Langsung ke konten utama

Trans Jogja dan Penumpang Difabel



Akses terhadap pelayanan publik seperti transportasi adalah sesuatu yang selalu diharapkan oleh para penyandang cacat atau  difabilitas. Bukan rahasia lagi jika hingga kini kaum difabel masih sering mengalami kesulitan dalam menikmati pelayanan publik yang semestinya mereka dapatkan secara baik dan setara seperti warga lainnya.

Sejumlah  fasilitas publik  di negeri ini disediakan tanpa memperhatikan kebutuhan kaum difabel secara utuh. Oleh karena itu setiap upaya untuk mewujudkan kemudahan penggunaan fasilitas publik bagi para penyandang cacat perlu didukung dan diapresiasi.
 
Pak Ketut (baju hijau), petugas perjalanan Bus Trans Jogja memandu penumpang tuna netra keluar dari bus menuju halte.
Suatu hari saya menumpang bus Trans Jogja yang berangkat dari terminal Giwangan, Yogyakarta. Suasana saat itu tak terlalu sesak dan saya  memilih duduk di baris kursi  yang berhadapan dengan pintu.

Belum lama melaju, Trans Jogja sampai di sebuah halte dan berhenti untuk menaikkan penumpang. Dari beberapa penumpang yang masuk ada seorang remaja berkerudung dan berseragam sekolah menengah. Sang pemandu perjalanan Trans Jogja yang dari label di bajunya diketahui bernama Pak Ketut menuntun penumpang tersebut lalu mengarahkannya duduk di sebelah saya.
Seorang penumpang tuna netra memegang tongkat pemandu jalan di dalam bus Trans Jogja.

Trans Jogja pun melaju kembali, Sekitar 10 menit kemudian saya mengetahui jika penumpang wanita di samping saya itu adalah seorang penyandang tuna netra. Saya semakin tersadar saat melihat kedua tangannya menggenggam tongkat penuntun dari logam yang dilipat. Tak lama setelah itu Pak Ketut   menanyakan halte tujuannya.

Melesat sekitar 20 menit bus Trans Jogja kembali berhenti di sebuah halte. Ada tiga penumpang yang masuk termasuk seorang bapak  berkemeja biru yang  menarik perhatian saya. Rupanya, beliau juga penyandang tuna netra.

“Mari Pak, hati-hati. Sekarang satu langkah panjang. Di sini pak dekat pintu sebelah saya”, kata Pak Ketut menuntun sang penumpang.  Dengan baik  Pak Ketut meraih tangan penumpang tersebut dan memandunya melangkah di dalam bus. Pak Ketut juga meminta seorang penumpang yang duduk di dekat pintu untuk pindah ke belakang dan memberikan tempatnya kepada sang bapak.

Hari itu saya  menumpang Trans Jogja dengan dua orang penyandang tuna netra di dalamnya. Keduanya akhirnya turun lebih dulu.  Secara bergantian Pak Ketut memandu keduanya sehingga bisa melangkah keluar dari bus dengan lancar. Di sisi lain petugas halte  terlihat bersiap di pintu halte mengantisipasi jika penumpang yang baru turun tersebut memerlukan bantuan saat keluar dari bus.

Dalam sisa perjalanan saya menyimpan rasa senang dengan apa yang dilakukan oleh Pak Ketut dan Trans Jogja. Mereka telah berusaha memberikan pelayanan yang baik kepada penumpang.  Saya juga membayangkan kedua penumpang difabel tersebut senang menaiki bus Trans Jogja dengan pemandu perjalanan yang mengerti kebutuhan penumpang. 
Kesigapan awak Trans Jogja terhadap penumpang difabel yang patut diapresiasi.
Pelayanan Trans Jogja terhadap kaum difabel patut diapresiasi. Meski bus Trans Jogja dan fasilitas pendukungnya seperti halte belum sepenuhnya ideal, namun  setidaknya telah berusaha menyediakan pelayanan publik yang lebih baik bagi kaum difabel. Mereka diperlakukan setara dalam hal membayar tiket. Sementara di dalam ruang tunggu halte petugas sering membantu mereka dengan meminta calon penumpang lain yang ada di dekat pintu untuk pindah supaya penumpang difabel mudah memasuki bus.

Selanjutnya Trans Jogja perlu meningkatkan standar pelayanannya dengan memperhatikan kebutuhan para penyandang difabilitas secara utuh. Beberapa kali menumpang Trans Jogja saya menemukan interior bus yang tidak seragam. Beberapa bus Trans Jogja menyediakan ruang khusus kursi roda dengan mengosongkan bagian yang menghadap pintu. Namun bus lain tidak memiliki fasilitas tersebut karena seluruh sisinya dipasang kursi penumpang.

Kemudahan untuk mendapatkan pelayanan publik untuk kaum difabel harus terus diupayakan. Mewujudkan kesetaraan dalam menikmati fasilitas publik yang baik adalah tanggung jawab bersama karena pada dasarnya kaum difabel adalah anggota masyarakat seperti kita yang berhak atas keadilan.

Komentar

  1. Hmmm, kalau mikir solusi halte TransJogja supaya ramah difabel itu sulit juga Bro. Soalnya halte TransJogja itu sebagian besar kan numpang di trotoar. Maksudnya, perencanaan lalu lintas di kota Jogja ini kan sepertinya tidak memperhitungkan adanya halte bus. Perhatian nggak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, makanya di awal tulisan saya sebutkan sejumlah fasilitas publik sebelumnya dirancang tanpa memperhatikan kebutuhan kaum difabel secara utuh. Dan Trans Jogja memang belum sepenuhnya ideal. Akan tetapi di tengah itu semua, setidaknya ada bagian yang coba diatasi dan lebih baik daripada terlalu lama diabaikan. Semoga saja solusi lalu lintas Yogyakarta ke depan dapat menyentuh kebutuhan kaum difabel secara menyeluruh.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk