Rentetan bencana alam yang terjadi silih berganti dalam dua pekan pertama 2021 menyentak kita sebagai bangsa. Gempa bumi dahsyat, letusan gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, laut pasang, hingga ancaman tsunami bukanlah dongeng di negeri ini.
Sebagai negeri yang sangat rawan bencana, Indonesia tak bisa mengelak dari kejadian bencana alam. Lempeng-lempeng benua yang terus bergerak aktif di bawah kerak bumi Indonesia, pengaruh letak geografis, dampak perubahan iklim global, serta sikap dan budaya masyarakatnya telah membuat bencana sebagai konsekuensi dan keniscayaan yang tak bisa kita hindari.
Erupsi Merapi pada 17 Januari 2021 (foto: Antara). |
Salah Kaprah Relasi Agama, Takdir, dan Bencana
Sebagian masyarakat memaknai bencana alam secara obyektif dengan sudut pandang ilmu pengetahuan beserta aspek-aspek ilmiahnya. Namun, sebagian lainnya berlaku dan bersikap kebalikan.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang bencana alam secara non-obyektif. Penyebab bencana oleh sebagian masyarakat selalu dikaitkan dengan relasi agama dan takdir.
Paradoks semacam itu menciptakan ironi. Pada satu sisi pemahaman agama bisa melahirkan kesadaran diri yang sangat menunjang ketahanan dan kesiagaan terhadap bencana.
Ajaran agama yang menitikberatkan pada kemanusiaan akan mengarahkan kita untuk saling menjaga satu sama lain. Termasuk saling melindungi dari ancaman bencana. Ajaran agama yang menganjurkan manusia menjaga alam bisa menjadi sumber motivasi bagi masyarakat untuk berperilaku dan hidup selaras bersama alam.
Bentuk pemahaman dan kepatuhan yang positif semacam itu mendorong kesadaran masyarakat untuk ikut melakukan mitigasi bencana sejak dini. Dengan demikian saat terjadi bencana alam dampaknya bisa diminimalisir.
Di sisi lain pemahaman agama yang tidak tepat disertai pemaknaan non-obyektif terhadap bencana akan membuat ketahanan dan kewaspadaan masyarakat semakin rapuh. Tanpa disadari masyarakat terjerumus ke dalam ancaman bencana yang lebih besar.
Ambil contoh pemahaman terhadap konsep “hidup dan mati di tangan Tuhan” yang diterima begitu saja. Pemaknaan keliru tentang konsep tersebut membuat masyarakat merasa tidak perlu berbuat sesuatu. Bencana dianggap sebagai peristiwa yang tidak perlu ditakuti.
Akibat dari pemahaman konsep hidup dan mati seperti demikian timbul anggapan bahwa bencana tidak perlu diantisipasi. Sebab semua manusia pada dasarnya akan mati sehingga bencana cukup diterima apa adanya. Sikap pasrah yang keliru seperti ini membuat kesiagaan dan kewaspadaan masyakarat sulit terbangun secara maksimal.
Pemahaman sempit terhadap konsep kepasrahan “manusia yang merencanakan, Tuhan yang menentukan” juga menimbulkan konsekuensi serupa. Masyarakat yang menerimanya secara sempit menganggap upaya kesiagaan dan mitigasi bencana tidak akan bisa menyelamatkan manusia jika Tuhan tidak mengizinkan.
Ini serupa dengan pemahaman sempit soal konsep “Tuhan sedang marah” yang membentuk pandangan salah kaprah bahwa “bencana tak bisa dilawan””.
Padahal konsep-konsep keyakinan di atas sebenarnya mengandung ajaran penting bahwa manusia perlu berusaha semaksimal mungkin agar “takdir baik” dari Tuhan bisa menghampiri dan “takdir buruk” bisa dihindari. Artinya, upaya terbaik untuk mengantisipasi dan melindungi diri dari bencana wajib diupayakan.
Prasangka Keagamaan
Salah kaprah pemahaman keagamaan dalam konteks bencana terjadi bukan hanya di Indonesia. Secara umum pada komunitas masyarakat yang menjadikan agama sebagai properti utama kehidupan, diskursus keagamaan akan selalu muncul saat ada bencana atau musibah.
Akan tetapi di Indonesia respon dan pemaknaan yang ditunjukkan oleh masyarakat memiliki “kekhasan” sendiri. Selain suka membawa-bawa relasi antara Tuhan dan manusia, pemaknaan bencana oleh sebagian masyarakat Indonesia juga sering menyertakan prasangka keagamaan.
Ini adalah hal yang negatif. Sebab prasangka keagamaan membuat tantangan penanganan bencana di Indonesia semakin besar dan pelik.
Di Yogyakarta, misalnya, ada satu prasangka keagamaan yang tersebar secara liar ketika erupsi Merapi pada 2010. Riuh di tengah masyarakat dan media lokal mengungkit soal misi kristenisasi. Akibatnya pada waktu itu terjadi penarikan keluar sejumlah pengungsi muslim dari lingkungan pengungsian kristen karena khawatir para pengungsi muslim akan mengalami pemurtadan secara diam-diam.
Prasangka keagamaan semacam itu bukan hal baru di Yogyakarta. Pada 2005 saat Yogyakarta diguncang gempa besar yang berpusat di Bantul, narasi-narasi prasangka keagamaan bergema lebih kencang.
Saat itu berkembang pandangan bahwa gempa Yogyakarta adalah hukuman dari Tuhan atas kekafiran yang merebak di Yogyakarta. Anggapan bahwa Yogyakarta sebagai tempat pertemuan banyak budaya telah membawa arus deras kerusakan akidah. Yogyakarta digambarkan akan menjadi pusat perkembangan kristen sebagai konsekuensi interaksi banyak budaya dan keyakinan.
Bahkan, keberadaan dua rumah sakit besar di Yogayakarta, yakni RS Panti Rapih dan RS Bethesda dinarasikan sebagai salah satu tempat kristenisasi yang berbahaya bagi para korban bencana yang dirawat di kedua rumah sakit itu. Sementara Bantul yang menjadi pusat gempa dikaitkan dengan keberadaan gereja-gereja besar yang berdiri di wilayah itu.
Selain di Yogyakarta, prasangka-prasangka keagamaan di tengah bencana juga terjadi di banyak tempat. Salah satu yang mencolok ialah isu misi kristenisasi massal saat bencana tsunami di Aceh.
Ironisnya, prasangka negatif tersebut turut dihembuskan melalui pemberitaan media nasional sehingga sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan terpaksa turun tangan untuk meredam ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Tren Narasi “Ulama”
Pada setiap kejadian bencana, prasangka keagamaan hampir selalu direproduksi. Tak hanya diulang cerita dan narasinya, tapi juga terjadi “pengayaan” materi.
Sekarang saat rentetan bencana alam mendera Indonesia, dengung prasangka keagamaan dikaitkan dengan “ulama”. Tren narasi seputar “ulama” memang menguat di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Prasangka tersebut kemudian dihubungkan dengan meninggalnya beberapa tokoh agama dan ulama yang kebetulan terjadi dalam waktu berdekatan. Narasi yang menyeruak ialah “bencana karena Indonesia ditinggal dan meninggalkan ulama”.
Bisa dicermati pula munculnya narasi-narasi yang secara ekplisit menyebutkan bahwa kejadian bencana beruntun di Indonesia merupakan dampak dari “umat Islam dan ulama yang ditekan oleh rezim”.
Kejadian bencana dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai teguran dari Tuhan karena “pemimpin Indonesia telah mendzolimi ulama”.
Padahal, prasangka-prasangka keagamaan semacam itu seringkali tidak memiliki atau jauh dari konteks keimanan. Melainkan dilatarbelakangi oleh motivasi politik dan ideologi.
Untuk mengidentifikasinya kita bisa mengamati lewat diskursus lainnya yang juga berkembang. Dalam hal ini dengung “syariat islam”, “khilafah”, dan sejenisnya yang mencuat seiring kejadian bencana memperkuat indikasi bahwa prasangka keagamaan di tengah bencana sengaja direproduksi untuk menyampaikan kepentingan tertentu.
Alih-alih memperkuat persatuan untuk mengatasi dampak bencana, para penyeru prasangka keagamaan yang membawa-bawa “agama” dan “ulama” justru telah menciptakan ketegangan di atas penderitaan akibat bencana.
Oleh karena itu, penting untuk tetap memandang bencana secara obyektif dan menempatkannya dalam wilayah “kemanusiaan”, bukan membawanya dalam wadah “kepentingan agama”. Sebab itu akan membuat masyarakat semakin terpuruk dan menyeret kita ke dalam jurang bencana lain yang lebih merugikan.
Komentar
Posting Komentar