Langsung ke konten utama

Larut dalam Imajinasi Sampul-sampul Klasik Nh. Dini

Sekarang saya sedang mendedikasikan sebagian waktu untuk membaca beberapa buku.  Di antara judul-judul yang saya baca ialah karya Nh. Dini: “Langit dan Bumi Sahabat Kami” serta “Tanah Baru Tanah Air Kedua”.  Dua judul itu saya punyai dalam dua versi sampul dari dua penerbit berbeda. 


Sebelumnya saya telah membaca “Langit dan Bumi Sahabat Kami” yang diterbitkan oleh Gramedia. Kali ini saya memilih bernostalgia dengan sampul yang lebih lawas terbitan Pustaka Jaya. Sedangkan “Tanah Baru Tanah Air Kedua” terbitan Pustaka Jaya merupakan “reborn” dari “Orang-orang Tran” terbitan Sinar Harapan.


Buku-buku karya Nh. Dini dengan sampulnya yang cantik (dok.pribadi).

Saya punya alasan khusus untuk memilih membaca kembali karya Nh. Dini tersebut. Selain ceritanya saya sukai, juga karena ilustrasi sampulnya yang memikat. Meski diterbitkan oleh dua penerbit berbeda, masing-masing sampul menurut saya tetap akurat mewakili cerita yang Nh. Dini tulis di dalamnya.


Menyandingkan sampul depan “Langit dan Bumi Sahabat Kami” versi Gramedia dan Pustaka Jaya, nampak bahwa keduanya agak berbeda memilih sudut cerita yang hendak diangkat ke sampul. Versi Gramedia menampilkan ilustrasi cerita yang spesifik, yakni seorang bocah perempuan dengan latar belakang seorang ibu dan bapak yang sedang mencabut singkong di sebuah kebun dengan besar.


Bocah perempuan itu tentulah Nh. Dini. Sementara dua orang di belakangnya kalau kita membaca bukunya akan segera bisa mengenalinya sebagai ayah dan ibu Nh. Dini yang sedang memanen singkong.


Dalam buku tersebut memang termuat babak cerita masa kecil Nh. Dini yang penuh keprihatinan saat Semarang diduduki penjajah. Bahan-bahan makanan sulit didapat sehingga rakyat terpaksa mengkonsumsi bahan pengganti nasi, salah satunya singkong.


Sementara sampul versi Pustaka Jaya lebih sederhana. Bisa dipahami karena buku itu cetakan pertama tahun 1979. 


Meski sederhana, sampul klasik tersebut tetap mewakili cerita di dalamnya. Yakni tujuh bulatan wajah manusia. Penggemar Nh. Dini tentu bisa segera membaca maknanya. Sebab cerita-cerita kenangan Nh. Dini, terutama empat judul buku pertamanya banyak berkisah mengenai kehidupan Nh. Dini bersama empat orang saudaranya dan kedua orang tua. Secara total ada tujuh lakon dalam keluarga Nh. Dini.


Penggambaran tujuh wajah di sampul klasik tersebut agaknya semacam spoiler bagi para pembaca pada masa itu yang penasaran dengan “Langit dan Bumi Sahabat Kami”. Bahwa buku tersebut masih berkutat pada naik turunnya kehidupan Nh. Dini kecil bersama bapak, ibu, dan empat orang kakaknya.


Langit dan Bumi Sahabat Kami (dok.pribadi).

Menyelami sampul-sampul Nh. Dini, terutama judul-judul klasik dari penerbit-penerbit yang berbeda ternyata mengasyikkan. Jarang terpikirkan oleh saya selama ini untuk mengamati lebih dalam sampul-sampul buku Nh. Dini. Padahal lebih dari 30 judul karyanya saya miliki.


Selama ini saya hanya asyik mengunyah tulisan-tulisan Nh. Dini dan kurang memperhatikan detail sampulnya. Saya menganggap sampul sebagai pembungkus halaman biasa. 


Sekarang saya menemukan cara lain menikmati karya Nh. Dini. Pada saat menunggu berbuka, di sela-sela kenyamanan dan keluangan waktu sebelum tarawih, serta saat bersantai sebelum tidur, saya suka mengambil lagi buku-buku Nh. Dini secara acak. Bukan untuk dibaca ulang secara seksama, melainkan dibuka sekilas lalu memandangi sampulnya lebih lama.


Menyenangkan “membaca" sampul buku-buku lawas Nh. Dini. Ilustrasi yang tergambar di sana membawa pikiran saya bermain-main dengan imajinasi. Memandangi sampul-sampul itu membuat saya larut dalam aktivitas menebak-nebak bagian mana dari cerita bukunya yang tergambar di sampul.


Namaku Hiroko (dok.pribadi).

Di sisi lain, saya teringat obrolan dengan kemenakan Nh. Dini, Oeti Adiyati di rumah Sekayu pada Februari lalu. Saat itu saya menunjukkan kepadanya sampul terbaru novel “Keberangkatan” dan “Pada Sebuah Kapal” yang diterbitkan kembali oleh Gramedia.


Mula-mula Oeti Adiyati terkejut mengetahui bahwa dua judul itu akan diterbitkan lagi. Sebab Gramedia belum memberitahunya perihal penerbitan ulang dua masterpiece klasik Nh. Dini tersebut.



Namun, perhatian terbesar Oeti lebih tertuju pada ilustrasi sampulnya. Saat memandangi  “Keberangkatan” versi 2023, matanya menelisik dalam-dalam. “Kok gini ya sampulnya?”, begitu komentarnya pertama-tama.


“Mungkin karena ceritanya tentang wanita bule, jadi seperti itu, Bu”, saya mencoba menanggapi.


“Iya, tapi kaya kurang Nh. Dini banget gitu”, kembali Oeti berkomentar. Samar-samar saya mencoba menemukan arti perkataan “kurang Nh. Dini banget” dengan melihat lagi dari dekat sampul yang dimaksud.


Cerita-cerita Kenangan Nh. Dini dari kecil hingga remaja (dok.pribadi).

Mungkin Oeti ada benarnya. Sampul “Keberangkatan” versi 2023 memang lebih “ngepop”.  Sepintas seperti sampul novel teenlit. Meski tetap mewakili cerita novelnya, tapi dibanding dengan sampul-sampul terdahulu, ilustrasi sampul terbaru ini sangat revolusioner. Maka wajar jika para penggemar yang sudah lama mengenal buku-buku Nh. Dini akan tersentak dengan perubahan sampul versi 2023. Sementara sampul-sampul terdahulu nampak sangat sederhana, klasik, dan konsisten dipertahankan dari cetakan pertama hingga cetakan-cetakan berikutnya.

Ambil contoh “Padang Ilalang di Belakang Rumah” versi Gramedia. Sejak tahun 1987 Gramedia telah sembilan kali mencetak buku tersebut. Uniknya desain sampulnya tidak berubah sampai 2004. Gramedia baru mengganti ilustrasi sampulnya pada cetakan terakhir tahun 2009 yang bagi saya kurang berkesan.


Sampul klasik versi 1987-2004 tetap yang paling kuat dan akurat menggambarkan “Padang Ilalang di Belakang Rumah”. Ilustrasinya sederhana, tapi merangkum keseluruhan isi. Ada citra seorang bocah perempuan, rumah besar, pepohonan, serta dedaunan panjang seperti ilalang.


Berulang kali memandang sampul tersebut saya tak pernah bosan. Malah dengan hanya melihat sampulnya, saya mendapatkan keasyikan seperti sedang membaca lagi kisahnya.


Beberapa hari lalu saya juga menemukan keasyikan saat memandangi sampul “Padang Ilalang di Belakang Rumah” terbitan Pustaka Jaya. Ini versi yang jauh lebih klasik dibanding versi Gramedia karena merupakan cetakan pertama tahun 1979. 


