Minggu lalu ketika pergi ke minimarket untuk membeli air mineral dan buah, pandangan saya ikut tertuju pada rak yang terlihat lumayan istimewa. Saya katakan istimewa karena di atas rak tersebut berderet aneka hand sanitizer. Mungkin ada lebih dari empat merek yang saya temui malam itu.
Bentuknya pun bervariasi. Ada yang liquid dalam botol semprot, gel, bahkan tersedia juga kemasan refill volume 300 ml dari sebuah merek yang terkenal.
Bentuknya pun bervariasi. Ada yang liquid dalam botol semprot, gel, bahkan tersedia juga kemasan refill volume 300 ml dari sebuah merek yang terkenal.
Empat ribuan (dok. pri). |
Harga semua hand sanitizer tersebut sudah jauh berbeda dengan apa yang kita jumpai satu atau dua bulan lalu di mana hand sanitizer menjadi produk langka berharga selangit. Sekarang hand sanitizer, paling tidak yang saya jumpai di minimarket tersebut, dijual dengan harga yang terjangkau. Mungkin mendekati harga semula sebelum masa pandemi Covid-19 terjadi.
Malah, ada satu merek yang harganya cukup murah. Satu botol hand sanitizer merek Nuvo saya dapatkan hanya seharga empat ribu rupiah lebih sedikit. Tepatnya Rp4300 untuk volume 50 ml.
Lumayan terkejut saya menjumpainya. Meski sudah and sanitizer sudah banyak tersedia lagi, terutama di toko daring, tapi menemukan hand sanitizer seharga empat ribuan secara langsung di toko atau minimarket merupakan kejutan tersendiri.
Malah, ada satu merek yang harganya cukup murah. Satu botol hand sanitizer merek Nuvo saya dapatkan hanya seharga empat ribu rupiah lebih sedikit. Tepatnya Rp4300 untuk volume 50 ml.
Lumayan terkejut saya menjumpainya. Meski sudah and sanitizer sudah banyak tersedia lagi, terutama di toko daring, tapi menemukan hand sanitizer seharga empat ribuan secara langsung di toko atau minimarket merupakan kejutan tersendiri.
Untuk memastikan harganya, sempat saya bertanya kepada seorang pegawai minimarket yang kebetulan sedang membenahi sejumlah etalase produk. Ternyata harga tersebut benar adanya. Saya pun mengambil sebotol dan membawanya ke kasir.
Saya kurang tahu apakah harga hand sanitizer Nuvo dulu memang semurah ini. Kalau benar, rasanya sangat luar biasa membandingkan bagaimana harganya bisa melonjak secara ugalan-ugalan dua bulan belakangan. Di masa langkanya, hand sanitizer Nuvo ini mungkin dijual lima kali lipat lebih mahal dan jadi rebutan banyak orang.
Kini hand sanitizer telah pulih harganya. Menariknya, keberadaanya pun awet di rak toko. Artinya, tak lagi jadi buruan banyak orang. Dengan kata lain kondisi pasar, stok, dan permintaan konsumen terhadap hand sanitizer bisa dikatakan telah kembali ke kondisi normal.
Bicara soal kondisi normal, hampir dua pekan ini masyarakat Indonesia juga dilingkupi suasana kebatinan baru mengenai “the new normal” di era pandemi Covid-19. Gagasan normal baru yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi dielaborasikan dengan hidup berdamai dan berkompromi dengan Covid-19.
Secara umum gagasan normal baru bukanlah sesuatu yang baru. Setidaknya sejumlah negara yang terjangkit Covid-19 sudah mulai memasuki fase awal dan bahkan sudah dalam tahap menjalani normal baru. Sebutlah Tiongkok, Korea Selatan, Jerman dan sebagainya.
Akan tetapi normal baru yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi ke tengah masyarakat rasanya masih prematur. Normal baru membutuhkan bantalan dan prasyarat yang tak ringan.
Sayangnya selama dua bulan terakhir bertarung melawan Covid-19, Indonesia tak cukup berhasil membangun bantalan atau landasan yang memadai untuk sebuah “the new normal”. Sejumlah prasyarat untuk memulai normal yang baru rasanya belum dipenuhi oleh Indonesia.
Maka gagasan normal baru versi Presiden Jokowi ibarat mendirikan bangunan raksasa baru di atas pondasi yang minim dan rapuh. Pemerintah seolah mengajak rakyatnya untuk melakukan loncatan besar secara tiba-tiba tanpa pemanasan yang berhasil.
The new normal memang sebuah keniscayaan yang perlu dijelang oleh masyarakat dunia pasca Covid-19. Masalahnya sulit membayangkan bagaimana kitamemulai normal baru jika masyarakat dan pemerintah sama-sama tak disiplin. Sulit membayangkan bagaimana normal baru dijalani di atas kesimpangsiuran, ketidaktegasan, serta ketiadaan evaluasi yang jelas atas segala upaya yang telah dijalankan sebelumnya.
“Kita belum sepenuhnya bisa mengendalikan Covid-19”, begitu kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu.
Oleh karena itu, kita pantas bertanya, apa modal yang telah kita miliki untuk melangkah ke normal baru? Bagaimana pemerintah merangkai gagasan the new normal? Apakah hanya gengsi demi ikut-ikutan seperti negara lain?
Kita pantas khawatir gagasan normal baru Presiden Jokowi adalah bagian dari rangkaian kebimbangan pemerintah selama ini dalam memerangi Covid-19. Seperti halnya kebijakan yang tidak konsisten, penegakan PSBB yang setengah hati, koordinasi antar lembaga yang kedodoran, serta komunikasi publik yang buruk, the new normal hanya letupan yang dilontarkan Presiden Jokowi berdasarkan penafsiran-penafsiran jangka pendek atas data yang seadanya.
Masih jelas di ingatan beberapa Minggu lalu ketika pemerintah mengklaim keberhasilan PSBB di sejumlah daerah, termasuk Jakarta dalam menekan penyebaran Covid-19. Hanya berdasarkan data harian pemerintah begitu yakin dengan efektivitas PSBB lalu mulai merencanakan pelonggaran-pelonggaran. Relaksasi transportasi dilakukan dan rencana pembukaan kantor serta fasilitas publik dilontarkan.
Namun, kemudian angka penyebaran Covid-19 kembali melonjak. Narasi pemerintah kembali berubah. Katanya tidak ada rencana pelonggaran PSBB. Katanya mudik tetap dilarang.
Dari contoh tersebut terlihat bagaimana pemerintah menyimpukan terlalu dini hanya berdasar angka-angka sementara yang rentang waktunya sangat pendek.
Begitu pula dalam gagasan the new normal. Awalnya pemerintah begitu gencar mempromosikan normal baru ini. Barangkali salah satu dasarnya ialah semakin banyaknya pasien yang sembuh.
Akan tetapi setelah terkuak bahwa penyebaran Covid-19 semakin merata di seluruh negeri dan kecenderungan kegagalan PSBB di kota-kota besar, narasi the new normal coba dikurangi. Pemerintah kembali ke narasi awal soal tidak adanya pelonggaran, larangan mudik tetap berlaku, dan seterusnya.
Sayangnya masyarakat terlanjur menangkap pesan the new normal sebagai legitimasi untuk bebas keluar rumah, belanja ke pasar beramai-ramai, mendatangi mall berombongan, menggelar pertemuan berjamaah dan sebagainya.
Dengan demikian gagasan normal baru pada dasarnya telah menciptakan kesimpangsiuran baru seperti yang selama ini dibuat oleh pemerintah.
Sepanjang yang kita ikuti, normal baru versi Presiden Jokowi juga belum juga jelas seperti apa protokolnya. Apa jadinya jika normal baru diterapkan sementara pada saat bersamaan di sejumlah daerah PSBB justru baru dimulai? Bagaimana bedanya normal baru di daerah yang tidak menerapkan PSBB dengan daerah yang baru menjalankan PSBB?
Normal baru di pasar tentu berbeda dengan normal baru di sekolah. Masalahnya sejauh ini kita tahu bahwa jaga jarak susah diterapkan di pasar. Sementara di sekolah kita masih perlu melakukan kajian yang cermat dan hari-hati untuk memastikan anak-anak, terutama tingkat sekolah dasar bisa memahami normal baru yang masih asing bagi mereka.
Itu hanya contoh sebagian saja bahwa keputusan atau gagasan the new normal yang diambil berdasarkan persepsi seadanya dan kesimpulan prematur sangat berbahaya.
Saya kurang tahu apakah harga hand sanitizer Nuvo dulu memang semurah ini. Kalau benar, rasanya sangat luar biasa membandingkan bagaimana harganya bisa melonjak secara ugalan-ugalan dua bulan belakangan. Di masa langkanya, hand sanitizer Nuvo ini mungkin dijual lima kali lipat lebih mahal dan jadi rebutan banyak orang.
Kini hand sanitizer telah pulih harganya. Menariknya, keberadaanya pun awet di rak toko. Artinya, tak lagi jadi buruan banyak orang. Dengan kata lain kondisi pasar, stok, dan permintaan konsumen terhadap hand sanitizer bisa dikatakan telah kembali ke kondisi normal.
Bicara soal kondisi normal, hampir dua pekan ini masyarakat Indonesia juga dilingkupi suasana kebatinan baru mengenai “the new normal” di era pandemi Covid-19. Gagasan normal baru yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi dielaborasikan dengan hidup berdamai dan berkompromi dengan Covid-19.
Secara umum gagasan normal baru bukanlah sesuatu yang baru. Setidaknya sejumlah negara yang terjangkit Covid-19 sudah mulai memasuki fase awal dan bahkan sudah dalam tahap menjalani normal baru. Sebutlah Tiongkok, Korea Selatan, Jerman dan sebagainya.
Akan tetapi normal baru yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi ke tengah masyarakat rasanya masih prematur. Normal baru membutuhkan bantalan dan prasyarat yang tak ringan.
Sayangnya selama dua bulan terakhir bertarung melawan Covid-19, Indonesia tak cukup berhasil membangun bantalan atau landasan yang memadai untuk sebuah “the new normal”. Sejumlah prasyarat untuk memulai normal yang baru rasanya belum dipenuhi oleh Indonesia.
Maka gagasan normal baru versi Presiden Jokowi ibarat mendirikan bangunan raksasa baru di atas pondasi yang minim dan rapuh. Pemerintah seolah mengajak rakyatnya untuk melakukan loncatan besar secara tiba-tiba tanpa pemanasan yang berhasil.
The new normal memang sebuah keniscayaan yang perlu dijelang oleh masyarakat dunia pasca Covid-19. Masalahnya sulit membayangkan bagaimana kitamemulai normal baru jika masyarakat dan pemerintah sama-sama tak disiplin. Sulit membayangkan bagaimana normal baru dijalani di atas kesimpangsiuran, ketidaktegasan, serta ketiadaan evaluasi yang jelas atas segala upaya yang telah dijalankan sebelumnya.
“Kita belum sepenuhnya bisa mengendalikan Covid-19”, begitu kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 beberapa hari lalu.
Oleh karena itu, kita pantas bertanya, apa modal yang telah kita miliki untuk melangkah ke normal baru? Bagaimana pemerintah merangkai gagasan the new normal? Apakah hanya gengsi demi ikut-ikutan seperti negara lain?
Kita pantas khawatir gagasan normal baru Presiden Jokowi adalah bagian dari rangkaian kebimbangan pemerintah selama ini dalam memerangi Covid-19. Seperti halnya kebijakan yang tidak konsisten, penegakan PSBB yang setengah hati, koordinasi antar lembaga yang kedodoran, serta komunikasi publik yang buruk, the new normal hanya letupan yang dilontarkan Presiden Jokowi berdasarkan penafsiran-penafsiran jangka pendek atas data yang seadanya.
Masih jelas di ingatan beberapa Minggu lalu ketika pemerintah mengklaim keberhasilan PSBB di sejumlah daerah, termasuk Jakarta dalam menekan penyebaran Covid-19. Hanya berdasarkan data harian pemerintah begitu yakin dengan efektivitas PSBB lalu mulai merencanakan pelonggaran-pelonggaran. Relaksasi transportasi dilakukan dan rencana pembukaan kantor serta fasilitas publik dilontarkan.
Namun, kemudian angka penyebaran Covid-19 kembali melonjak. Narasi pemerintah kembali berubah. Katanya tidak ada rencana pelonggaran PSBB. Katanya mudik tetap dilarang.
Dari contoh tersebut terlihat bagaimana pemerintah menyimpukan terlalu dini hanya berdasar angka-angka sementara yang rentang waktunya sangat pendek.
Begitu pula dalam gagasan the new normal. Awalnya pemerintah begitu gencar mempromosikan normal baru ini. Barangkali salah satu dasarnya ialah semakin banyaknya pasien yang sembuh.
Akan tetapi setelah terkuak bahwa penyebaran Covid-19 semakin merata di seluruh negeri dan kecenderungan kegagalan PSBB di kota-kota besar, narasi the new normal coba dikurangi. Pemerintah kembali ke narasi awal soal tidak adanya pelonggaran, larangan mudik tetap berlaku, dan seterusnya.
Sayangnya masyarakat terlanjur menangkap pesan the new normal sebagai legitimasi untuk bebas keluar rumah, belanja ke pasar beramai-ramai, mendatangi mall berombongan, menggelar pertemuan berjamaah dan sebagainya.
Dengan demikian gagasan normal baru pada dasarnya telah menciptakan kesimpangsiuran baru seperti yang selama ini dibuat oleh pemerintah.
Sepanjang yang kita ikuti, normal baru versi Presiden Jokowi juga belum juga jelas seperti apa protokolnya. Apa jadinya jika normal baru diterapkan sementara pada saat bersamaan di sejumlah daerah PSBB justru baru dimulai? Bagaimana bedanya normal baru di daerah yang tidak menerapkan PSBB dengan daerah yang baru menjalankan PSBB?
Normal baru di pasar tentu berbeda dengan normal baru di sekolah. Masalahnya sejauh ini kita tahu bahwa jaga jarak susah diterapkan di pasar. Sementara di sekolah kita masih perlu melakukan kajian yang cermat dan hari-hati untuk memastikan anak-anak, terutama tingkat sekolah dasar bisa memahami normal baru yang masih asing bagi mereka.
Itu hanya contoh sebagian saja bahwa keputusan atau gagasan the new normal yang diambil berdasarkan persepsi seadanya dan kesimpulan prematur sangat berbahaya.
The new normal tanpa landasan dan bekal yang kuat ibarat melempar sekeranjang Corona ke tengah masyarakat.
Maka dari itu, daripada melontarkan gagasan yang simpang siur dan serba tidak tegas, lebih baik pemerintah memperbaiki koordinasi dan komunikasi. Presiden Jokowi dan para pembantunya didesak untuk menjadi teladan bagi masyarakat.
Rakyat tidak patuh salah satunya karena melihat pemerintah yang tidak konsisten. Rakyat bersikap masa bodo karena melihat aparat tidak tegas. Dan masyarakat berhamburan keluar seperti yang terjadi saat ini karena menelan gagasan “the new normal” yang prematur.
Ada pertanyaan usil dan mengusik yang berkelindan di benak saya. Apakah Presiden Jokowi melontarkan gagasan normal baru berdasarkan bisikan pembantunya yang pada suatu hari iseng pergi ke minimarket lalu menemukan hand sanitizer harganya murah?
Sang pembantu dan pembisik dengan penuh semangat menghadap Presiden. “Lapor, Presiden. Hand sanitizer di minimarket sudah banyak dan harganya normal, hanya Rp4000”. Lalu direspon. “Okay, berarti kita sudah siap untuk memulai normal yang baru”.
Komentar
Posting Komentar