Setiap pemimpin pada masanya selalu menghadapi tantangan berbeda. Begitu pula para presiden yang memimpin Indonesia dari dulu hingga kini.
Berbagai persoalan terus menguji bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Namun, kenyataan Indonesia tetap tegak hingga sekarang menunjukkan bahwa para pemimpin kita berhasil mengantar bangsa ini melewati perjalanan penuh bahaya. Mereka bisa mengatasi tantangan zaman serta meninggalkan monumen sejarah.
Ayo Pakai Masker! (dok. pri). |
Untuk setiap keberhasilannya yang luar biasa, seorang presiden akan dikenang dan harum namanya. Sebagaimana untuk setiap warisannya yang monumental setiap pemimpin akan dipuja dan diteladani.
Sebaliknya, setiap penyelewengan, penyimpangan, kesewenangan, dan kegagalan bisa menimbulkan kebencian. Pemimpin yang banyak menciptakan luka akan meninggalkan trauma dan sulit dimaafkan.
Pendek kata capaian setiap pemimpin tak melulu terekam dalam tinta emas. Sering terserak catatan kelam di antaranya.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dipuja dan diteladani sebagai salah satu pendiri bangsa. Tinta emas sejarah menulis namanya berulang kali bukan hanya sebagai Proklamator, tapi juga sebagai pemimpin besar, penyambung lidah rakyat, dan seterusnya. Sementara namanya harum di tanah sendiri, ia juga disegani dan dihormati di dunia.
Namun, sejarah juga tak lupa soal misteri kedekatan Bung Karno dengan partai komunis. Sedangkan penyimpangan Demokrasi Terpimpin menjelang akhir kepemimpinannya yang tragis menjadi salah satu kritik terbesar bagi sang proklamator.
Presiden kedua, Soeharto, yang mencetak rekor angka 32 tahun disemati gelar Bapak Pembangunan. Di masa kepemimpinannya roda pembangunan bergulir kencang meski hanya Jawa yang paling makmur dan meninggalkan wilayah lainnya dalam jurang keterbelakangan.
Soeharto sedemikian rupa membuat rakyat merasa aman. Rakyat menikmati kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang berkat pelaksanaan Pancasila dan P4 secara murni dan konsekuen. Padahal, semua itu hanya propaganda untuk mengukuhkan tahta kediktatorannya.
Murahnya harga kebotohan pokok harus ditebus dengan matinya demokrasi dan terenggutnya hak asasi. Stabilitas nasional menjadi jargon Soeharto untuk membungkam suara-suara yang berbeda. Keberagaman Indonesia dibonsai.
Sementara rakyat dibuat nyaman dengan beras murah, kroni-kroni Soeharto menyedot uang rakyat dengan mesin-mesin korupsinya. Orde baru yang diciptakan Soeharto adalah fatamorgana kelam yang tak boleh terulang.
Presiden ketiga, BJ. Habibie, ditulis dalam sejarah Indonesia sebagai presiden pertama pada era reformasi. Habibie memang tidak disukai untuk restu referendum yang berujung lepasnya Timor Leste dari gugusan peta kepulauan Indonesia.
Namun, sang jenius pembuat kapal terbang ini meninggalkan warisan berupa pondasi demokrasi yang di atasnya kita bangun sistem pemerintahan yang lebih demokratis saat ini. Dalam masa yang singkat, Habibie berhasil mengantarkan Indonesia melewati masa-masa rawan menuju masa transisi.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memerintah tak lama. Walau demikian warisannya sangat besar maknanya bagi bangsa Indonesia. Gus Dur berhak atas anugerah Bapak Pluralisme dan Pelindung HAM.
Presiden Gus Dur mampu menegakkan kembali pilar-pilar keberagaman dan hak asasi yang dibonsai oleh orde baru. Banyak yang percaya Gus Dur akan sanggup melakukan lebih banyak lagi perubahan dan kemajuan yang monumental untuk Indonesia andai ia memerintah lebih lama. Andai saja ia tak dilengserkan oleh para petualang politik berwatak pengacau.
Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur juga menorehkan capaian penting. Nasionalisme mengalir pekat dalam darahnya salah satunya karena warisan sang ayah. Pembelaanya terhadap demokrasi menguat lewat pengalamannya ditekan oleh rezim orde baru. Modal tersebut membuat Megawati berhasil mengawal dan mengembangkan demokrasi di tengah banyak persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat itu.
Sementara itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang terpilih melalui pemilu langsung semenjak era reformasi. Ia dikritik peragu dan hanya bisa membuat lagu. Sebagai pemimpin ia sering dianggap lamban dan terlalu kompromistik.
Akan tetapi tinta emas boleh digunakan untuk mencatat keberhasilannya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dua periode masa kepemimpinan Presiden SBY juga menjadi era stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang mantap.
Pertanyaannya sekarang, apa yang akan dicatat oleh sejarah untuk Presiden Joko Widodo? Kalimat seperti apa yang akan dicetak dengan tinta emas baginya?
Apakah Jokowi ingin dikenang sebagai presiden yang banyak membangun jembatan, pelabuhan, dan jalan tol? Kalau cuma demikian ia akan sejajar sebagai Bapak Pembangunan Jilid II penerus Soeharto. Bukan catatan yang terlalu membanggakan.
Boleh jadi hal pertama yang telah tercatat ialah bahwa Jokowi merupakan presiden pertama yang lahir dari lingkungan rakyat biasa. Bukan dari sangkar mewah golongan atas.
Revolusi mental yang digulirkannya saat pertama kali menjabat sebagai presiden sebenarnya juga layak untuk dicatat. Sayangnya dengung revolusi mental semakin lirih. Memasuki tahun ketiga periode pertamanya Jokowi mulai jarang bicara revolusi mental. Seiring gencarnya pembangunan infrastruktur, jargon revolusi mental pelan-pelan tenggelam.
Pada masa awal kepemimpinannya yang pertama, Presiden Jokowi terlihat sebagai “Presiden Petarung". Ia gigih meladeni kelompok oposisi di parlemen. Serangan-serangan dari kelompok antidemokrasi dan kelompok intoleran yang terus menerus merongrong juga dihadapinya dengan teguh. Akan tetapi seiring waktu Presiden Jokowi berubah menjadi sangat kompromistis seperti SBY. Perlawanannya terhadap para mafia juga cenderung naik turun.
Barangkali selain pembangunan infrastuktur, hal yang juga masih konsisten diperlihatkan oleh pemerintahan Jokowi ialah upaya pembenahan birokrasi dan peningkatan profesionalisme pegawai pemerintah. Itu pun lamban gerak perubahannya. Buktinya Presiden Jokowi sendiri sering mengkritik dan mengeluhkan birokrasi yang rumit dan bertele-tele sebagai biang lambannya penyerapan anggaran, penyaluran bantuan, dan pemberian insentif di tengah pandemi sekarang.
Memang pandemi Covid-19 menjadi persoalan terberat yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi. Lebih dari sekadar masalah kesehatan, pandemi secara luas mencekam perekonomian, keamanan, pendidikan, dan kehidupan sosial secara bersamaan. Tantangannya sangat berat dan semua pilihan yang tersedia tampak pahit di banyak sisi.
Masalahnya Indonesia telah melewatkan banyak momentum untuk mengatasi pandemi. Tiga bulan pertama di mana banyak negara berhasil menahan dampak lebih buruk, Indonesia justru mengalami kekalahan. Momentum kebangkitan nasional juga gagal dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memerangi Covid-19.
Target Presiden Jokowi untuk mengakhiri pandemi pada akhir April tak tercapai. Targetnya lalu berganti Mei sebelum Idulfitri, kemudian diprediksi akan mulai menurun pada Juni. Ternyata meleset seluruhnya.
Berlarut-larutnya pandemi di Indonesia membuat negeri ini mengalami “double kill”, yakni keterpurukan kesehatan dan ekonomi sekaligus. Tanda-tandanya mulai terlihat. Jurang resesi disebut sudah dekat di ujung mata kita. Sementara Covid-19 semakin merajalela.
Kita berharap Presiden Jokowi segera menemukan solusi yang tepat untuk membawa Indonesia keluar dari cekaman pandemi. Keberhasilan pemerintah, dalam hal ini presiden dalam memimpin perann melawan pandemi akan menjadi monumen besar bagi bangsa.
Jika sanggup melakukannya Presiden Jokowi akan ditulis dalam sejarah sebagai “Bapak Pandemi”. Rakyat akan mengingatnya sebagai pemimpin peneguh simbol ketangguhan negeri ini dalam melewati tantangan terberat. Sebaliknya jika gagal, Jokowi akan diingat sebagai “Bapak Resesi”.
Menarik. Bukan hanya bapak pandemi (kalaupun jadi). Yang berbeda dengan sebelumnya juga mungkin bapak mobil Esemka dan bapak ibu kota.
BalasHapus