Buku tua dengan sampul klasik yang menyenangkan untuk dipandang lama-lama. Ilustrasinya memberi kesan tenang sekaligus ramai, sejuk sekaligus hangat. Seperti lukisan dengan warna hijau dan biru sebagai latar utamanya. Itu menggambarkan betapa asrinya lingkungan rumah Nh. Dini pada masa lalu. Gambaran pendopo, halaman, hingga pepohonan dan ilalang di belakang rumah bisa ditemukan di sampul tersebut. 


Sementara siluet seorang perempuan muncul sebagai latar depan. Menegaskan bahwa di dalam rumah yang besar, kebun yang teduh, dan ilalang yang rimbun itu ada bocah perempuan yang menjadi lakon utama.


Padang Ilalang di Belakang Rumah (dok.pribadi).

Kesempatan-kesempatan berikutnya di tengah kenikmatan berpuasa saya gunakan untuk merenungi sampul “Sekayu”. Saya memfavoritkan buku ini beserta sampulnya karena didominasi warna biru kesukaan saya.


Desain sampulnya seirama dengan “Padang Ilalang di Belakang Rumah” dan “Sebuah Lorong di Kotaku”. Gramedia mempertahankan ilustrasi Sekayu sejak terbit pertama kali pada 1988 hingga 2004. 


Sampul yang konsisten dipertahankan kemungkinan besar karena ilustrasinya memang sangat pas dan akurat menggambarkan kehidupan Nh. Dini pada masa remaja. Yakni ketika ia memperdalam keterampilan menulis, menari, dan bermain sandiwara. Wajar seandainya Nh. Dini meminta agar Gramedia tidak mengubah desain dan ilustrasi sampul tersebut meski bukunya dicetak berulang kali.


Terakhir saya asyik mengamati “Pencakar Langit” terbitan Pustaka Jaya (2014). Saya tidak membaca lagi cerpen-cerpen di dalamnya. Sebab saya sudah membaca versi klasiknya yang berjudul “Tuileries” terbitan Sinar Harapan tahun 1982.


Satu cerita disuguhkan oleh dua penerbit dengan dua judul yang berbeda dan dua sampul yang tidak identik. Meski demikian saya menyukai keduanya.


Dari sampul klasik versi Sinar Harapan, tertangkap selera seni Nh. Dini. Sebab ilustrasi pada Tuileries dibuat oleh seorang pelukis cilik yang diminta langsung oleh Nh. Dini untuk menghias bukunya. Lukisannya terkesan abstrak, unik dan penuh misteri. Seperti cerita-cerita di dalamnya yang unik dan mengejutkan.


Satu kisah dengan dua judul dan cover sampul berbeda (dok.pribadi).

Sedangkan dari sampul terbaru versi Pustaka Jaya, tertangkap kecenderungan untuk kembali mengulang pola lama sampul Nh. Dini versi Gramedia. Yakni, mengangkat gambaran peristiwa paling kuat dari seluruh rangkaian cerita. 

Sepasang manusia berpelukan yang menjadi ilustrasi sampul “Pencakar Langit” adalah bagian dari adegan dalam kisah seorang imigran di Amerika yang hendak bunuh diri karena tak sanggup lagi menghadapi kerasnya hidup. Apalagi ia baru kehilangan pekerjaan. 

Drama percobaan bunuh dirinya berlangsung dramatis. Hingga kemudian seorang bocah yang merupakan kemenakan tersayangnya datang untuk membatalkan niat bunuh diri pamannya. Eratnya hubungan mereka berhasil mengubah drama mencekam menjadi akhir yang manis dan menyentuh.


Monumen (dok.pribadi).
Masih banyak judul Nh. Dini di rak buku saya. Masih banyak sampul bukunya yang bisa saya nikmati. Ternyata berimajinasi dengan ilustrasi dan gambar-gambar tersebut sama asyiknya dengan membaca baris -baris tulisan Nh. Dini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk