Menjadi anak sekolahan, mulai dari saat harus
rapi berseragam merah putih, lalu berganti biru putih lengkap dengan badge OSIS
hingga saat berekspresi dengan pakaian putih abu-abu, adalah masa yang penuh kenangan.
Banyak sekali peristiwa, menyenangkan maupun kurang mengenakkan yang kita alami
di masa-masa itu. Saat di mana rambut tak boleh menutupi telinga, kaus kaki harus
berwarna putih atau hitam, piket menghapus papan tulis harus dikerjakan hingga
wajib membawa buku ajar dan LKS setiap hari.
Periode menjadi anak sekolahan berseragam
juga menjadi masa di mana kenakalan dan kepatuhan kita “diasah”. Seorang bisa
terlihat dalam puncak kepatuhannya sebagai anak yang baik ketika berseragam
sekolah. Sebaliknya riwayat kenakalan seseorang juga bertambah saat duduk di
bangku sekolah.
Kalau ditanya apakah saya termasuk anak yang
dominan nakal atau menonjol kepatuhannya, saya akan menjawab bahwa saya dan
teman-teman sekelas pernah diskors karena ketahuan guru main kartu saat
pelajaran di kelas.
Kejadiannya semasa duduk di bangku kelas 2
SMA. Sebenarnya kelas kami termasuk kelas yang disegani. Penyebabnya karena mulai
dari Ketua OSIS hingga ketua regu peleton inti pasukan pengibar bendera semua
ada di kelas kami. Anggota inti tim sepakbola sekolah serta beberapa murid
dengan nilai terbaik juga berasal dari kelas kami. Tak mengherankan jika kelas
kami langganan menjadi tempat “study tour” kelas lain, terutama saat musim
ulangan. Murid-murid dari kelas tetangga mengharapkan bocoran dari kelas kami.
Tapi kelas kami juga dipenuhi aktivis
permainan kartu. Entah darimana mulanya dan siapa yang memulai ajaran ini, hingga
suatu ketika kami sudah menjadi sangat senang bermain kartu di dalam kelas. Saya
sebut kami, karena tidak hanya satu atau dua orang saja yang melakukan
aktivitas itu. Melainkan sudah sistemik hampir semua murid, tak peduli
laki-laki ataupun wanita, termasuk yang tadinya alim sekalipun.
Begitu senangnya kami bermain kartu
sampai-sampai hal itu dilakukan tak hanya di kala istirahat, tapi juga di saat
pelajaran berlangsung. Bagaimana bisa?. Inilah hebatnya kelas kami. Dengan
kemahiran dan pengetahuan sebagai aktivis organisasi dan kelas yang kebetulan
kompak, kami memiliki cara hebat dalam bermain kartu hingga tak terendus guru.
Di kala istirahat, kami bermain kartu di
dalam kelas. Pintu dibiarkan terbuka seperti biasanya, lalu murid-murid yang
bermain duduk berkumpul menarik beberapa kursi untuk saling mendekat. Sementara
itu murid-murid yang kebetulan duduk di depan kelas selalu memiliki “kesadaran”
untuk menjadi penjaga di muka pintu kalau-kalau ada guru yang melintas. Maklum
kelas kami letaknya cukup strategis. Selain dekat dengan laboratorium bahasa,
juga berseberangan dengan kantin dan satu baris dengan ruang guru BK.
Seingat saya aksi bermain kartu di kala
istirahat selalu berjalan aman. Meski gelak tawa keras kerap pecah setiap kali
bermain kartu tapi kami tak pernah ketahuan guru. Begitu nyamannya bermain
kartu sehingga murid-murid di kelas kami dikenal jarang keluar kelas di kala
istirahat. Benar-benar murid yang rajin, begitulah pencitraannya.
Kebiasaan bermain kartu di kala istirahat
berlanjut hingga pelajaran berlangsung. Inilah hal paling gila yang dilakukan
kelas kami saat itu. Dengan menghafal kebiasaan cara mengajar guru, kami bisa
tetap bermain kartu secara diam-diam. Pelajaran yang menjadi korban adalah
pelajaran di mana sang guru lebih banyak bercerita sendiri dari kursinya atau
lebih sering menulis dan berdiri tenang di depan papan tulis. Menurut memori
saya, moment saat pelajaran Geografi, Bahasa Indonesia serta Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pancasila (Pkn) adalah yang kerap menjadi korban kenakalan
kami.
Cara kami bermain kartu saat pelajaran
berlangsung sangatlah canggih dan berlangsung senyap. Tidak hanya melibatkan
meja depan dan belakang, tapi murid-murid yang duduk di baris meja yang
bersebarang juga bisa ikut berpartisipasi. Kartu-kartu dibagikan dengan
perantara kurir, yakni murid yang tidak ikut bermain kartu tetap duduk
berdekatan dengan sang pemain. Murid kurir itu bertugas menghantarkan kartu
atau menunjukkan kartu apa yang dilemparkan oleh lawannya.
Aktivitas bermain kartu dilakukan dengan
tatapan tetap tertuju ke papan tulis atau buku pelajaran. Sang guru pun tak
menaruh curiga. Padahal andai beliau tahu, tangan-tangan muridnya sedang
bersembunyi di dalam laci meja atau di bawah meja sambil memegang kartu. Ya,
kartu digulirkan dengan berantai dari tangan ke tangan melalui bawah meja. Saat
sang guru kebetulang menoleh ke belakang atau berjalan menyisir meja memeriksa
pekerjaan muridnya, dengan tenang dan terampil tangan-tangan kami yang memegang
kartu pun bergerak lancar memasukkan kartu ke dalam laci agar tak diketahui.
Ketika sang guru kembali ke tempatnya, kami pun saling berpandangan sambil
menahan tawa dan member isyarat: “lanjut!”. Benar-benar nakal kami waktu itu.
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya
ia akan jatuh juga. Secerdik apapun trik yang kami gunakan dalam bermain kartu
di kelas saat pelajaran, akhirnya ketahuan juga.
Suatu hari ketika sedang pelajaran Pancasila
dan Kewarganegaraan, kami kena batunya. Sebenarnya saat itu boleh dibilang jam
kosong karena sang guru tidak masuk. Namun sudah menjadi kebiasaan di sekolah
kami, saat ada pelajaran kosong maka murid akan mengerjakan tugas yang sudah
dititipkan sebelumnya oleh sang guru. Hari itu kami ditugaskan untuk
mengerjakan beberapa soal di LKS dengan pengawasan guru Geografi yang sedang
mengajar di kelas sebelah. Jadilah saat itu sambil mengajar di kelas tetangga,
Pak Guru Geografi sempat menjenguk kelas kami.
Pintu kelas akhirnya ditutup. Kami sepakat untuk
tidak berisik agar dianggap hidmat mengerjakan tugas yang dipesankan. Sementara
yang terjadi sebenarnya adalah sebuah olimpiade permainan kartu sedang
berlangsung sengit di dalam kelas. Sebelum bermain kartu kami sudah lebih dulu mengerjakan tugas tersebut.
Soal pilihan ganda yang tak terlalu banyak jumlahnya dengan cepat kami kerjakan
dengan menyontek satu sama lain.
Di dalam kelas beberapa murid bermain kartu
dengan leluasa. Tak lagi dengan menyembunyikan tangan di bawah laci meja atau
menggunakan kurir murid di dekatnya.
Ada sekitar 30 menit permainan kartu
berlangsung sebelum akhirnya kami dikagetkan dengan pintu yang tiba-tiba
terbuka. Murid-murid yang sedang duduk berkerumun di tengah buru-buru bubar
kembali ke mejanya masing-masing. Beberapa ada yang sambil membawa kursi. Bersamaan
dengan itu kartu-kartu dengan cepat dimasukkan ke dalam laci. Ada juga yang
memasukkan ke dalam saku celana.
Tapi waktu antara terbukanya pintu dan
kedatangan Pak Guru Geografi dengan kecepatan “beres-beres” kami terlalu
pendek. Entah sejak kapan curiga dengan kenakalan kami, Pak Guru Geografi lalu
berjalan menuju meja yang sebelumnya dijadikan arena utama permainan kartu. Kami
yang sudah duduk manis di kursi masing-masing hanya bisa menatap cemas. Mungkin
saat itu ada di antara kami ada yang merapal doa agar apa yang baru saja kami
lakukan tidak ketahuan.
Tapi doa jelek tak pernah dikabulkan. Tanpa
aba-aba Pak Guru Geografi memerintahkan teman kami untuk mengeluarkan apa
disembunyikan di dalam laci meja. Seperti mendapat perintah tegas, teman kami pun
mengambil kartu-kartu yang berserakan di dalam laci. Seketika kami semua
menunduk. Pak Guru Geografi marah di depan kami. Tak lama memang, kurang dari 5
menit, tapi itu sudah cukup membuat wajah kami merah sementara mulut kami
tersumpal diam.
Pak Guru Geografi akhirnya meninggalkan kelas
kami dengan kesal. Kami pikir ini sudah selesai dan beliau kembali mengajar di
kelas sebelah. Namun dugaan kami salah. Rupanya Pak Guru Geografi menuju ruang
guru BK, ia mengadu. Ditinggal Pak Guru Geografi kami pun diceramahi Pak Guru
BK. Malang bagi kami karena Guru BK selalu lebih galak dibanding Guru Geografi.
Usai dimarahi di dalam kelas, beberapa di
antara kami dipanggil bergiliran ke dalam ruang Bimbingan dan Konseling untuk
mencatatkan nama kami sendiri di buku catatan khusus. Kelas kami pun mendapat
hukuman skorsing.
Kami beruntung karena bukan skorsing dilarang
masuk sekolah melainkan diwajibkan belajar mandiri di dalam kelas sambil
merenungi perbuatan kami. Jadi sepanjang sisa hari itu di sekolah, tidak ada
guru yang masuk ke kelas kami untuk mengajar. Kami dibiarkan duduk manis
kebingungan harus belajar apa. Kami juga
tidak memilih untuk mengulangi bermain kartu. Meski selama bermain kartu
kami tak pernah menggunakan taruhan apapun, tapi seketika itu kami sudah jera
dan sadar untuk tidak bermain kartu di sekolah.
Hari berganti, dari mulut ke mulut akhirnya
semua guru tahu kenakalan kelas kami. Beberapa guru bahkan mencandai kami di
depan kelas sebelum memulai pelajarannya. Meski candaan itu lucu dan mengundang
tawa, tapi kami terlanjur malu.
Bukan hanya guru, hampir semua murid di
sekolah akhirnya juga mengetahui perihal perbuatan kelas kami. Namun itu tak
membuat kelas lain menjauhi kami. Semua biasa saja, teman-teman tetap
berdatangan ke kelas kami untuk ngobrol di kala istirahat dan mencari bocoran
jawaban dari murid-murid pintar di kelas kami. Kelas kami tetap disegani.
Komentar
Posting Komentar