Pil teramat pahit kembali ditelan paksa oleh Kepolisian Republik Indonesia yang baru saja riang menyanyikan lagu “happy birthday”. Palu seberat berton-ton seolah menghantam kepala para aparat yang sedang bersantai menikmati kemapanan di balik seragamnya.
Kado dan kue yang belum lama dinikmati saat hari ulang tahun Bhayangkara 1 Juli kemarin ternyata hanya untuk di kalangan sendiri. Sebab faktanya banyak masyarakat sedang memandang sinis dan kritis ke arah polisi.
Pegi Setiawan vs polisi (dok.pribadi).
Bulan madu karena indeks kepercayaan yang semakin pulih usai dihajar oleh kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa dan Tragedi Kanjuruhan juga tak punya makna mendalam. Sebab kenyataannya penyakit lama belum benar-benar sembuh.
Setidaknya hari ini kerja dan profesionalisme kepolisian sedang disorot tajam pada 2 kasus. Pertama, pengungkapan kasus pembunuhan Vina yang menyeret Pegi Setiawan sebagai tersangka baru dengan label buronan lama. Kedua, kasus kematian Afif di Padang yang dipenuhi kejanggalan dengan mencuatnya dugaan penganiayaan oleh sekelompok polisi.
Pada dua kasus besar tersebut, persepsi masyarakat cenderung negatif terhadap polisi. Walau para pemimpin kepolisian di daerah mengaku sudah bertindak profesional dan sesuai prosedur, tapi sikap kritis masyarakat yang semakin tumbuh berkat terungkapnya kasus Ferdy Sambo rupanya tak mudah percaya begitu saja pada klaim polisi.
Buktinya baru saja disuguhkan di Pengadilan Negeri Bandung pada Senin, 8 Juli 2024. Hakim tunggal praperadilan mengabulkan gugatan Pegi Setiawan. Penetapan tersangka terhadap Pegi dinyatakan tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum. Status Pegi sebagai tersangka pun batal demi hukum. Oleh karena itu, Pegi harus dibebaskan oleh polisi.
Atas putus tersebut Pegi Setiawan segera memuncaki trending topic di media sosial, terutama X. Kebanyakan netizen menyambut positif kemenangan Pegi di praperadilan tersebut. Sebaliknya sorotan negatif kepada kepolisian semakin kencang. Selain dianggap tidak profesional, kepolisian juga dinilai tidak presisi. Bukannya mengayomi, aparat justru menzalimi. Bukannya menyidik secara ilmiah, polisi justru diduga memanipulasi.
Walau babak baru kasus pembunuhan Vina masih misteri, tapi arus dukungan masyarakat yang lebih deras kepada Pegi merupakan tamparan keras bagi kepolisian. Putusan praperadilan seolah membenarkan kecurigaan publik terhadap sepak terjang kepolisian dalam menangangi kasus yang melibatkan rakyat kecil di satu pihak dan dugaan keterlibatan orang besar di pihak lain.
Entah apa yang sedang dirasakan oleh para penyidik yang mengurus status tersangka Pegi. Barangkali ini dianggap biasa dan tidak berdampak apa pun terhadap mereka. Namun, mungkin pula muncul di kedalaman hati rasa malu yang ditanggung. Baik oleh para penyidik kasus Vina ataupun oleh polisi di tempat lain.
Mungkinkah para polisi menjadi malu? Apakah setelah ini muncul perasaan insecure saat tampil di tengah masyarakat dengan seragamnya? Sebab mereka khawatir saat sedang bertugas di jalan, lalu lewat sekelompok pengendara yang melaju sambil melemparkan olok-olok “cie kalah lagi”, “kalah nih ye..”.
Atau saat sedang melayani pembuatan SIM, tiba-tiba petugas polisi mendapat pertanyaan dari pengaju SIM: “gimana rasanya kalah, ndan?”. Sedangkan di tempat pembuatan SKCK, bisa jadi ada yang tiba-tiba bertanya: “nonton kasus Pegi, ndan?”.
Mungkin saat sedang melayani pengaduan masyarakat, para polisi merasa malu dan insecure kalau tiba-tiba mendapat celetukan: “dapat salam dari Pegi, pak”.
Para polisi juga insecure kalau-kalau sedang kirim DM “halo, dek”, nanti akan dibalas: “jangan deket-deket ya, aku takut jadi tersangka”.
Atau saat tim Bhayangkara Presisi bertanding di Proliga dan Bhayangkara FC di Liga 2, tiba-tiba muncul spanduk dan yel-yel: “Pegi nya satu pendukungnya banyak, Pegi nya satu pendukungnya banyak”.
Bisa pula para polisi menjadi insecure sebab khawatir kalau tiba-tiba muncul banyak karangan bunga di halaman polsek, polres, dan polda yang berisikan pantun ucapan : “Jalan-jalan ke Hongkong, pulangnya ke Sukabumi. Polisi jangan suka bohong, dapat salam dari Pegi”.
Kini entah seperti apa pidato baru yang akan disusun oleh Kapolri. Sebab pidato dan amanatnya pada 1 Juli 2024 kemarin ternyata tak cukup memberi keyakinan pada masyarakat. Tak cukup diyakini secara sungguh-sungguh bahwa aparat benar-benar telah berbenah sebagai pengayom yang bisa diandalkan masyarakat di sepanjang waktu.
Semoga, para polisi tak malu atau insecure untuk pulang ke rumah. Meski ada kemungkinan saat pulang dari tugas malam, esok harinya akan menjumpai penjual sayur dan para tetangga sedang asyik merumpi: “eh lihat tuh yang baru pulang, polisi masa gitu ya??”.
Hari ini mungkin dipenuhi ghibah oleh para warga yang kebetulan punya teman, kerabat, atau tetangga seorang polisi. Mungkin diam-diam mereka sedang riuh di grup whatsapp baru yang tidak menyertakan salah seorang temannya itu.
Komentar
Posting Komentar