Awalnya saya merasa ketidakpuasan membaca
sebuah kumpulan tweet dikarenakan ekspektasi saya yang terlanjur berharap akan
isinya. Tapi saya bertanya lagi, saya bahkan membelinya tanpa membayangkan akan
seperti apa isinya. Atau mungkin karena selera buku saya tidak sesuai dengan
genre buku kumpulan tweet ?. Saya bahkan tidak memiliki selera tertentu dalam
membaca. Saya mengkoleksi novel Mira W., buku sasta Rendra, tulisan Amien Rais
hingga kumpulan cerpen Kompas. Tapi ketika saya meminta seorang teman untuk
ikut membaca buku yang baru saya beli itu, ternyata responnya tak jauh beda
dengan saya. Setelah membaca teman saya berkata : “buku opo iki ? mending ngeprint soko twitter langsung”. Akhirnya
saya merasa bahwa buku yang berisi kumpulan tweet yang baru saya beli memang
mengecewakan. Tapi apa saya menyesal membelinya ?. Tidak. Setidaknya saya jadi
bisa membandingkan bagaimana sebuah buku yang menurut saya bergizi dan mana
yang menurut saya cukup dibaca sekali.
Ide apa yang bisa ditangkap dari sebuah
tulisan sepanjang 140 karakter ?. Apa yang bisa disampaikan oleh kumpulan kata
yang hanya tersusun dari 140 karakter ?.
Menurut saya yang tidak memiliki banyak
pengetahuan tentang dunia tulis menulis, sastra atau buku, sebuah buku
seharusnya bukan hanya berupa kumpulan kertas berisi tulisan yang dijilid. Buku adalah teks yang mengungkapkan sebuah
ide atau gagasan yang antar kalimatnya merupakan kesatuan. Maka jika
membaca buku orang pasti bisa menarik satu benang merah besar atau gagasan
utama yang menjadi inti buku tersebut.
Ibarat makanan, hidangan tweet cukup enak tapi kurang bergizi dan
tidak mengenyangkan. Sebuah tweet atau kumpulan tweet memang seringkali indah
dan menggelitik, tapi untuk menjadi sebuah buku rasanya seperti bayi yang prematur.
Sebuah buku memang bisa terlahir karena inspirasi dari jejaring sosial seperti
twitter. Tapi sebuah buku seharusnya tidak berwujud kumpulan tweet atau status
pendek di jejaring sosial.
Membaca memang masalah selera. Apa yang kita
suka belum tentu disenangi oleh orang lain. Tapi bagi saya dan mungkin beberapa
orang, membaca sebuah buku yang tidak lebih dari kumpulan tweet mungkin akan menghasilkan
satu kesan yang sama yakni dangkal atau malah mentah. Sulit untuk mendapatkan
sensasi batin ketika membaca sebuah buku yang hanya berisi kumpulan tweet.
Sebuah
buku seharusnya berisi kumpulan teks yang mengungkapkan satu gagasan yang
pasti. Meski terdiri dari banyak paragraf atau bab, teks-teks dalam sebuah buku
tetap memiliki sifat sebagai satu kesatuan makna yang utuh. Sebuah buku bukan
hanya kumpulan tulisan yang dapat dibaca, tapi juga harus berbicara. Bicara
adalah menyampaikan cerita. Inilah yang sulit ditemukan dalam kumpulan tweet
yang “dibukukan”,
setidaknya dari dua buku yang sudah saya baca. Hal itu disebabkan karena pada
dasarnya sebuah tweet adalah kumpulan kata yang seringkali miskin gagasan. Bukan
hanya karena sering terlahir dari sebuah celetukan tanpa proses berfikir yang
sistematis, tapi juga karena satu persoalan yakni “apa yang bisa disampaikan oleh
kumpulan kata yang hanya terdiri 140 karakter saja ?”.
Satu tweet mungkin tidak mampu berbicara,
tapi jika kumpulan tweet ?. Rasanya tetap saja karena jika hanya berupa kutipan
yang dijejerkan sebagai sebuah tweet, kumpulan kalimat itu tetap tak memiliki
gagasan yang jelas dan buku yang dibuat dengan cara demikian seperti kumpulan
kliping yang tersusun acak. Orang yang
membacanya menjadi lelah lalu kehilangan rasa ingin tahu dan daya analisisnya.
Padahal sebuah buku yang berhasil menurut saya adalah buku yang bisa membuat
pembacanya betah membolak-balik halamannya untuk mengurai isinya dan akhirnya
berhasil menemukan satu gagasan utama yang merupakan ide dari sang penulis. Sebuah
buku perlu menunjukkan kepada pembacanya jika ada sebuah proses yang dimulai
dari kalimat pertama hingga kalimat penutup di halaman terakhirnya. Jika itu
tidak ditemukan dari sebuah kumpulan teks, layakkah itu menjadi buku ?.
Kumpulan
tweet yang dibukukan rasanya kurang layak disebut sebagai buku atau kalau ada
pendapat serupa namun lebih ekstrem adalah kumpulan tweet sebenarnya kurang layak diterbitkan sebagai
sebuah buku.
