Langsung ke konten utama

Ulama Penebar Kebencian Seperti Gembala yang Lepas


Hari ini kita hidup dan menjalani kehidupan dalam peradaban modern di mana kemajemukan menjadi corak utama. Kemajemukan tidak bisa kita tolak atau singkirkan. Kita hanya mungkin menghindarinya jika bisa memaksa Tuhan untuk tidak melahirkan kita ke dunia atau meyakinkan Tuhan agar hanya menciptakan segalanya sesuai keinginan kita. 

Akan tetapi siapa kita sampai berani dan bisa memaksa Tuhan?
Tugu "Salib" di puncak Bukit Harapan di Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Tugu ini berdiri di sebelah Tugu "Bulan Bintang" sebagai lambang toleransi beragama (dok. pri).
Di tengah kehidupan yang majemuk kita pun menghadapi permasalahan utama yang sama mengenai agama. Inti permasalahannya ialah sejauh mana umat beragama yang majemuk, terutama di Indonesia, mampu membangun dan mengembangkan sebuah peradaban yang indah dan kuat?

Kadang saya disergap rasa keraguan tentang peradaban yang indah itu. Bukan pesimis atau membayangkan Indonesia akan gagal mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Bayangan tentang peradaban bangsa yang kuat dan penuh kedamaian serta kesantunan ada di ujung penglihatan. Akan tetapi masih agak jauh untuk bisa menjumpai rupa peradaban tersebut hadir di tengah-tengah kita.

Secara prinsip saya dan kebanyakan dari kita tentu setuju bahwa kemajemukan yang mewarnai Indonesia adalah keunggulan positif yang sangat besar. Namun, siapa yang tidak resah ketika semakin hari semakin sering kita menjumpai ekspresi keagamaan yang tidak terkendali?

Bersamaan dengan itu pula kita jumpai ulama-ulama yang semestinya membawa pencerahan tentang kearifan agama dan persatuan umat, justru cenderung memancing isu-isu destruktif dan memecah belah. Entah sudah berapa kali kita menatap realitas bahwa di antara para pembawa pesan agama itu, kerap mengobarkan emosi melalui pandangannya tentang “bela agama”, “bela Tuhan”, dan sebagainya.

Pembangkit Sentimen Agama
Agama adalah jalan mewujudkan kemanusiaan dan kepercayaan pada Tuhan merupakan penunjuk arah terbaik untuk mencapainya. Maka ulama sebagai pembawa ilmu mestinya menuntun masyarakat agar mengamalkan kemanusiaan. Salah satunya dengan mendidik umatnya untuk menghilangkan sifat memusuhi dan memandang rendah agama lain.
Masjid dan Gereja berdiri di atas sebidang tanah yang sama dan berpagar sama di tepi Teluk Buyat, perbatasaan Kabupaten Minahasa Tenggara dan Bolaang Mongondow (dok. pri).
Namun, sekarang kerap dijumpai sebaliknya. Seorang atau dua orang ustaz dalam ceramahnya menggelontorkan ujaran yang menekankan tempat ibadah dan simbol agama A adalah gangguan bagian iman agama B. Seolah agama C adalah penghalang dalam menegakkan agama D. Istilah “menegakkan agama” pun sering dibelokkan maknanya sebagai perlawanan terhadap agama lain. Di sinilah berlangsung produksi sentimen agama. 

Lalu seperti sering kita jumpai, termasuk di media sosial, banyak orang memilih untuk mengikuti pandangan penuh sentimen tersebut. Sangat disayangkan jika ada sejumlah ustaz atau ulama yang memproduksi murid, pengikut, dan penggemar yang emosional, berpandangan sempit, dan memiliki benih intoleran. 

Ulama semestinya bertindak untuk memerangi sifat-sifat buruk semacam itu. Mereka yang bergelar ustaz selayaknya bertanggung jawab meluruskan pandangan-pandangan keagamaan yang keliru. 

Tokoh agama perlu mengambil peran sebagai pembawa pesan spiritualitas agama yang mengajarkan penghargaan terhadap sesama manusia. Bukan justru menjadi pelaku pembangkit sentimen, kebencian, dan fanatisme sempit.

Kebenaran Eksklusif
Jika diselidiki, kecenderungan orang membangkitkan sentimen agama berangkat dari obsesi yang berlebihan tentang klaim kebenaran ajaran agama. Tentu ini bukan satu-satunya latar belakang. Hanya saja dari sejumlah fenomena ujaran kebencian dan intoleransi yang menguat di sekitar kita akhir-akhir ini, adanya pandangan tentang kebenaran agama secara ekslusif tampak sekali.

Memang agama menuntut keyakinan tanpa keraguan dari penganutnya. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa bukan hanya agama yang kita anut yang menuntut hal itu. Komitmen yang sama juga tertanam pada agama-agama lain. Semua penganut agama apa pun meyakini kebenaran ajaran agamanya masing-masing. Setiap pemeluk agama mempercayai bahwa agamanya yang paling baik.
Saling menghargai, tidak saling mengganggu (dok. pri).
Kita bisa berdialog soal kebenaran agama. Bahkan antar umat beragama bisa duduk bersama untuk menjabarkan ajaran agamanya masing-masing. Akan tetapi itu bukan ditujukan untuk menentukan klaim ajaran mana yang paling benar dan menghakimi agama mana yang tidak benar. Melainkan untuk memperkaya pemahaman soal agama.

Dalam membahas agama lain kita juga perlu merendahkan hati lebih dulu. Selama dalam diri masih ada kesombongan dan kecongkakan, maka yang dihasilkan adalah sikap dan ujaran yang merendahkan agama lain.

Sebagai pemeluk Islam saya perlu jujur mengakui bahwa ada saja ulama, ustaz, atau pemuka agama yang kerap menyinggung dan merendahkan agama lain. Baik dengan bahasa dan kemasan yang lantang tersurat, maupun keras tersirat. 

Saya tidak bisa membayangkan jika yang terjadi adalah tokoh agama lain yang menyinggung agama saya. Mungkin akan segera terjadi gelombang kemarahan dan demonstrasi berjilid-jilid lagi seolah hanya mayoritas yang berhak tersinggung.

Oleh karena itu, klaim kebenaran dan keunggulan ajaran agama tidak tepat untuk ditonjolkan di tengah kemajemukan Indonesia. Apalagi dijadikan dasar untuk mengolok-olok agama lain beserta penganutnya. 

Mengukur kesakralan agama lain dengan standar keyakinan yang kita anut memperbesar kemungkinan kita terjerumus pada sikap yang merendahkan martabat agama. Terlebih jika sikap dan pandangan semacam itu dimiliki oleh mereka yang bergelar ulama.

Gembala yang Lepas
“Agama tentu benar, tapi para pemeluk dan penganutnya seringkali tidak benar”

Barangkali makna ungkapan tersebut benar adanya. Seringkali manusia atas nama agama dan persepsi keyakinannya sendiri melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama itu sendiri.

Dalam hal ulama, ustaz, atau tokoh agama yang ucapan, sikap serta tindakannya kurang selaras dengan pesan agama, kita bisa meyakini hanya segelintir jumlahnya. Stok ulama yang baik masih jauh lebih banyak. 

Sementara seperti dalam sekawanan ternak gembala yang diharapkan selaras dan sejalan, sering ada satu atau dua ternak gembala yang lepas dan liar. Ekspresi gembala yang lepas sebenarnya tidak mencerminkan ekspresi resmi kawanannya. Akan tetapi karena sering mengekspresikan perlawanan, gembala yang lepas ini bisa merepotkan dan mengusik kedamaian. 

Gembala yang lepas juga sering mengekspresikan “keberanian” sehingga mudah mengundang simpati heroisme. Dengan cara demikian gembala yang lepas bisa mempengaruhi anggota kawanan lainnya yang semula baik menjadi ikut melakukan tindakan yang keliru. 

Lalu dengan mudah dan cepat terbentuk hubungan yang kuat antara pemimpin dan pengikut. Inilah yang kita temui akhir-akhir ini dari beberapa kontroversi ulama yang kerap menyinggung sentimen agama lain.
Pesan damai dari Odong-odong (dok. pri).
Kita doakan agar mereka mendapat hidayah dan menemukan petunjuk yang lebih baik sehingga kembali menjadi pembawa pesan damai dan kemanusiaan. Agar tidak lagi memanipulasi umat dan menebar kebencian dengan memanfaatkan sentimen keagamaan yang tidak selaras dengan ajaran agama. Agar diberi sikap tenggang rasa yang semakin dalam dan jernih untuk memandang lingkungan sekelilingnya yang majemuk.

Kita juga perlu membenahi diri sendiri. Tidak perlu ikut-ikutan melakukan klaim kebenaran yang merendahkan agama lain. Sepantasnya kita memberikan penghormatan yang lebih tulus kepada orang-orang yang meyakini jalan kebenaran yang dianutnya. Sebagai manusia kita sama-sama memiliki perasaan. Jika tidak ingin perasaan kita diganggu, maka seharusnya kita jangan menyinggung perasaan yang lain. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk