Langsung ke konten utama

Gagu Menghadapi Intoleransi


Indonesia selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang harmonis mengingat begitu beragamnya  negeri ini, tapi rakyatnya bisa hidup berdampingan. Pujian sebagai masyarakat yang toleran membuat orang Indonesia bangga. 
Sepanduk pelarangan gereja (sumber: twitter ferry maitimu).
Namun, begitu seringnya dijadikan percontohan negeri yang penuh toleransi justru membuat kita kehilangan kepekaan pada masalah intoleransi. Pengrusakan tempat ibadah, pembubaran kegiatan peribadatan, dan propaganda mengenai hari besar agama tertentu tidak dianggap sebagai masalah besar. Buktinya hal itu terus terjadi dan berulang seolah dibiarkan.

Memang sebagian besar negeri ini masih dinaungi nafas toleransi dan masih menikmati berkah serta rahmat kerukunan. Ada toleransi dari Sabang sampai Merauke. Tetapi di sana juga tidak sedikit saudara-saudara kita yang harus dicekam ketidaktenangan dalam beragama dan beribadah.

Intoleransi membayangi langkah mereka saat berjalan menuju kelenteng. Kecemasan menyeruak di pikiran kalau-kalau gereja mereka tiba-tiba didatangi massa yang meminta ibadah mereka dihentikan dengan alasan menganggu “ketenangan”. Itu belum seberapa karena ada tindakan yang lebih menyedihkan lagi, yakni gereja ditutup karena dianggap tidak berizin atau berdiri di tengah pemukiman mayoritas muslim.

Menyaksikan realitas seperti demikian, pantas jika kita memandang masa depan toleransi Indonesia dengan penuh kekhawatiran.

Harapan sempat melambung bahwa pemerintah akan tampil berani menghadapi kelompok-kelompok intoleran. Ada keyakinan bahwa pemimpin kita akan lebih peduli pada hak-hak minoritas yang berulang kali dilanggar.

Sayangnya semakin hari justru yang tampak adalah sebaliknya. Dihadapkan pada aksi-aksi intoleran serta menghadapi perilaku pincang kelompok-kelompok tertentu, sang pemimpin pun berhitung. Awalnya seperti berhati-hati atau menimbang agar tidak terjadi amarah yang lebih besar. Supaya tidak terus terjadi aliran aksi demo berjilid-jilid yang memadati jalanan dan tugu besar di ibukota. Lalu mulai berkompromi sambil berharap kelompok-kelompok itu bisa direbut hatinya atau paling tidak mereka bisa menjadi lebih toleran.

Kenyataannya virus intoleransi tidak gampang diobati dan dibuat insaf. Upaya kompromi yang dilakukan oleh sang pemimpin malah membuatnya terjatuh makin dalam pada langkah-langkah berikutnya yang mengkhawatirkan. Pemerintah, pemimpin beserta aparatnya, menjadi “gagu" di hadapan aksi intoleransi. 

Di negara yang menjadikan Ketuhanan dan kebebasan beragama sebagai bagian tak terpisahkan dari dasar negara, intoleransi sekecil apapun semestinya tak boleh dibiarkan. 

Pilihan berkompromi terhadap kelompok intoleran, ditambah lemahnya komitmen pemerintah untuk menindak aksi-aksi intoleransi yang selama ini muncul, akhirnya menjadi pembenaran bagi kelompok-kelompok lain di daerah untuk melakukan hal serupa. Di daerah benih-benih intoleransi menemukan jalannya untuk berkecambah, lalu tumbuh menjadi benalu di tengah kehidupan masyarakat.

Nisan salib yang dipotong warga di Kotagede, Yogyakarta (sumber: jatimnet).
Pemilu 2019 sebenarnya menjadi momentum untuk menegaskan lagi komitmen pada toleransi, kebebasan beragama, dan keamanan di tengah keberagaman. Namun, sepertinya sang pemimpin atau calon pemimpin kita memang kurang peduli terhadap tanda-tanda ancaman segegrasi yang semakin terlihat jelas. 

Sekalipun imbauan untuk bersatu sudah tak terhitung lagi berapa banyak diucapkan dan kata toleransi berulang kali didengungkan, tapi apalah artinya jika yang sebenarnya terjadi adalah kegaguan. 

Kita telah beberapa kali diperlihatkan bahwa satu bentuk intoleransi kecil sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan ketidaknyamanan bersama. Oleh karenanya membiarkan benih-benih intoleransi bertumbuh dan berkembang sama saja memulai jalan menuju kehancuran. 

Jadi, sampai kapan praktik-praktik intoleransi akan terus dibiarkan? Sampai berapa lama pula kita bersikap masa bodoh? Atau jangan-jangan kegaguan para pemimpin kita telah menulari banyak rakyatnya. Kita menjadi toleran terhadap intoleransi.
_____
Baca juga: Belajar Toleran dari Kaloran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk