Ahok dan SARA. Entah mengapa keduanya seakan
tak bisa dipisahkan. Apakah karena Ahok seorang keturunan Tionghoa?. Karena ia
non-muslim?. Atau kita yang mengalami kemunduran peradaban dan kembali jadi
primitif karena gemar mempersoalkan keberagaman?. Atau malah kita lah yang
telah berkhianat pada kebhinekaan dengan bersikap “sok pribumi”. Padahal,
istilah pribumi tak jelas maknanya karena sesungguhnya manusia Indonesia modern
saat ini adalah “campuran”. Atau mau mencari orang “Indonesia asli?”. Mungkin
tinggal fosilnya terpendam di kedalaman bumi.
Ahok berbicara di panggung Kompasianival 2014 (dok. Hendra Wardhana). |
Kembali ke sosok Gubernur DKI Jakarta dan
serangan-serangan SARA yang ditujukan berulang kali kepadanya. Bagaimana bisa
panji-panji agama dan segala macam atributnya digunakan sebagai tameng untuk
mengumbar kebencian, tuduhan, cacian, bahkan ancaman?. Kita menyaksikannya
sekarang dengan sangat telanjang.
Dan, sepanjang itupula Ahok menerimanya.
Setahu saya ia tak pernah melaporkan para penghujatnya yang dalam batas
kesabaran orang biasa seharusnya layak dijerakan. Malah tak segan ia memaafkan.
Kesabaran Ahok jelas melebihi orang biasa.
Sikap penerimaannya menunjukkan kelapangan hatinya. Sebaliknya. mereka yang
berkali-kali menghajarnya dengan SARA sepertinya membutuhkan “donor otak"
atau “cangkok hati”.
Ahok bisa jadi lebih islami dibanding para
laskar pembawa panji agama yang mengucap takbir dan hujatan secara berselingan.
Citranya yang terlihat pemarah, yang kemudian dikonotasikan jahat oleh
sekelompok orang, justru berkebalikan dengan ikhtiar dan kerjanya. Ahok yang
ikut membayar zakat setiap tahun, menyumbang hewan kurban, berperang melawan
mafia anggaran, membangun rumah layak huni bagi kaum marginal, menutup tempat
hiburan malam, menaikkah haji/umroh para marbot, hingga berinisiatif membangun
masjid balaikota.
***
Sabtu, 22 November 2014, di Gedung Sasono
Budoyo Taman Mini Indonesia Indah, saya duduk menyimak cerita dan pengalaman
Ahok. Saat itu ia hadir sebagai tamu utama gelaran Kompasianival.
Dengan karakternya yang lugas dan
blak-blakkan, suami Veronica tersebut berkisah tentang masa kecilnya di
Belitung. “Saya tinggal di lingkungan
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga kelompok Masyumi. SD sampai SMP
saya di sekolah Islam, bahkan nilai agama Islam saya sering lebih baik dari
teman-teman”. Begitulah Ahok mengingat masa kecilnya.
Ahok mendapatkan banyak kesan dari kehidupan
masa kecilnya. Ketika menempuh pendidikan di sekolah Islam, Ahok beberapa kali
mengikuti kelas pelajaran Agama Islam meski ia seorang non Muslim. Ia pun
mengatakan nilai ulangan pengetahuan dasar agama Islamnya seringkali lebih
tinggi dibanding teman-temannya yang beragama Islam. Itu karena ia tak
diharuskan mengerjakan soal-soal yang susah seperti bahasa Arab.
Kesan terhadap Islam dan beberapa ucapan guru
agamanya di SD dan SMP terus diingat oleh Ahok hingga kini. Oleh karena itu,
meski bukan pemeluk Agama Islam, ia sesekali mengutip beberapa ajaran dalam
Islam untuk menjelaskan sesuatu masalah. Bahkan di panggung Kompasianival Ahok
menegaskan ia perlu mengucapkan Istighfar saat dilantik sebagai Gubernur DKI
menggantikan Joko Widodo.
Ahok (dok. Hendra Wardhana). |
Nilai-nilai toleransi beragama dan menyayangi
sesama manusia juga Ahok dapatkan dari nasihat-nasihat ayahnya. Ahok kecil
banyak diajari untuk berbagi dengan siapa saja tanpa memandang agama dan latar
belakang lainnya. Ahok juga terus mengingat pesan ayahnya untuk selalu berbuat
baik dan menolong sesama tanpa harus menunggu menjadi orang kaya. “Pokoknya kalau ada yang bisa dibantu,
bantu saja sebisanya”. Begitulah Ahok memaknai salah satu nasihat ayahnya
di masa kecil.
Salah satu prinsip yang diyakini Ahok adalah
bahwa dengan berbuat baik semuanya akan dimudahkan. Dengan santai ia pun
menanggapi perjalanannya yang terjal dan mendapat banyak tentangan dari
berbagai kalangan saat menuju Gubernur DKI .
“Di Belitung yang 90% dikuasai partai Islam bisa, masa di DKI
saja yang begini saya harus khawatir”. Jawaban itu pun disambut tepukan
tangan riuh para hadirin.
Ahok memang berani mendobrak penjara
demokrasi. Ia pun jadi pengingat yang menampar kesadaran kita tentang toleransi
yang selama ini ternyata masih sering hanya sebatas teori. Ahok mempraktikannya
secara terang. Ia adalah salah satu cerminan Indonesia yang sesungguhnya, bukan
Indonesia KW yang sok pribumi dan jagoan SARA. Dan, sejujurnya profil seorang
Ahok selayaknya membuat kita menatap ulang ke-Indonesia-an masing-masing.
Keren ulasannya :)
BalasHapus