“Hidup seperti roda, ada masa di atas, ada pula kalanya di bawah”.
Begitulah sebuah pepatah bijak mengatakan. Maknanya ialah bahwa periode kehidupan mencakup siklus keberhasilan dan kegagalan, keberuntungan dan kesialan, kesenangan dan kepedihan, kemudahan dan kesulitan, dan seterusnya. Tak mungkin manusia merasakan kesenangan terus menerus. Ada kalanya seseorang merasa sedih. Tidak akan manusia selalu berhasil dalam pencapaiannya. Ada kalanya ia menjumpai kegagalan.
Indonesia merebut Piala Thomas di Aarhus, Denmark pada 17 Oktober 2021 (foto: PBSI). |
Pepatah tersebut juga berlaku di dunia olahraga, termasuk bulutangkis. Ada masanya timnas dan atlet bulutangkis suatu negara berada dalam periode emas. Pada masa kejayaannya banyak prestasi, gelar, dan kejuaraan penting diraih.
Pebulutangkis yang sedang dalam masa emas dan performa terbaiknya bisa tak terkalahkan untuk periode yang lama atau menduduki peringkat atas selama bertahun-tahun. Begitu mudah gelar juara direngkuh. Keberuntungan seolah dimiliki tanpa batas.
Kemudian saat roda mulai berputar, masa kejayaan perlahan bergerak menurun. Gelar-gelar penting sulit diraih, kemenangan mulai menjauh, dan kekalahan semakin sering dialami. Keberuntungan tidak lagi berkawan.
Begitulah “hukum roda kehidupan” di arena bulutangkis. Putarannya telah membuat persaingan bulutangkis dunia semakin merata. Negara besar dan kuat seperti Indonesia tak lagi leluasa menguasai podium juara. Sementara negara-negara yang sebelumnya tak masuk dalam peta persaingan, perlahan menyodok ke atas dengan melahirkan juara-juara baru.
Namun, hukum roda tersebut agaknya tak berlaku bagi bulutangkis China. Roda seolah tak pernah berputar untuk timnas bulutangkis negeri tirai bambu tersebut. Untuk masa yang sangat panjang, roda berhenti dan menempatkan China pada periode “keberhasilan-kemenangan-keberuntungan” secara terus-menerus.
Selama puluhan tahun terakhir, supremasi bulutangkis dunia digenggam oleh China. Mereka tak mengenal periode emas karena generasi emas terus bermunculan sambung-menyambung.
Ketika satu atau dua pemainnya mulai menurun, China tak pernah menunggu lama untuk melakukan pergantian nama. Ambil contoh ketika Lin Dan menjadi penguasa tunggal putera, China sudah mulai memperkenalkan Chen Long. Maka ketika Lin Dan menurun, Chen Long segera mengambil estafet kejayaan. Lalu ketika Chen Long masih berjaya, generasi berikutnya yang dipimpin Shi Yu Qi sudah menebar ancaman.
Begitu pun ketika Zhang Nang/Zhao Yun Lei dan Xu Chen/Ma Jin mendominasi sektor ganda campuran, China segera menyambungnya dengan generasi baru ganda campuran yang dimotori Zheng Siwei/Huang Yaqiong dan Wang Yilyu/Huang Dongping yang sekarang menguasai peringkat atas dunia dan juara olimpiade.
Hebatnya lagi, setiap generasi China tak hanya melahirkan satu nama tangguh. Dua atau tiga nama hebat sekaligus mampu dilahirkan oleh China untuk setiap sektor tepok bulu.
Bulutangkis China seolah menjadi pengecualian dari hukum putaran roda kehidupan. Tak ada periode di mana bulutangkis China benar-benar di bawah. Mereka terus menerus mencengkeram supremasi tertinggi bulutangkis dunia dengan kekuatan-kekuatan baru yang dimiliki.
Arena superseries, olimpiade, hingga kejuaraan tingkat utama beregu seperti Sudirman Cup serta Thomas & Uber Cup, dikuasai oleh China untuk waktu yang sangat lama. Beberapa negara memang pernah mencuri kesempatan, tapi dominasi masih milik China.
Ketika negara-negara lain mengalami cekaman prestasi akibat pandemi Covid-19 yang membuat arena bulutangkis dunia terhenti sesaat, bulutangkis China seolah tak mengalami cekaman tersebut. Ketika arena kembali dibuka dan pertandingan-pertandingan besar digelar, China langsung tancap gas. Para pebulutangkis China bermain dengan performa tinggi tanpa kesulitan beradaptasi ulang.
