Langsung ke konten utama

Toko Oen dan Simfoni yang Manis di Semarang



Toko Oen adalah satu ikon kuliner legendaris di Kota Semarang. Letaknya di Jalan Pemuda No.52, sekitar satu kilometer dari Kantor Walikota Semarang. Tak sulit sebenarnya menemukan toko ini karena posisinya tepat di pinggir jalan. Namun, pintunya yang kecil dan tidak sejajar dengan sisi jalan membuatnya seolah tersembunyi. Selain itu tak ada papan nama mencolok di tembok atau pintunya. Hanya tulisan “TOKO OEN” di atas atap yang jadi tanda dari luar. Itupun agak terhalang oleh tiang listrik yang menjulang dan rangkaian kabel listrik yang kurang teratur.
Simfoni yang manis di Toko Oen Semarang (dok. pri).
Toko Oen mungkin satu dari sedikit restoran bergaya kolonial yang masih bertahan di Indonesia selama puluhan tahun. Sejarahnya dimulai sekitar 1910 ketika Liem Gien Nio mendirikan toko kue kering di Yogyakarta. Nama “Oen” diambil dari nama sang suami, Oen Tjoen Hok. Seiring waktu Toko Oen tidak hanya menjual kue kering. Aneka hidangan yang mengangkat resep khas perpaduan dapur Indonesia, Tiongkok, dan Belanda juga disediakan. Selain itu, Toko Oen memiliki pusaka kulinernya yang khas yaitu dessert. 

Toko Oen kemudian membuka cabang di Malang dan Jakarta pada 1934. Namun, kedua cabang tersebut tidak berumur lama. Toko Oen Jakarta tutup pada 1973 dan Toko Oen di Malang berganti pemilik. Toko di Malang tetap mempertahankan nama Oen meski tidak lagi dikelola oleh keluarga Oen. Pada 1936 Toko Oen membuka cabang di Semarang. Toko Oen Semarang inilah yang menjadi pewaris resep original dari sang pemilik pertama, yaitu keluarga Oen. 

Suasana di dalam ruangan Toko Oen (dok. pri).
Meja dan kursi lawas dari kayu dan rotan  masih dapat dijumpai di Toko Oen (dok. pri).
Aneka macam kue kering dan roti buatan Toko Oen (dok. pri).
Puluhan tahun berselang, nuansa tempo dulu masih kental ditemui di Toko Oen. Baik pada fasad luar bangunannya, maupun ruangan di dalamnya. Masuk melewati pintu kayunya yang tak terlalu besar, pengunjung langsung dihadapkan dengan barisan meja dan kursi berbahan rotan serta kayu yang terlihat sudah berumur. Di meja dan kursi  itulah para tamu menikmati setiap hidangan yang disajikan.

Hanya beberapa langkah dari pintu masuk ada puluhan toples berbahan kaca berukuran besar berjejer di atas etalase kaca. Di dalamnya berisi aneka kue kering dan roti mengundang nasfu untuk mencicipinya. Semua  kue dan roti tersebut dibuat sendiri oleh Toko Oen dengan resep warisan yang sama selama bertahun-tahun.

Toko Oen memiliki tiga ruangan. Selain ruangan pertama yang besar dan terhubung langsung dengan pintu masuk, dua ruangan lainnya berada di sebelah dalam kasir dan di samping ruang pertama. Ruangan ini dibatasi oleh dinding dan jendela kayu dengan kaca yang agak gelap. Saat mengintip ke dalam, ruangan tersebut mungkin dikhususkan untuk tamu rombongan yang menginginkan suasana lebih privat seperti rapat, acara keluarga atau arisan.

Sore itu saya memilih duduk di ruangan utama dekat deretan toples kue. Seorang pelayan berbaju hitam putih segera menghampiri dan memberikan buku menu. Cukup banyak menu yang dimiliki Toko Oen. Namun, saya tertarik dengan list dessert-nya yang mengundang penasaran.

Oen' Symphony yang "juara"  (dok. pri).
“Kami ada Tutti frutti dan Oen’s Symphony”. Jawab sang pelayan saat saya bertanya dessert andalan Toko Oen. Keduanya adalah es krim homemade yang menjadi penanda keunggulan rasa Toko Oen. Pelayan lalu  menjelaskan secara singkat kedua dessert tersebut. Saya pun memutuskan memilih Oen’s Syimphony (Rp37.500).

Sambil menunggu pesanan datang, saya melempar pandangan ke beberapa sudut ruang. Selain deretan toples serta meja dan kursi yang bergaya kuno, kesan vintage juga dihadirkan melalui beberapa pajangan berupa lukisan dan foto di dinding. Bahkan, belakangan saya menyadari hampir semua pelayan dan pegawai toko ini mengenakan kemeja putih dan celana panjang atau rok hitam.  Secara keseluruhan suasana Toko Oen mudah membuat orang betah berada di dalamnya.

Tak berapa lama pelayan datang kembali membawa dua gelas untuk saya. Ternyata Oen’s Syimphony cukup cepat disajikan. Satu gelas berukuran kecil berisi air putih. Sementara gelas lainnya bentuknya unik dengan bagian atas mengembang seperti perhiasan bunga yang mekar. Empat skop es krim berwarna hijau, kuning, pink dan coklat disusun bertumpuk di gelas tersebut. Di atasnya ditambahkan krim berwarna putih dan siraman sirup berwarna merah. Lalu ada dua buah kue lidah kucing berwarna keemasan diletakkan di pinggir es krim.

Sekilas tak ada bedanya penampilan es krim Oen’s Symphony dengan  es krim pada umumnya. Namun, suapan pertama membawa saya pada jawaban mengapa dessert ini jadi pusaka kuliner Toko Oen. Dalam lima skop es krim tersebut jejak rasanya cukup kaya. Rasa buah, coklat, susu dan kopi terlacak oleh indera pengecap saya. Uniknya rasa-rasa tersebut tidak saling meniadakan dan menyatu sempurna.

Toko Oen Semarang (dok. pri).
Sensasi dinginnya terasa segar saat melewati kerongkongan. Saya juga suka dengan tekstur es krimnya yang agak kasar sehingga setiap cecapannya sangat mengena di lidah. Saat meleleh es krim ini tak kehilangan cita rasanya. 


Oen’s Symphony  tidak mengumbar rasa manis berlebihan sehingga pas dengan selera saya. Namun, ek krim yang satu ini mampu memanjakan semua pemilik lidah denganselera yang berbeda. Kue lidah kucing yang disertakan memiliki rasa manis yang sangat kuat sehingga bagi penggemar manis, menikmati es krim ini sambil mengigit lidah kucingnya akan menciptakan kepuasan tersendiri. Tak salah memang racikan ini diberi nama Oen’s Symphony.  Seperti halnya simfoni musik yang menggabungkan berbagai instrument serta genre berbeda, namun  menghasilkan  komposisi yang manis.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk