Berjalan dari Stasiun Besar Yogyakarta alias Stasiun Tugu ke Pasar Beringharjo pada Sabtu (21/12/2019) ternyata sedikit melelahkan dari biasanya. Padahal sudah sering kaki melangkah menyusur jarak yang lebih jauh lagi.
Dawet Mbah Hari di Pasar Berongharji Yogyakarta (dok. pri). |
Akan tetapi rupanya kala itu sedikit berbeda kondisinya. Selain perut belum terisi makanan berat, juga karena hawa cukup gerah. Langit yang sempat terlihat teduh ternyata bukan berarti tak mengundang peluh.
Menginjak Pasar Beringharjo sekitar pukul 10.00 saya segera menyasar lantai bawah yang menjadi gudang batik aneka rupa. Maksud hati ingin melihat-lihat kemeja batik untuk menggantikan sebuah kemeja lama yang sudah menciut. Selain itu hendak membeli geplak dan dodol titipan orang rumah.
Baru lima belas menit berburu batik, saya memutuskan menepi. Sejenak keluar memisahkan diri dari kerumunan pengunjung pasar yang sama-sama tergila-gila pada batik. Sebabnya peluh dan keringat di kening terus menetes meski sudah berulang kali disapu.
Mbah Hari di ujung lorong (dok. pri). |
Mbah Hari sedang ngobrol dengan pembeli dawetnya (dok. pri). |
Misi mencari batik dan oleh-oleh ditunda sebentar. Langkah kaki berganti melipir menuju pintu utara pasar. Bersyukur keinginan hati terbalas. Mbah Hari sudah ada di tempatnya. Mbah Hari merupakan salah satu legenda hidup di Pasar Beringharjo. Ia adalah seorang peracik es dawet paling nikmat dan segar di tempat ini.
Kebetulan saat itu Mbah Hari baru selesai menyiapkan segala keperluan untuk berjualan. Ia masih terlihat menuangkan santan dan pecahan es batu ke dalam sebuah gerabah tanah liat. Baskom besar di depannya yang berisi dawet warna-warni dan cincau hijau juga masih penuh.
Mbah Hari (dok. pri). |
Dawet Mbah Hari (dok. pri). |
“Baru buka mbah?”, tanya saya sambil menarik sebuah kursi plastik berkaki rendah. “Hehe, iya agak kesiangan”, jawab nenek itu dengan rama. Meski suaranya rendah, tapi masih jelas kata-katanya.
Mbah Hari memang biasa berjualan menjelang pukul 10.00. Bisa pula lebih awal. Siang itu seperti pengakuannya ia sedikit terlambat. Beruntung karena saat saya tiba belum terlalu banyak pembeli sehingga bisa mengambil duduk lebih leluasa tepat di hadapannya.
Kalau sudah ramai pembeli dawet Mbah Hari perlu rela berdiri. Oleh karena tempatnya berada di samping pintu beberapa pembeli harus rela pula berdesakan dengan pengunjung lain yang keluar masuk pasar.
Santan dan es batu (dok. pri). |
Mbah Hari sudah berjualan dawet lebih dari 50 tahun. “Dari dulu, (tahun) 65 atau 66-an”, demikian jawabnya mencoba mengingat-ngingat tahun pasti pertama kali menjual dawet. “Sebelum menikah (ketika itu)”, sambungnya.
Hingga kini ia masih setia menyajikan minuman tradisional tersebut. Setiap pagi, dimulai dari pukul dua dinihari ia menyiapkan semua bahan. Sepintas bahan dawet memang tidak terlalu rumit. Namun, jangan remehkan kesetiaan dan kecintaan yang membuat seseorang terus bertahan pada satu hal selama puluhan tahun.
Cepat saja Mbah Hari meracik es dawet yang saya pesan. Mula-mula dengan centong ia mengambil cincau dan dawet warna-warni dari baskom besar di depannya. “Dari pati”, begitu ia menjawab sekaligus meralat tebakan saya yang mengira dawet itu terbuat dari beras.
Setelah cincau dan dawet dituangkan ke dalam mangkuk, ia menambahkan santan yang sudah tercampur es batu. Saya amati Mbah Hari begitu sering menuangkan santan ke dalam wadahnya. Rupanya itu untuk menjaga kekentalan santan karena setiap saat es batu yang dicampurkan ke dalam wadah santan akan segera mencair.
Selanjutnya dituangkannya juruh kental berwarna coklat kehitaman. Juruh ini adalah gula merah cair yang dicampur dengan potongan nangka. Aromanya benar-benar wangi dan menggoda. Seperti halnya santan, juruh ini pun ditempatkan di sebuah gerabah atau gentong kecil dari tanah liat.
Dawet Mbah Hari (dok. pri). |
“Monggo”, katanya mempersilakan. Tentu saja senang hati saya menerima samangkuk dawet itu.
Satu sendok pertama langsung mengalirkan kesegaran ke kerongkongan. Santannya tidak pekat, tapi rasa manisnya terasa berlipat-lipat. Saya merasa ini bukan karena intensitas gulanya, tapi dari potongan nangka yang rasa dan aromanya merembes menyatu dengan dawet. Apalagi nangkanya masih segar dan terdengar bunyi “kres” saat dikunyah.
Satu demi satu pembeli berdatangan. Saya menggeser duduk demi memberi ruang yang lebih lega pada pembeli yang baru datang. Di antara pembeli ada yang memesan tanpa es dan ada pula yang memilih untuk dibungkus. Semangkuk atau sebungkus harganya Rp5000 saja.
Sambil menghabiskan semangkuk dawet, saya perhatikan Mbah Hari terus tekun meracik dawet. Ayunan tangannya berpindah dari satu wadah ke wadah lainnya. Terbayang semua itu sudah dilakukannya sejak puluhan tahun lalu.
Sambil melayani, Mbah Hari mau juga meladeni pembicaraan pembelinya. Bahkan, sesekali ia melempar canda. Seperti terjadi siang itu kepada seorang pembeli di samping saya yang tak paham dengan bahasa Jawa Mbah Hari. “Nggak papa, nggak papa”, kata Mbah Hari sambil tersenyum dan menepuk pundak pembeli tersebut.
Dawet Mbah Hari sudah sejak 1965 (dok. pri). |
Semangkuk dawet telah saya habiskan. Tapi seperti biasa, tak cukup hanya semangkuk kecil itu. Kepada Mbah Hari saya meminta lagi dan tangannya pun kembali berayun bergerak meracik dawet. Ayunan tangan itu pastilah belum berubah sejak 1965.
Komentar
Posting Komentar