Bahkan, meski harus tampil tanpa kekuatan terbaiknya, China tetap mampu berada di atas. Lihatlah bagaimana China mampu merebut Sudirman Cup 2021 walau tanpa ganda campuran dan ganda putera terbaiknya.
Tuntas dengan Sudirman Cup, kejayaan dan keberuntungan mereka terus berlanjut. Roda lagi-lagi tak berputar dan China tetap di atas. Secara luar biasa mereka merebut Uber Cup 2020 (yang diselenggarakan pada 2021).
Entah bagaimana China mengunci putaran roda sehingga puncak atasnya selalu mereka kuasai. Di ajang Thomas Cup mereka sekali lagi menebar ancaman. Tampil dengan banyak pemain pelapis yang masih muda serta racikan ganda yang belum lama dipasangkan, China tak terbendung untuk menembus final.
Akan menjadi keajaiban yang sulit disaingi oleh negara mana pun jika China berhasil mengawinkan Sudirman Cup, Uber Cup dan Thomas Cup sekaligus. Dan tampaknya itu bukan hal yang mustahil bagi China. Sebab roda tak pernah berputar bagi mereka. Kemenangan dan keberuntungan selalu bisa mereka ciptakan.
Walau di final Thomas Cup 2020 harus bertemu dengan Indonesia yang menjadi unggulan pertama, China tetap menakutkan. Mereka adalah juara bertahan. Para pemain China pun dikenal memiliki motivasi yang sangat tinggi. Tak peduli mereka pemain muda atau pelapis, China tetaplah China.
Sementara Indonesia walau menempati unggulan pertama, tapi harus menempuh jalan terjal dan melewati lubang jarum terlebih dahulu. Di fase grup, hanya Aljazair yang bisa dikalahkan dengan mudah oleh tim Indonesia. Selanjutnya, Indonesia harus susah payah untuk lepas dari tekanan lubang jarung saat mengalahkan Thailand dengan skor 3-2. Itu pun dengan catatan mengkhawatirkan karena Anthony Ginting dan Jonathan Christie menelan kekalahan.
Indonesia kemudian harus melalui laga penentuan melawan kekuatan baru di Asia, yakni Taiwan yang diperkuat juara olimpiade. Indonesia memang akhirnya menang 3-2 dan lolos ke perempat final. Namun, ada Malaysia yang siap menguji. Lolos dari ujian Malaysia, Indonesia disambut tuan rumah Denmark yang pernah menorehkan luka mendalam bagi Indonesia di Thomas Cup.
Indonesia akhirnya menjejak final untuk menantang China. Ini final idaman karena mempertemukan juara bertahan dan unggulan pertama.
Di tengah hasil buruk Sudirman Cup dan permainan tunggal putera yang naik-turun, Indonesia dihadapkan pada catatan minor kala bertemu China di ajang beregu.
Dalam 20 pertarungan terakhir antara Indonesia dan China di ajang Sudirman Cup dan Thomas & Uber Cup, hanya sekali Indonesia mampu menang. Itu pun terjadi pada tahun 2000 ketika Indonesia mengalahkan China di Thomas Cup dengan skor 3-0. Selanjutnya Indonesia selalu kalah dari China.
Oleh karena itu, tidak mudah bagi Indonesia untuk menuntaskan misi merebut Thomas Cup. Lagipula, China sudah lama mengunci roda yang membuat putarannya terhenti sehingga mereka terus berada di atas.
Namun, ternyata kali ini semesta mendukung Indonesia. Tunggal putera bangkit di saat yang tepat. Anthony Ginting dan Jonathan Christie tampil kokoh. Begitu pun ganda putera nomor tiga Indonesia, Fajar/Rian yang mampu membuktikan diri sebagai andalan.
Indonesia berhasil memaksa roda itu berputar. Kali ini China harus kehilangan supremasi tertinggi bulutangkis beregu putera.
Sekarang roda sedang berputar. Untuk sementara, setidaknya selama 7 bulan ke depan, China harus berada di bawah. Sedangkan Indonesia berada di atas.
Harapannya Indonesia bisa mengunci putaran roda sekarang untuk waktu yang lama.
Komentar
Posting Komentar