Langsung ke konten utama

Aminah dan Dawet Onggok Khas Klaten

Bulan Mei 2017, selamat datang lagi di Klaten, Jawa Tengah. Siang itu matahari masih bersinar terik dan saya masih harus menempuh beberapa kilometer lagi untuk sampai di tujuan. Karena sudah mulai lelah dan tak nyaman dengan sengatan matahari, saya menepi dan menghampiri seorang ibu penjual dawet.
Es Dawet Onggok khas Klaten dengan tambahan tape beras (dok. Hendra Wardhana).

Namanya Bu Aminah, ibu rumah tangga ini berjualan dawet di samping bengkel tempat usaha sang suami. Bengkel itu merupakan bagian depan dari rumah tinggal mereka.

Baru sebentar duduk dan meluruskan kaki, segelas es dawet sudah disodorkan kepada saya. Setelah menyentuh gelasnya yang dingin dan dipenuhi uap air yang mengembun, dengan cepat saya menghabiskan isinya. Kerongkongan pun seperti tanah kering yang mendadak diguyur hujan. Dingin, segar, dan saya ketagihan. Kepada Bu Aminah saya lalu meminta dibuatkan satu gelas es dawet lagi.

Sambil menikmati gelas kedua, saya mengajak ngobrol Bu Aminah tentang es dawet yang dijualnya. Wanita itu pun dengan ramah bercerita. Menurutnya dawet yang ia jual adalah dawet khas Klaten yang berbeda dengan dawet lainnya di Jawa seperti Dawet Ayu khas Banjarnegara atau Dawet Ireng khas Purworejo. 

“Kalau orang sini (Klaten) nyebutnya Dawet Onggok”, katanya. Onggok adalah hasil ektraksi serat pohon Aren yang ditepungkan. 

Bu Aminah yang sudah berjualan Es Dawet Onggok sejak 2014 itu mendapatkan bahan dasar onggok di Kecamatan Bayat, sekitar satu jam dari tempatnya berjualan di Kecamatan Wedi. Hal itu dikarenakan tepung onggok jarang dijual di Wedi. Sementara itu Bayat merupakan pusat produksi tepung onggok karena di sana masih banyak dijumpai Pohon Aren. Untuk persedian, Bu Aminah biasa membeli tepung onggok sebanyak 15 kg sekaligus dengan harga rata-rata Rp8000/kg.

Dalam sehari Bu Aminah menghabiskan 1 kg epung onggok untuk membuat dawet. Ia tak menggunakan bahan tambahan lainnya kecuali ekstrak daun pandan untuk memberi aroma. Dawet yang dibuat dari tepung onggok cenderung bening atau sedikit tranparan.
Bu Aminah, seorang penjual Es Dawet Onggok di Jalan Wedi-Klaten (dok. Hendra Wardhana).

Dawet yang dibuat dari tepung onggok (dok. Hendra Wardhana).

Dawet onggok buatan Bu Aminah sedikit lebih besar dibanding dawet sejenis yang dibuat penjual lainnya. Untuk hal ini ia punya alasan sendiri. “Kalau kecil memang di gelas kelihatan banyak, tapi lembek dan kurang kenyal”, ungkapnya. 

Pantas saja ketika mencicipi Es Dawet Onggok racikannya, saya mendapati tekstur dawet yang kenyal namun lembut di lidah. Rasanya cenderung tawar dan hanya sedikit jejak manis yang terlacak. Tapi saat diaduk bersama santan kelapa dan sirup gula jawa yang kental, segera terbit rasa manis yang kuat. 

Es dawet onggok juga memiliki isian istimewa lainnya, yaitu tape beras. Proses fermentasi dalam bungkus daun pisang menghasilkan aroma dan cita rasa tape beras yang segar dan sedikit asam. Saat dicampurkan ke dalam es dawet onggok, bukan hanya membuat tampilannya semakin memikat, tapi juga menghasilkan sensasi rasa yang lebih memikat lidah. Segelas es dawet onggok sangat menyegarkan dengan dominasi rasa manis dan jejak asam yang menggigit.
Es Dawet Onggok yang segar  (dok. Hendra Wardhana).

Tape beras dengan cita rasa manis dan asam hasil fermentasi (dok. Hendra Wardhana)

Selama ini di Klaten tape beras memang lebih populer dibanding tape singkong. Selain dijajakan di pasar-pasar tradisional, oleh masyarakat Klaten tape beras juga sering dijadikan kudapan untuk menjamu tamu yang berkunjung ke rumah. 

Dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Klaten juga berupaya mengangkat dan mempromosikan Es Dawet Onggok sebagai salah satu kuliner khas daerahnya. Salah satunya dengan membagikan peralatan seperti gerabah atau gentong kepada masyarakat yang ingin berjualan Es Dawet Onggok. Sayangnya, menurut Bu Aminah, upaya itu kurang tepat sasaran. Beberapa warga penerima bantuan memilih menjual kembali peralatan tersebut.

Meskipun demikian, sejak 2015 penjual Es Dawet Onggok di Klaten terus bertambah, termasuk di sekitar Jalan Wedi-Klaten tempat Bu Aminah berjualan. Penjual Es Dawet Onggok juga banyak dijumpai di Cawas, Bayat, serta di beberapa ruas Jalan Jogja-Solo dan di dalam kota Klaten. Beberapa di antara mereka menyajikan Es Dawet Onggok dengan gelas. Tapi tidak sedikit pula yang menggunakan mangkuk kecil. 

Para penjual itu umumnya kaum ibu dan mereka berjualan di warung atau gubug sederhana di pinggir jalan. Kebanyakan tempat berjualanan itu hanya terbuat dari beberapa bilah bambu atau kayu dengan atap seng atau terpal. Beberapa penjual malah hanya menggunakan satu buah payung lebar dan memanfaatkan kanopi pohon di sekitarnya.

Meski jarang ada yang memasang papan nama, para penjual dawet di sepanjang Jalan Wedi-Klaten tetap mudah dikenali. Selain berada di pinggir jalan yang tak terlalu lebar, “etalase” mereka juga mencolok yaitu berupa gentong/gerabah tanah liat sebagai wadah dawet sebelum diracik.
Segelas saja tidak cukup! (dok. Hendra Wardhana).

Es Dawet Onggok yang Manis, Asam, dan Segar! (dok. Hendra Wardhana).

Pada hari-hari biasa para penjual Es Dawet Onggok biasanya mulai berjualan sejak pukul 09.00 pagi. Tapi pada bulan Ramadhan nanti, Bu Aminah berencana baru akan berjualan mulai pukul 15.00 untuk melayani pembeli yang ingin berbuka puasa dengan Es Dawet Onggok.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk