Langsung ke konten utama

Semangkuk Soto Gerabah di Belakang Rumah Nh. Dini

Padang Ilalang itu membatasi halaman belakang rumah dengan sungai. Di sana saat ilalang dibabat, Nh. Dini untuk pertama kali melihat rupa orang Jepang yang datang sebagai penjajah.

Lewat belakang rumah pula, Nh. Dini bersama ibu dan para kakaknya berjalan membelah malam, menyeberang jembatan menuju kampung Batan untuk mengungsi saat pertempuran meletus di dekat Sekayu.

Lain hari ketika hujan deras mengguyur tanpa henti, sungai meluap menggenangi padang ilalang.  Sebuah kolam dadakan pun muncul di belakang rumah. Ikan-ikan dari sungai terjebak di sana. Dengan gembira, Dini kecil bersama kakak-kakaknya dan sang ayah memanennya sebagai lauk.

***

Soto gerabah di belakang rumah Nh. Dini (dok.pribadi).

Kini padang ilalang tak dijumpai lagi. Namun, rumah Nh. Dini masih berdiri di kampung Sekayu yang telah semakin padat. Terhimpit oleh pertumbuhan kota Semarang serta rumah-rumah yang berjejalan di kanan kiri lorong jalan sempit.

Padang ilalang di belakang rumah Nh. Dini telah berubah. Digantikan luasan tanah yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon. Mengambil beberapa petak, di atasnya berdiri pula bangunan rumah kos bercat merah muda. Sedangkan di sisi yang menjorok ke arah lorong jalan Sekayu telah ada kedai soto.

Di kedai itu, pada Minggu (19/2/2023) pagi saya menikmati sarapan usai bertamu ke teras rumah Nh. Dini dan berbincang agak lama dengan kemenakan sang sastrawati, Oeti Adiyati. Beliau adalah putri Heratih, kakak tertua Nh. Dini.

Tempat yang menjadi kedai soto merupakan bekas garasi di sisi kiri belakang rumah Nh. Dini yang menuju halaman belakang di mana dahulu terdapat padang ilalang. Oleh Ibrahim, garasi itu sekarang dimanfaatkan sebagai tempat meracik dan menyuguhkan soto khas Semarang.

Spanduk Soto Gerabah Wakanda menempel di dinding luar rumah Nh. Dini di Sekayu, Semarang (dok.pribadi).

Ibrahim berasal dari Pedurungan, Semarang Timur. Bersama sang istri yang bekerja di sebuah mal, sudah 7 tahun Ibrahim menempati rumah kos di belakang rumah Nh. Dini.

Dulu ia tak tahu bahwa rumah besar di depan pondok kosnya merupakan tempat Nh. Dini tumbuh dan dibesarkan. Seiring waktu ia menyadari betapa tempat itu menyimpan segudang cerita, sejarah dan riwayat dari seorang penulis besar Indonesia.

Ibrahim pernah membuka kedai soto serupa di sebuah pusajera di Kota Semarang. Tiga tahun bertahan di pusajera, ia memutuskan memindahkan kedainya ke bekas garasi di belakang rumah Nh. Dini. “Di sana (pujasera) banyak gangguan, mas”, katanya menerangkan.

Bekas garasi di sisi samping belakang Rumah Nh. Dini (dok.pribadi). 

Oleh karena baru 3 minggu menempati lokasi di belakang rumah Nh. Dini, Ibrahim memasang spanduk berwarna kuning mencolok untuk menarik perhatian. Spanduk itu tertempel di dinding samping luar  rumah Nh. Dini.

Cara tersebut tampaknya lumayan berhasil. Ketika menjejak kampung Sekayu untuk mencari rumah Nh. Dini, saya sempat tersesat di sebuah gang sempit. Seorang warga yang sedang bersantai di teras rumahnya di dalam gang menunjukkan arah yang benar kepada saya dengan menyebut “warung soto” sebagai penanda rumah Nh. Dini.

Ibrahim menamai soto racikannya dengan “Soto Gerabah Wakanda”. Nama “Wakanda” dipilihnya sebagai pembeda. Sementara “Gerabah” mengikuti keunikan wadah penyajiannya berupa mangkuk kecil dari gerabah tanah liat. Begitu pula tatakannya terbuat dari gerabah. Sedangkan sendoknya menyerupai centong kecil terbuat dari kayu dan tempurung kelapa.

Penyajian yang klasik seperti itu sangat menyatu dengan romansa lokasinya yang tersembunyi di tengah kampung tua Sekayu dan menempati bekas garasi di belakang rumah yang penuh sejarah.

Apalagi, sambil menyantap soto  bisa sekalian menatap langsung rumah Nh. Dini dan menengok halamannya yang telah diabadikan dalam buku “Sebuah Lorong di Kotaku”, “Padang Ilalang di Belakang Rumah”, serta “Sekayu”.

Kedai Soto Gerabah Wakanda (dok.pribadi).

Ibrahim di kedai Soto Gerabah di belakang rumah Nh. Dini (dok.pribadi).

Soal rasa, dari dulu soto khas Semarang telah memikat lidah saya. Sebagai pecinta makanan gurih, soto semarang merupakan representasi gurih yang ringan dan tidak membosankan.

Semangkuk soto gerabah Wakanda porsinya tak terlalu besar. Nasi, soun, kecambah, daun seledri, suwiran daging ayam, serta taburan bawang putih dicampur memenuhi wadah. Siraman kuah panas yang menenggalamkan semuanya memantik keluar aroma gurih dan segar yang membangkitkan lapar.

Disantap polos tanpa melibatkan kecap dan sambal sudah terasa nikmat. Namun, menambahkan tempe goreng dan tahu bakso tak akan keliru.

Seorang diri Ibrahim menyiapkan dan melayani setiap pesanan. Tangannya meracik semua mangkuk soto. Tangan yang sama juga menyeduh setiap minuman. Bergantian ia membereskan wadah dan gelas bekas santap pembeli sebelumnya sambil mengantarkan pesanan pembeli yang sudah menunggu.

Soto Gerabah Wakanda (dok.pribadi).

Soto Gerabah Wakanda tersaji setiap hari. Senin hingga Minggu, sejak pukul 09.00 Ibrahim membuka bekas garasi di samping belakang rumah Nh. Dini.

Bagi yang baru pertama kali ke kampung Sekayu, lokasinya memang agak tersembunyi. Namun, sebenarnya tak terlampau sulit menjangkaunya. Tempat parkir sepeda motor Palace Fine Cuisine and Ballroom yang berlokasi di Jl. MH Thamrin Semarang jadi petunjuk mudah.

Tempat parkir tersebut bersinggungan dengan Jalan Batan 4 sepanjang 200 meter. Ujung jalan itu berupa persimpangan Jalan Sekayu Raya. Berbeloklah ke kiri untuk menyusuri lorong atau gang di tengah-tengah rumah warga sampai tiba di Masjid Sekayu. 

Belakang rumah Nh. Dini, pernah ada padang ilalang di sana (dok.pribadi).

Hanya berjarak beberapa langkah dari masjid, rumah Nh. Dini yang bercat putih berdiri di pinggir lorong jalan kampung Sekayu. Selanjutnya tengoklah sisi luar ke arah belakang rumah, di sana Soto Gerabah Wakanda mengambil tempat. Dari kedai soto, menjorok ke arah dalam ada luasan tanah tempat dahulu pernah tumbuh padang ilalang.

Nh. Dini (dok.pribadi).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk