Sebagai orang yang tidak menyukai masakan dengan cita rasa pedas saya telah lama bermasalah dengan urusan menu makan. Bahkan ketika harus tinggal bersama orang tua semenjak kecil hingga SMA, saya pun sampai mencoba berkompromi untuk menyesuikan selera makan anggota keluarga yang lain. Namun kompromi itu tak seratus persen berhasil. Selera ibu hingga adik perempuan saya yang gemar masakan pedas membuat saya sering malas makan. Meski ibu pada juga sering memasak berbagai macam menu lain, seperti sop atau sayur asem kesukaan saya, pada akhirnya saya tetap menjadi anggota keluarga dengan jadwal makan paling kacau selain ibu. Hingga akhirnya tak heran jika saya dan ibu sama-sama memiliki penyakit gangguan lambung yang kronis. Bedanya ibu mengalami gangguang lambung dan harus beberapa kali opname karena kesukaannya dengan masakan pedas, sementara saya mengalaminya karena sering malas makan.
Sering jika di rumah saya memilih untuk menyediakan masakan ala kadarnya untuk saya sendiri. Yang sering saya buat adalah telur ceplok dan tempe goreng. Sesekali juga saya membuat mie atau nasi goreng dengan resep khusus ala saya sendiri, yang pasti TIDAK PEDAS.
Lepas SMA, saya melanjutkan studi di Jogjakarta. Saya pun masih bermasalah dengan masakan pedas. Seringkali saya harus memesan makan dengan catatan khusus yang harus saya tulis besar-besar : “tidak pedas, TANPA CABAI”. Mengapa harus ditambahi “tanpai cabai”. Sebab tidak semua warung atau tempat makan menafsirkan “tidak pedas” dengan maksud yang sama. Saya pun baru menyadarinya setelah beberapa lama tinggal di Jogja. Suatu saat dan berulang kali saya memesan makan dengan catatan tidak pedas tapi begitu sampai pesanan saya, wajah dan lidah saya langsung berkeringat, TETAP PEDAS. Ternyata tidak pedas bagi sebagian orang artinya dengan cabai setengah takaran. Sial bagi saya, karena jangankan setengah takaran. Satu tetes air cabe sudah bisa membuat perut saya berontak dan sanggup membuat saya pucat pasi.
Akhirnya saya pun harus mempertegas catatan setiap kali memesan makan, TANPA CABAI. Dan karena terlalu sering memesan makan atau menu yang sejatinya pedas, tapi oleh saya “dihilangkan” pedasnya, ada beberapa penjual yang heran ketika saya memesan di warungnya. Ada yang berkomentar “gado-gado kok nggak pedas ??”, ada juga yang meledek setengah menyindir “laki-laki kok nggak doya pedes, piye tho mas-e”. Namun saya tetap bergeming, pendirian saya teguh, SAY NO TO PEDAS!!!. Namun pada akhirnya beberapa penjual warung langganan saya menjadi hafal. Setiap saya datang dan belum sempat menyebutkan pesanan, dia langsung berkata sambil tersenyum “nggak pedas, tanpa cabai, bener ??”. Saya pun hanya tersenyum, menggangguk.
Namun berada di Jogja, masakan pedas bukanlah musuh utama saya. Selain pedas, saya juga tidak menyenangi masakan dengan cita rasa terlalu manis. Maka “alamat susah” hidup saya di Jogja ini. Bagaimana tidak, semua masakan di sini rasanya berubah manis !!. Sayur asem pun, jika tidak pedas, maka pastilah manis. Suatu kali saya mencoba makan rawon, sesaat mencicipi kuahnya, dalam hati saya berkomentar keras : “MANIS !!!”.
Pada akhirnya di kota Gudeg ini saya sering terpaksa makan dengan menu yang serba manis. Alasan pertama, jika tak makan itu, saya mau makan apa ??. Bisa-bisa nggak bertahan hidup. Kedua, setiap kali menghadiri acara, hampir pasti saya mendapat menu makan Gudeg. Sudah tahu kan bagaimana manisnya gudeg ??. Manisnya tingkat dewa. Dan di Jogja, itu sudah menjadi kelaziman, bahkan Gudeg menjadi semacam menu wajib yang harus ada di acara apapun.
Saya ingat sebuah pengalaman nyata yang cukup membuat saya susah lupa. Pertama kali makan Gudeg sewaktu awal kuliah di Jogja, saya tak habis memakannya. Perut saya langsung eneg, dan hingga esok harinya saya mengalami gangguan sakit perut. Hal itu pun masih sering terjadi hingga kini. Ingin tahu berapa kali saya makan Gudeg selama lebih dari setengah dekade berada di Jogja ??. Saya pastikan tak lebih dari 15 kali. Dan sebagian besar Gudeg yang saya makan bukan saya beli dengan keinginan sendiri, melainkan jatah makan dari acara-acara atau kegiatan yang saya ikuti.
Makan menjadi serba salah bagi saya ketika harus berkompromi dengan menu yang kota Jogja. Saat saya memesan masakan dengan catatan “TIDAK PEDAS, TANPA CABAI”, yang saya terima memang benar-benar tidak pedas, tapi akhirnya berubah menjadi berasa “SANGAT MANIS”. Seperti yang baru saya alami malam ini. Datang usai gerimis mengguyur sorennya Jogja, saya datang ke warung sate. Sembari menyaksikan proses pembakaran, saya berpesan pada penjual untuk mengurangi tidak menggunakan cabai di bumbu yang sedang dia siapkan. Tak lama kemudian pesanan saya datang. Sepiring sate ayam dan sepiring nasi hangat sudah di depan mata. Saya menatapnya dengan senyum. Namun senyum itu cepat sirna. Sate yang saya makan memang TIDAK PEDAS, TAPI MANIS SEKALI !!!!!!. Satu porsi sate ayam malam inipun tak habis saya makan.
Saya pulang dengan perasaan biasa saja. Namun selalu saja ada ingatan yang membuat saya garuk-garuk kepala setiap kali berjumpa dengan masakan pedas atau manis. Saya tak bisa berkompromi dengan salah satu di antaranya saja, pedas atau manis. Tapi saya harus berkompromi dengan keduanya sekaligus. Sementara saya adalah pria baik-baik. Pria yang tak suka pedas sekaligus manis.
Komentar
Posting Komentar