Selain tidak sistematis, kumpulan tweet juga tidak menggambarkan sebuah proses
yang bisa mengantarkan pembacanya menarik kesimpulan. Kumpulan tweet bukan
hanya sering miskin gagasan tapi juga tak memiliki kesatuan makna satu sama
lain. Padahal gagasan dan kesatuan makna dibutuhkan oleh sebuah teks dalam
buku.
Lalu mengapa kini banyak kumpulan tweet yang
dibukukan ?. Arahan pasar mungkin menjadi pemicu utama. Semua berhak menulis
dan setiap karya pantas mendapatkan apresiasinya sebagai bentuk penghargaan terhadap
kualitas dan proses kreatif yang sudah dilalui oleh seseorang. Tapi pasar dalam
hal ini penerbit, seringkali tidak berangkat dari alasan itu ketika menerbitkan
sebuah buku.
Sebuah buku yang banyak dibaca seringkali
bukan karena isinya yang bergizi tapi karena penulisnya yang terkenal.
Buku-buku yang berisi kumpulan tweet memang kerap dilahirkan dari seorang yang
sudah tenar sebelumnya, bahkan mungkin itu pertama kalinya dia menulis. Bagi
seorang yang sudah tenar, menerbitkan kumpulan tweet dalam sebuah buku mungkin
bukan karena kebutuhan batinnya untuk menulis, tapi karena tuntutan untuk
menyenangkan penggemar. Dan bagi beberapa penerbit momen ini sering dimanfaatkan
untuk mengeruk keuntungan meski mereka tahu sebenarnya kumpulan tweet itu
kurang layak dibukukan. Kecenderungan ini pada akhirnya menghasilkan banyak
buku yang hanya menimbulkan kekecewaan bagi pembacanya. Hal ini juga tidak
memberikan pencerahan kepada pembaca karena dorongan membaca tidak datang dari rasa
ingin tahu dan kualitas isinya tapi karena siapa penulisnya.
Fenomena buku kumpulan tweet ini mirip dengan
apa yang terjadi dengan panggung musik Indonesia. Ketika banyak produser
memanfaatkan momen ketenaran sebuah boy/girl band untuk melahirkan copy-copy
berikutnya, pada akhirnya hanya membuat kualitas panggung jatuh karena dipenuhi
sajian-sajian yang homogen dan prematur tapi digemari karena pasar sengaja
dibuat demikian oleh mereka yang mulai mengabaikan esensi dan kualitas sebuah
karya demi keuntungan ekonomis semata. Jangan sampai dunia buku Indonesia
mengalami hal serupa.
Buku kumpulan tweet rasanya akan bernasib serupa
dengan buku-buku yang lahir karena tuntutan popularitas genre dan sebuah
fenomena mainstream semata. Ketika beberapa waktu lalu bertaburan buku yang
memuat kumpulan status facebook hingga cerita hantu konyol dan akhirnya
berakhir mengecewakan, maka buku-buku kumpulan tweet boleh jadi akan bernasib
sama.
Sisi buruk lainnya dari fenomena kumpulan
tweet yang dibukukan adalah kecenderungan orang untuk menjadikan hal itu
sebagai salah satu metode atau cara membuat buku. Banyak anak muda atau orang
yang berambisi menjadi selebtwit dengan berusaha merangkai tweet-tweet indah.
Mereka berharap itu akan membuat namanya terkenal dan ketika sudah terkenal
mereka akan mengumpulkan daftar tweet nya untuk dibukukan tanpa menawarkan
sesuatu gagasan yang baru. Ada semacam
motivasi di benak mereka yakni : “jadi terkenal dulu di twitter baru
menerbitkan buku”. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi secara
pribadi saya memandang “prinsip” itu bisa membuat rak-rak toko buku dipenuhi
oleh tulisan-tulisan yang mentah dan miskin gagasan.
Membaca buku memang urusan selera dan pilihan.
Sebagai seorang pembaca saya selalu
salut dengan mereka yang bisa menerbitkan buku. Tapi tak bisakah kita sebagai
pembaca diberi pilihan yang baik ?. Semua hal memang perlu untuk diceritakan
dan semua cerita bisa dituliskan. Tapi layakkah kumpulan tulisan-tulisan
sebanyak 140 karakter itu disebut buku ?. Cerita utuh apa yang bisa dibaca dari
kumpulan-kumpulan tweet itu ?.
Kicauan
sebanyak 140 karakter itu memang seringkali indah dibaca dan mengusik untuk
diingat. Tapi sebagai sebuah teks dalam buku, apa yang bisa diceritakan dari
tulisan-tulisan yang hanya terangkai oleh 140 karakter saja ?.
Bisakah
kicauan-kicauan itu dinamai buku jika setelah membacanya orang gagal menarik
kesimpulan ceritanya ?. Kepada penerbit, apa karena sebuah akun twitter
memiliki banyak follower lalu tweet-tweet nya serta merta layak menjadi
sebuah buku ?.
Komentar
Posting Komentar