Di sebuah gerai makan, sambil menyantap
hidangan saya diam-diam menyimpan senyum sambil nguping perbincangan yang
berlangsung di meja sebelah. Seorang Ibu dengan setengah kesal beberapa kali
menegur sang anak untuk segera makan. Tapi sang anak laki-laki itu tampak cuek
dan asyik sendiri dengan sepasang earphone
menancap di kedua telinganya. Akhirnya saya tahu apa yang sedang didengar oleh
sang anak. Saya tersenyum lagi.
“mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa..”
Satu dari sekian banyak warna dan inspirasi
yang hilang dan dirindukan dari panggung musik Indonesia adalah hadirnya
penyanyi-penyanyi cilik yang melagukan kehidupan dan keceriaan anak-anak.
Hilangnya lagu anak-anak dari ruang dengar kita selaras dengan langkanya
tontonan dan bacaan khusus anak yang benar-benar menyuarakan keceriaan masa
kecil. Bukan tidak ada sama sekali, tapi panggung untuk anak-anak memang telah
lama tutup baik di media cetak maupun televisi. Yang ada hanya acara yang diisi
oleh anak-anak tapi suaranya bukanlah suara keceriaan mereka sendiri. Bicara
mereka bukanlah ekspresi kehidupan dunia anak melainkan sebuah pesanan yang
meminjam suara dan jasad mereka sebagai anak-anak. Benar, sekalinya muncul
artis cilik yang ngetop, panggung bergerak cepat menggapainya sebagai "komoditas".
Atas nama apresiasi, secara samar mereka dieksploitasi.
Ketika beberapa waktu lalu membaca berita
Coboy Junior akan melakukan konser di dalam pesawat terbang yang melaju di
udara, saya terkesan dengan hal itu. Sebuah hal baru sekaligus aksi fantastis
dari sebuah grup cilik yang tampak sudah dewasa ini. Menyanyi secara langsung
dengan menggunakan kabin pesawat yang bergerak di langit sebagai panggung
adalah sebuah prestasi bagi siapapun yang melakukannya. Dan ketika pelakunya adalah
anak-anak maka sensasinya dipastikan menjadi berlipat-lipat ganda.
Namun saat membaca dan mengetahui itu hanya
pertunjukkan pembuka untuk sebuah tur panjang 30 kota Coboy Junior, bahkan ada
kemungkinan lebih dari itu jika permintaan bertambah, seketika saya mulai
merasa penghargaan terhadap prestasi boyband cilik ini telah bergerak maju melebihi
apa yang selama ini kita nilai sebagai “apresiasi”. Semoga anggapan saya ini keliru.
Tapi mereka rencananya akan dibawa berkeliling Indonesia,
mulai dari Purwokerto hingga Ambon. Rencananya konser akan diusahakan untuk
digelar pada setiap akhir pekan. Jumlah 30 kota yang telah diumumkan bisa bertambah
jika permintaan panggung di kota lain mengamini.
Sebagai sebuah bentuk kreativitas, prestasi
dan capaian Coboy Junior memang membanggakan dan boleh dijadikan rujukan untuk
memacu prestasi anak-anak seusianya. Tapi sayang sekali, panggung hiburan
Indonesia yang makin komersil ini seringkali tak berangkat dari pandangan itu
dalam mengolah artis-artis sebagai “komoditas panggung”. Beberapa pelaku di
balik megahnya panggung konser dan hiburan Indonesia seringkali tak tulus dan
inkonsisten dalam menyajikan panggungnya. Atas nama apresiasi, mudah untuk
menangkap kecenderungan “aji mumpung” di kalangan kreator panggung entah itu
produser, label rekaman, rumah produksi, promotor hingga sponsor. Tentu tidak
semuanya demikian, tapi kondisi panggung hiburan Indonesia saat ini telah
menunjukkan jika kata “apresiasi” kerap digunakan untuk menyamarkan proses yang
sebenarnya sedang terjadi yakni “eksploitasi”.
Eksploitasi memang tidak hanya terjadi pada
panggung hiburan anak-anak saja, hampir semua jenis panggung tak lepas dari
sentuhan motif itu. Tapi fenomena Coboy Junior dan beberapa pesohor cilik
lainnya rasanya lebih mengundang
perasaan miris ketimbang eksploitasi yang terjadi pada aktor-aktor
panggung hiburan lainnya.
Memang banyak yang mengidolai mereka dan
dibuat terkesan serta histeris dengan kebintangan para superstar cilik itu.
Tapi status mereka sebagai anak-anak menjadi salah satu alasan mengapa banyak
orang akhirnya kerap geleng-geleng kepala setiap melihat aksi mereka di atas
panggung atau layar TV.
Sebuah ironi di saat masyarakat merindukan
suara-suara anak di panggung hiburan yang menembangkan kehidupan dan keceriaan
khas anak kecil, tapi di saat yang sama kemunculan Coboy Junior dan teman-teman
justru menampilkan suara-suara titipan dari sebuah panggung yang komersil.
Produser atau kreator mungkin berdalih anak jaman sekarang tak bisa disamakan
lagi dengan anak jaman dulu. Pemikiran anak masa kini telah berkembang jauh
dibanding pencapaian dari anak seusianya di masa dulu. Anak-anak juga bisa
merasakan cinta pada lawan jenisnya. Hal itu memang benar. Tapi mengolah mereka
dalam bentuk dan kemasan yang melewati ruang kehidupan nalar alami anak-anak
jelas sangat disayangkan. Rasa cinta yang dialami dan dirasakan oleh anak-anak
tak seharusnya diarahkan untuk diekspresikan dalam sebuah lirik bersuara dewasa
karena sebenarnya bukan seperti itu wajah cinta yang ditangkap oleh alam
kehidupan anak-anak. Meski merasakan cinta, ruh mereka sebagai anak kecil
tidaklah mengolah rasa cinta sebagai bentuk agresivitas meminta nomor telepon,
memantau timeline dan seterusnya. Tapi mau dikatakan apalagi, panggung ini
memang komersil, semua perlu diolah bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dan harapan
masyarakat tapi untuk membentuk selera penggemar. Akhirnya ruang dengar
anak-anak pun mengalami “polusi”. Sayangnya polusi itu dianggap sebagai sebuah
loncatan aktualisasi kehidupan anak-anak masa kini.
Di sisi yang bersebelahan, beberapa kreator panggung seperti bersimbiosis dengan keadaan di atas. Mereka boleh
mengusung banyak motivasi mulai dari alasan cinta musik Indonesia hingga
memberi ruang apresiasi kepada karya anak negeri. Tapi rasanya tidak mungkin
untuk tidak memasukkan alasan ekonomi dan meraup keuntungan dari setiap
panggung yang mereka dirikan. Sekali dua kali panggung itu sukses digelar, maka
panggung-panggung selanjutnya boleh jadi mulai mengalami disorientasi. Bukan
lagi semata demi memuaskan penggemar dan mengapresiasi sang penghibur, tapi
mulai mengeksploitasi sang superstar. Akhirnya kerap kita jumpai inkonsistensi
pada beberapa panggung musik di Indonesia. Di suatu waktu mereka mengusung
jargon memuliakan musik Indonesia yang berkualitas, tapi ketika boyband dan
girlband hadir dan menjadi demam di tengah masyarakat, panggung itu berubah
haluan, mereka ikut-ikutan memforsir panggung dengan para penari latar. Sampai
titik ini akhirnya kita bisa menilai bahwa dari banyak alasan yang diusung oleh
beberapa kreator panggung, idealisme itu tidak pernah benar-benar ada, yang ada
hanya kejelian melihat peluang dan mengemasnya sebagai wujud apresiasi terhadap
pelaku seni, meski diam-diam yang dilakukan adalah eksploitasi.
Seperti bunga Anggrek yang dikenai kejutan untuk dirangsang cepat berbunga memang mampu membentuk bunga yang indah, tapi secara fisiologis dan itu seringkali tak tampak oleh yang memeliharanya, di dalam tubuhnya, sel dan jaringannya mengalami gangguan yang hebat karena sejatinya ia tak ingin dulu berbunga.
Seperti bunga Anggrek yang dikenai kejutan untuk dirangsang cepat berbunga memang mampu membentuk bunga yang indah, tapi secara fisiologis dan itu seringkali tak tampak oleh yang memeliharanya, di dalam tubuhnya, sel dan jaringannya mengalami gangguan yang hebat karena sejatinya ia tak ingin dulu berbunga.
Semoga keinginan untuk menghadirkan ruang apresiasi
dan penghargaan kepada artis-artis cilik itu tak justru berbalik menelan
kehidupan yang seharusnya mereka jalani. Mereka mungkin selalu senang dan
tersenyum di setiap panggungnya. Mereka juga tertawa bahagia menyambut ekspresi
penggemar yang meneriakkan nama mereka. Merekapun mungkin berbinar ketika
diajak keliling Indonesia untuk “bekerja” di 30 kota. Tapi seperti bayi yang
menangis tak selalu pertanda mereka lapar dan ingin minum susu, melainkan hanya
ingin mencari perhatian dan mendapat rasa aman. Demikian juga para superstar
cilik itu. Setiap anggukan dan tawa mereka boleh jadi bukan suara yang
sebenarnya mereka simpan di alam bawah sadarnya. Mereka tertawa tapi apakah ruang
kehidupan alami mereka sebagai anak-anak juga “tertawa” ?. Semoga mereka sedang
tak menangis. Semoga mereka benar-benar mendapat apresiasi dari prestasinya,
bukan eksploitasi dari kebintangannya.
Komentar
Posting Komentar