok, bisa berpindah ke kebun lainnya. 

Beberapa tanaman buah yang ada di Botania Garden adalah jeruk, jambu biji kristal, jambu biji merah, jambu air, kelengkeng, dan belimbing. Dari semua buah-buahan tersebut, jeruk yang paling mendominasi karena sejak dulu buah ini merupakan produk unggulan Desa Karangcengis.

Kebetulan kebun yang kami masuki adalah kebun jeruk manis. Buahnya tidak terlalu besar dan pohonnya tidak terlalu tinggi sehingga saat berjalan kami harus sering membungkuk. Sementara jeruk-jeruk yang kulitnya mulai menguning bergelantungan seolah meminta untuk dipetik. 

Buah-buahan yang telah dipetik kemudian dikumpulkan dan ditimbang di dalam kebun. Wisatawan perlu membayar buah-buahan tersebut karena tiket masuk sebelumnya bukan biaya untuk berbelanja buah. 

Meski demikian kami puas karena harga buah-buahan dari kebun petani di Botania Garden jauh lebih murah dibanding harga di pasaran. Satu kilogram jeruk misalnya, bisa didapatkan dengan harga Rp10000. Padahal, di luar harganya bisa mencapai Rp20000. Di Botania Garden kami juga mendapatkan buah yang lebih segar dan kondisinya lebih baik.

Satu jam lebih di dalam kebun jeruk, kami memutuskan menyudahi jalan-jalan di Botania Garden meski sebenarnya masih ingin menengok kebun-kebun buah lainnya. Beruntung di sekitar tempat parkir kendaraan banyak penjual menjajakan buah-buahan yang juga berasal dalam kebun Bogar. Walau harganya sedikit lebih mahal dibanding jika memetiknya secara langsung di kebun, tapi masih bisa ditawar. Dari seorang penjual, kami  pun bisa mendapatkan dua kilogram jambu biji kristal dengan harga yang murah.
Wisatawan membayar buah yang telah dipetik (dok. Hendra Wardhana).

Landskap di Botania Garden (dok. Hendra Wardhana).


Sekalipun menarik, ada satu kekurangan yang harus segera dibenahi di Bogar, yaitu kurangnya informasi tentang jenis buah dan petak kebun yang siap panen. Petugas tiket yang saya tanyai tidak bisa memastikan buah yang sudah bisa dipetik dan di kebun mana saja wisatawan bisa mendapatkannya. Padahal, informasi tentang jenis buah yang bisa dipetik dan kebun yang sedang berproduksi ini sangat penting agar wisatawan tak kehilangan banyak waktu saat menjelajah Bogar. Oleh karenanya, wisatawan perlu mengintip kebun satu per satu atau bertanya kepada wisatawan lain yang baru keluar dari kebun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk