Banyak dari kita tentu masih ingat, ketika SD dan SMP dulu ajaran mengenai Pulau
Sumatera yang disampaikan oleh bapak dan ibu guru tak jauh beranjak tentang
cerita-cerita rakyat serta kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri di atas
tanahnya. Begitu pula kisah yang tertulis di buku-buku pelajaran ketika
membahas Sumatera akan menonjolkan belantara hutannya yang kaya tumbuhan dan
hewan, sekaligus menjadi paru-paru bumi.
![]() |
| Seorang bocah berjalan di atas gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang di Aceh pada akhir November 2025 (foto: Antara/Erlangga). |
Sementara saat ulangan tiba, pertanyaan tentang nama cagar alam dan taman nasional di Sumatera sering menjadi penyumbang nilai karena setiap murid pada umumnya hafal nama-namanya. Walau kebanyakan murid belum pernah ada yang ke Sumatera dan melihat sendiri bagaimana lebatnya hutan di sana.
Hilang dan Musnah
Seiring waktu melalui koran-koran dan tayangan berita di TV, gambaran lain tentang Sumatera mengemuka. Memang masih sering tentang hutan dan rimbanya. Tapi bukan sebagai paru-paru bumi yang sehat, melainkan sedang sakit-sakitan akibat pohon-pohonnya ditebangi dan tanahnya dikeruk terus menerus.
Dari tahun ke tahun sakit itu semakin parah. Luas hutan yang hilang terus bertambah. Sepanjang 2002-2024 Indonesia telah kehilangan 10,7 juta hektar hutannya. Itu setara dengan 2 kali luas Pulau Jawa. Laju degradasi hutan pun bergerak mengerikan. Percaya atau tidak, luas hutan Indonesia yang musnah setiap hari setara dengan 400 lapangan sepakbola.
Di Sumatera sudah sejak lama data dan statistik tentang hutannya tidak lagi berupa angka-angka pembawa kabar baik. Deforestasi di Sumatera salah satu yang tertinggi di Indonesia. Ambil contoh di Sumatera Utara 1,6 juta hektar hutan hilang selama 2001-2024.
![]() |
| Gelondongan kayu bersama banjir bandang menerjang rumah-rumah penduduk di Aceh (foto: Antara/Syifa Yulinnas). |
Memang adanya hutan sebagai kekayaan alam salah satu manfaatnya untuk menghidupi dan memakmurkan manusia. Sayangnya manusia menganggap diri sebagai pemiliki segalanya, termasuk hutan. Manusia tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari alam, tapi penguasa yang akhirnya menjajah.
Sifat tamak dan durhaka menjadi tabiat yang menonjol dari manusia ketika bersentuhan dengan hutan dan seisinya. Hutan memberi tanah tersubur dan kayu-kayu terbaik yang dengan itu manusia mendapat penghasilan sampai makmur. Namun, ketamakan membuat manusia menghendaki lebih banyak dan semakin banyak. Setelah memotong seribu batang pohon, bukannya mengganti dengan menanami hutan, manusia justru menggunduli petak-petak berikutnya untuk mendapatkan sepuluh ribu, seratus ribu, satu juta pohon berikutnya dan tak akan berhenti. Setelah pohon-pohon habis dan hutan ditelanjangi, giliran tanahnya dikeruk.
Defisit Moral
Manusia tak lagi sekadar memanfaatkan hutan, tapi merampok dan memusnahkannya sekaligus. Dari makhluk penikmat oksigen segar yang dihembuskan pepohonan, manusia berubah menjadi makhluk paling durhaka di muka bumi.
Maka pada setiap kejadian bencana seringkali nampak dua hal sekaligus. Yakni kehancuran lingkungan dan kerusakan moral manusia.
Begitu pun bencana yang sedang mendekap tanah Sumatera saat ini. Dalam kedukaan dan kesusahan tersuguh potret degradasi hutan yang sudah pasti, sekaligus defisit moral para pejabat dan pemimpin kita juga.
Krisis iklim ditonjolkan sebagai satu-satunya penyebab demi menutupi masalah lain yang juga parah, yakni krisis kepedulian terhadap lingkungan.
![]() |
| Gelondongan kayu, jejak dan saksi mata kehancuran hutan (foto: Antara/Iggoy El Fitra). |
Ada ketimpangan kesadaran. Krisis iklim berulang kali dibahas dan diungkit, tapi hanya sedikit yang mau meninjau serta mengakui adanya krisis moral. Meski hal itu nampak jelas dari perilaku dan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian alam.
Menyakitkan melihat para pejabat dan wakil rakyat yang telah memangkas anggaran penanganan bencana tiba-tiba muncul dan menyamar sebagai malaikat pembawa bantuan. Ironis bahwa para pejabat yang selama ini menjadi beking bagi para perusak lingkungan dan pemberi restu bagi pembalak hutan mendadak berpidato tentang kehancuran yang terjadi akibat banjir dan longsor.
Sulit untuk mempercayai bahwa banyak di antara pejabat dan pemimpin itu benar-benar merasakan derita yang sama seperti yang dialami korban dan masyarakat Sumatera. Sebab saat hutan itu digunduli dan tanahnya dikeruk, orang-orang itu sedang tidur nyenyak di ibukota dan mungkin di luar negeri. Saat banjir bandang menerjang, bukan rumah dan harta benda mereka yang hanyut, melainkan hidup masyarakat yang hancur.
Pejabat dan orang-orang berkuasa itu sangat layak dimintai pertanggungjawaban. Merekalah yang diakui atau tidak telah berperan dalam mempercepat dan memperparah bencana melalui keputusan-keputusan politik. Dari ruang-ruang rapat mereka berbagai peraturan hingga izin penebangan hutan ditandatangani. Melalui pembicaraan-pembicaraan, transaksi, dan makan siang di antara mereka, setiap petak hutan ditentukan nasibnya.
Mereka berjarak ratusan kilometer dari hutan-hutan itu sehingga ketika air bah dan longsor menerjang tak secuil pun tubuh mereka yang terciprat lumpur dan tak ada sanak keluarga yang menjadi korban. Namun, mereka akan muncul sebagai yang paling gagah ketika bencana itu telah terjadi. Sambil memanggul karung beras seolah-olah bantuan itu murni adanya datang dari kantong mereka sendiri. Mereka yang datang berkunjung dengan rompi mentereng membawa fotografer untuk sejenak mengabadikan momen menyalurkan bantuan dan memantau pengungsian, setelah itu terbang kembali ke ibu kota.
![]() |
| Seorang warga melintas di depan rumah dan kendaraan yang hancur akibat banjid bandang di Aceh Tamiang (foto: Antara/SyifaYullinas). |
Mereka yang datang bukan untuk menyampaikan permintaan maaf karena telah lalai membuat kebijakan atau karena terlambat merespon kebutuhan korban. Melainkan datang untuk berpidato bahwa kondisi di lapangan telah membaik.
Mereka berkata bahwa keadaan mencekam hanya nampak di media sosial. Mereka yang mengadakan konferensi pers untuk mengatakan bahwa tidak ada daerah yang terisolir. Sementara rekaman video warga memperlihatkan masyarakat yang terpaksa menjarah minimarket, berjalan kaki cukup jauh, hingga memunguti sisa beras kotor bercampur tanah karena kelaparan akibat tak tersentuh bantuan.
Mereka adalah rombongan pejabat dari partai politik yang dengan bangga mengumumkan telah menyumbang 1 miliar rupiah. Sementara di tempat lain para warga biasa telah berhasil menggalang donasi sampai 30 miliar.
Bagi para pejabat dan pemimpin yang sialnya dipilih oleh rakyat saat pemilu itu, tanggung jawab penanganan bencana sudah bisa dianggap terpenuhi hanya dengan 1 miliar. Sudah dianggap peduli hanya dengan menyalurkan bantuan yang ditempeli foto dan nama dirinya. Mereka menipu rakyat yang sedang tertimpa bencana. Bantuan-bantuan yang pada dasarnya berasal dari uang rakyat juga, diambil dan diakui sebagai bantuan pribadi. Bencana yang dirasakan oleh rakyat dijadikan panggung bagi para pejabat.
Sayangnya, kemungkinan terjadinya perubahan pada diri para pejabat dan pemimpin kita itu kecil adanya. Kehancuran lingkungan dan kesusahan mendalam yang menimpa rakyat hanya akan sebentar membuat mereka berkeringat. Jangan berekspektasi para pejabat dan wakil rakyat bersedia memotong gaji dan tunjangannya selama 6 bulan berturut-turut demi penanganan dampak bencana.
![]() |
| Rumah-rumah yang diterjang dan terendam banjir bandang Sumatera akhir November 2025 (foto: Antara/Iggoy El Fitra). |
Telah lewat sepekan bencana ini menerjang. Hampir seribu nyawa terenggut. Ratusan masih hilang. Tak terhitung kerugian, kesedihan dan penderitaan yang melingkupi hari-hari para korban. Tapi sesuatu yang sangat khas Indonesia: tidak ada yang merasa bertanggung jawab, tidak ada yang mundur, dan tidak ada yang diberhentikan.
Sebaliknya kecongkakan dan nirempati dipertontonkan tanpa malu-malu. Ada pejabat yang pergi umroh meninggalkan rakyatnya. Ada yang mengunggah foto sedang berolahraga dan nampak riang mukanya. Ada yang menggelar hajatan besar HUT partai. Ada yang aji mumpung mengutip uang layanan internet di daerah bencana.
Rakyat yang menjadi korban terus menerus dianjurkan untuk tabah. Sementara para penganjurnya tetap serakah.
Dan enam bulan atau satu tahun setelah bencana kali ini, mereka tak akan lagi bicara tentang kerusakan hutan. Masa bodoh tentang itu semua. Ajakan untuk bertaubat hanya akan menjadi teks yang sekali dibaca dan tak pernah meresap ke dalam sanubari.
Bukan mereka tidak paham tentang bahaya kerusakan hutan. Bukan tidak mengerti tentang dahsyatnya dampak krisis iklim. Melainkan karena defisit moral telah berakar kuat, lebih kuat dari akar pohon-pohon di hutan yang dipaksa tumbang dan tercabut dari tanahnya.

.jpg)

(1).jpg)

Komentar
Posting Komentar