Langsung ke konten utama

Terpikat Eloknya Budaya di "Kaki Langit" Mangunan



Minggu (18/6/2017) siang itu Leni dan Miyanto keluar dari dalam rumahnya yang sederhana. Di teras rumah, pasangan suami istri tersebut lalu bersimpuh di hadapan kedua orang tua mereka. Sesaat kemudian, diiringi orang tua dan sejumlah orang, Leni dan Miyanto berjalan kaki menuju Sendang Mangunan.
Nuansa adat dan tradisi masih terasa kental di Desa Wisata Adat Kaki Langit, Mangunan, Yogyakarta (dok. pri).

Begitulah cuplikan pelaksanaan upacara mitoni di Desa Wisata Adat Kaki Langit, Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasinya berjarak sekitar 35 km dari pusat Kota Yogyakarta. Masih jarang angkutan umum yang melayani rute ke sana, sehingga pilihan terbaik saat ini untuk menuju Mangunan adalah menggunakan kendaraan pribadi atau memanfaatkan jasa penyewaan sepeda motor dan mobil yang banyak ditemui di Yogyakarta.

Memikat Lewat Budaya dan Tradisi
Mangunan memiliki ragam budaya dan kearifan lokal yang menarik. Masyarakatnya yang ramah masih menjalankan berbagai tradisi secara turun temurun. Nuansa-nuansa itulah yang membuat Mangunan menjadi desa wisata adat yang memikat.

Nama “Kaki Langit” sendiri memiliki arti dan harapan yang dalam. Purwo Harsono selaku Ketua Pengelola Desa Wisata Adat Kaki Langit menuturkan bahwa kata “kaki” memiliki arti berdaya dan bergerak bersama. Sementara “langit” bermakna cita-cita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Frasa “Kaki Langit” juga menyiratkan hubungan antara manusia yang diwakili “kaki” dan sang pencipta yang diwakili “langit”.
Selamat datang di Desa Wisata Adat Kaki Langit (dok. pri).
Salah satu bentuk budaya dan tradisi yang masih langgeng di Desa Wisata Adat Kaki Langit adalah Mitoni, yaitu upacara adat Jawa untuk menandai usia kehamilan tujuh bulan anak pertama dalam sebuah keluarga. Mitoni telah dilakukan oleh masyarakat Mangunan dari masa ke masa dan terus dipertahankan hingga kini.

Di Desa Wisata Adat Kaki Langit kita bisa menyaksikan upacara Mitoni yang diawali dengan “sungkeman” sebagai permohonan doa restu sekaligus rasa hormat oleh pasangan suami istri kepada orang tua. Prosesi berikutnya adalah siraman di Sendang Mangunan. Prosesi ini dimulai dengan menyiramkan air bunga ke calon ibu. Kemudian secara bergantian calon kakek dan nenek dari bayi yang sedang dikandung mengambil air dari sendang untuk disiramkan ke calon ibu dan calon ayah. Selama siraman ini calon ibu berdiri di depan calon ayah.
Masyarakat  menuju Sendang Mangunan untuk melakukan prosesi upacara adat Mitoni (dok. pri).

Pasangan suami istri Miyanto dan Leni melakukan Siraman sebagai bagian dari prosesi Mitoni di Sendang Mangunan (dok. pri).
Upacara Mitoni dipimpin oleh tokoh masyarakat pelaku adat setempat (dok. pri)

Setelah siraman, prosesi Mitoni dilanjutkan di halaman rumah. Di sini calon ibu mencoba beberapa kain bermotif batik dan lurik untuk dipilih yang paling sesuai. Kemudian tokoh masyarakat yang memimpin upacara mitoni akan bertanya kepada orang-orang di sekitarnya apakah kain yang dicoba sudah cocok atau belum.

Mitoni yang dilaksanakan masyarakat Mangunan menyimpan banyak makna. Mulai dari ungkapan rasa syukur atas kehamilan, hingga permohonan doa kepada Tuhan agar anak yang dikandung sehat dan lahir dengan selamat. Selain itu, upacara mitoni menjadi sarana untuk melestarikan warisan budaya Jawa lainnya melalui penggunaan pakaian tradisional, batik, lurik dan bahasa Jawa.

Secara tidak langsung, upacara Mitoni juga menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk menjaga Sendang Mangunan yang merupakan sumber air bersih. Selama masyarakat memiliki kemauan untuk melaksanakan Mitoni dan menggunakan air dari sendang, sepanjang itu pula kelestarian sumber air dapat terus diupayakan.
Kaum Ibu di Kaki Langit Mangunan sedang memainkan Gejog Lesung (dok. pri).

Budaya dan tradisi lain yang bisa disaksikan di Kaki Langit adalah kesenian Gejog Lesung. Tradisi memainkan Gejog Lesung erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat lokal yang sejak dahulu banyak berprofesi sebagai petani. Saat panen tiba kaum ibu bergotong royong menumbuk singkong atau padi menggunakan tongkat kayu atau alu dan lesung. Benturan antara alu dan lesung yang teratur menghasilkan bunyian-bunyian yang menarik.

Seiring waktu lesung dan alu semakin jarang digunakan untuk mengolah hasil panen karena digantikan oleh mesin giling. Namun, tradisi Gejog Lesung tidak lantas menghilang. “Sekarang kami memainkan Gejog Lesung sebagai hiburan atau saat bersih desa”, kata Eling Purwanto, Ketua Sanggar Mangun Budoyo Mangunan.

Pertunjukkan Gejog Lesung di Desa Wisata Adat Mangunan biasa dimainkan oleh tujuh hingga sepuluh orang. Mereka umumnya adalah kaum ibu berusia 50 tahun ke atas. Tapi pada saat-saat tertentu anak-anak muda juga memainkannya. Agar lebih menarik Gejog Lesung sering dipadukan dengan tembang Jawa atau ditampilkan bersama kesenian lain seperti kethoprak. Namanya pun berubah menjadi Kethoprak Gejog Lesung.

Setelah menyaksikan Mitoni dan Gejog Lesung, saatnya menikmati alunan karawitan dengan komposisi yang lebih ringkas atau disebut Cokekan. Kesenian Cokekan berkembang di Mangunan karena masyarakat di sini memiliki kegemaran menabuh alat-alat musik tradisional sambil menyenandungkan tembang-tembang Jawa pada waktu luang mereka.
Masyarakat Kaki Langit Mangunan memiliki kegemaran bermain Cokekan, sejenis karawitan yang dimainkan lebih ringkas (dok. pri).
Cokekan tidak hanya dimainkan oleh orang tua, tapi juga oleh anak muda di Kaki Langit Mangunan (dok. pri).
Seiring waktu Cokekan dikemas sebagai pertunjukkan untuk menambah daya tarik Desa Wisata Adat Kaki Langit. Nuansa budaya dalam pertunjukkan Cokekan  sangat kental. Selain dimainkan di depan teras rumah bergaya limasan, para pemainnya juga menggunakan pakaian tradisional Jawa.

Paket Wisata dan Cenderamata Istimewa
Untuk menikmati pesona Desa Wisata Adat Kaki Langit kita bisa melakukan penjelajahan sendiri atau mengikuti paket wisata yang disediakan oleh pengelola desa wisata. Ada beberapa paket perjalanan wisata budaya dan alam yang bisa dipilih. Dalam paket wisata kita antara lain akan diajak menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan seni yang menggabungkan adat dan tradisi, seperti Mitoni dan Gejog Lesung, menginap di rumah penduduk dengan nuansa pedesaan, dan mengunjungi obyek-obyek wisata alam yang menarik seperti hutan pinus dan kebun Mangunan.
Aneka kerajinan berbahan dasar kayu kreasi warga masyarakat di Desa Wisata Adat Kaki Langit Mangunan (dok. pri).
Miniatur mobil, becak, dan vespa berbahan dasar kayu menjadi salah satu cenderamata dari Desa Wisata Adat Kaki Langit (dok. pri).

Bahan-bahan untuk membuat Wedang Uwuh yang diracik oleh masyarakat Kaki Langit Mangunan (dok. pri).

Pengalaman berkunjung ke Desa Wisata Adat Kaki Langit semakin lengkap dengan tersedianya cenderamata buatan masyarakat dan perajin Mangunan. Aneka benda kerajinan kayu seperti nampan, vas bunga, figura, gelang, kalung, dan gantungan kunci bisa jadi pilihan. Ada juga mainan seperti yoyo hingga miniatur mobil, becak, sepeda, dan vespa. Kita bisa membeli aneka cenderamata itu dengan mendatangi langsung galeri atau rumah pembuatnya sehingga harganya lebih murah. 

Kita juga bisa mencicipi sekaligus membeli makanan khas yang bernama Tiwul. Dahulu Tiwul yang merupakan olahan singkong ini merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Mangunan. Pada masa tertentu Tiwul identik dengan kemelaratan karena sering dikonsumsi oleh keluarga yang kesulitan mendapatkan beras atau nasi. Namun, sekarang tiwul justru disukai orang banyak orang.

Satu lagi buah tangan khas dari Desa Wisata Adat Kaki Langit ini adalah racikan Wedang Uwuh yang hangat dan nikmat. Saat berkeliling desa kita akan menjumpai beberapa orang yang menjual bahan-bahan kering untuk menyeduh Wedang Uwuh. Bahan rempah-rempah cengkeh, daun cengkeh, sere, secang, jahe dan ditambah gula batu, bisa kita dapatkan dalam kemasan kecil maupun besar.
***
Berkunjung ke Desa Wisata Kaki Langit Mangunan benar-benar memberikan pengalaman wisata yang berbeda dan tak biasa. Lingkungan yang asri dan bersahaja, ditambah keramahan masyarakatnya membuat siapapun yang berkunjung ke Kaki Langit akan merasa nyaman. 
Budaya dan tradisi di Kaki Langit Mangunan yang masih terus dirawat dan menjadi daya tarik wisata yang memikat (dok. pri).

Tentu saja yang paling istimewa adalah budaya dan tradisi lokalnya yang elok memikat. Berada di Kaki Langit Mangunan seperti menyaksikan bukti bahwa kelestarian budaya dan tradisi dengan segala pesona dan nilai di dalamnya merupakan hasil dari kemauan serta upaya sungguh-sungguh masyarakat dalam menjaganya. Masyarakat Mangunan sadar bahwa kehidupan mereka saat ini tak lepas dari warisan masa lalu. Dengan merawat budaya dan tradisi, berkah kehidupan pun mengalir dan akhirnya bisa dinikmati oleh siapa saja yang menginjakkan kaki di Kaki Langit Mangunan.

Komentar

  1. Selalu menarik melihat budaya kayak gini. tradisi yang harus dilestarikan secara turun temurun...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk