Namanya cantik, Elaeis guineensis. Secara taksonomi tumbuhan ini termasuk ke dalam
kelas Liliopsida (dulu disebut Monokotil), bangsa Arecales, suku Arecaceae dan
marganya tentu saja Elaeis. Terdengar asing di telinga tapi jika menyebutnya
sebagai Kelapa Sawit, semua orang pasti tahu. Inilah tumbuhan penghasil minyak
berkualitas berharga tinggi di dunia yang kini menguasai sebagian daratan
Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit memang menjadi sub
sektor perkebunan andalan Indonesia. Lebih dari 7 miliar USD disumbangkan sub
sektor ini ke dalam pundi-pundi devisa negara. Indonesia pun menjadi pemimpin di antara negara
produsen minyak kelapa sawit. Bersama Malaysia, negara kita menguasai tak
kurang 80% dari total produksi minyak kelapa sawit mentah dunia.
Areal perkebunan kelapa sawit pun berkuasa di
bumi Indonesia. Sejak diperkenalkan pertama kali tahun 1911, sub
sektor ini mulai menggeliat pada tahun 1970. Namun perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1980. Dari luas lahan
290.000 hektar di tahun 1980, areal kelapa sawit tumbuh cepat secara luar biasa
menjadi 6,32 juta hektar pada tahun 2007. Ironisnya sebagian besar lahan
perkebunan kelapa sawit itu adalah milik perusahaan besar swasta dan hanya
belasan persen yang menjadi bagian dari perusahaan besar negara.
Tapi Indonesia selalu membanggakan produksi
kelapa sawitnya yang 9 kali lipat lebih besar dari negara lain. Tanpa disadari
kebanggaan itu membuat kita menjadi tak malu dengan dosa besar merusak jutaan
hektar hutan tiap tahunnya. Indonesia mencatat rekor sebagai negara dengan laju
deforestasi terbesar di dunia dengan laju kerusakan menyentuh angka 2 juta
hektar per tahun. Memang laju tersebut telah berkurang, salah satunya
diklaim berkat keberhasilan kebijakan pemerintah dan langkah moratorium hutan. Namun
benarkah demikian ?. Jangan-jangan laju deforestasi menurun karena jumlah hutan
Indonesia memang terus berkurang
Tak terhitung lagi luas hutan Indonesia yang
dihabisi untuk diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Alasan dan klaim
kesejahteraan ekonomi yang melatarbelakangi membuat negara menjadi tampak bodoh
dengan mempersilakan hutannya diratakan demi kelapa sawit. Akhirnya hijaunya
Sumatera kini berganti dengan “gersangnya” lahan monokultur kelapa sawit.
Kalimantan yang menjadi tabungan paru-paru dunia Indonesia pun mulai diagresi
oleh perkebunan kelapa sawit. Tanah Sulawesi dan Papua yang merupakan pecahan
surga dunia pun tak lepas dari incaran perluasan lahan kelapa sawit.
Perluasan lahan kelapa sawit telah menggiring
alam negeri ini kepada kehilangan yang tak pernah bisa digantikan dengan apapun
hingga kemudian dikembangkan propaganda tak lucu jika perkebunan kelapa sawit
tak beda dengan hutan lainnya, bahwa kelapa sawit adalah bagian dari
pengembangan hutan berkelanjutan.
Perkebunan
Kelapa Sawit BUKAN Hutan
Ketika Menteri Kehutanan mengeluarkan
peraturan menteri bernomor 62 tahun 2011, seketika itu banyak orang, para
pemerhati hutan dan lingkungan terkejut sekaligus marah besar. Peraturan
tersebut meligitimasi kelapa sawit sebagai bagian dari pengembangan hutan
tanaman. Bangsa ini dianggap sedang menggali kubur untuk hutannya sendiri. Meski
akhirnya peraturan menteri tersebut hanya berumur pendek dan dicabut,
propaganda pembangunan opini kelapa sawit sebagai bagian dari hutan terus
berkembang hingga kini. Padahal kenyataannya ?.
Hutan dan perkebunan kelapa sawit bagai surga dan neraka dalam ekosistem. Hutan hijau yang menjadi paru-paru dunia adalah sumber dan penopang keseimbangan kehidupan di dunia. Sementara perkebunan kelapa sawit ?. Benar memang sektor kelapa sawit telah menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan nasional. Tapi terlalu menyakitkan seandainya kita mau membuka mata lebih lebar untuk apa yang telah terjadi akibat hegemoni kelapa sawit.
Laporan PBB tak bisa lagi membuat kita
mengelak bahwa perkebunan kelapa sawit adalah aktor besar di balik kerusakan
hutan yang terjadi secara masif di Indonesia. Karena Sawit, Hutan Indonesia bertambah sakit. Laporan-laporan lain yang
menyusul pun menunjukkan bahwa “pemerkosaan” ekosistem yang dilakukan oleh
perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya banyak hutan dan degradasi
lahan yang begitu luas. Hampir semua aspek pendukung kesuburan dan
produktivitas tanah mengalami degradasi akibat perluasan lahan kelapa sawit. Siklus ekologi yang berlangsung secara seimbang dan alamiah di hutan tidak terjadi di perkebunan kelapa sawit.
Berbagai penelitian telah dipresentasikan dan
dipublikasikan di banyak jurnal ilmiah internasional tak ada yang mengingkari bahwa
aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pengolahan hasil produksinya telah
meninggalkan jejak menyakitkan bagi ekosistem dan hutan. Indikatornya banyak
dan tak bisa ditutupi. Tanah-tanah pada perkebunan kelapa sawit dan lahan
sekitar yang tercemar oleh aktivitas pengolahan minyaknya mengalami penurunan
densitas Azotobacter, kelompok mikroorganisme indikator kesuburan tanah, yang
diikuti penurunan nilai fiksasi Nitrogen dalam tanah. Aktivitas organisme aerob
seperti cacing tanah juga menurun secara nyata di lahan-lahan tersebut. Hal-hal
itu cukup menjelaskan bagaimana aktivitas perkebunan kelapa sawit telah menurunkan
kesuburan tanah di sekitarnya dan secara lebih luas berdampak pada keseimbangan
Nitrogen di dalam ekosistem.
Tanah-tanah yang tercemar limbah aktivitas
pengolahan produksi kelapa sawit juga mengalami kerusakan struktur yang
menyebabkan menurunnya daya ikat terhadap air. Keseimbangan pH tanah bergeser
menjadi lebih basa menyebabkan keseimbangan pertukaran ion dan nutrien di dalam
tanah terganggu. Di sisi lain perluasan lahan kelapa sawit telah menjalar pada
turunnya kualitas perairan di sekitarnya seperti sungai dan danau. Sebagai
tanaman yang “boros air”, perkebunan kelapa sawit mutlak membutuhkan rekayasa
drainase untuk memenuhi kebutuhan air yang besar. Jika faktor evapotranspirasi
dari tubuh kelapa sawit juga dipertimbangkan, hal-hal ini secara nyata
menjelaskan mengapa lahan perkebunan kelapa sawit menyebabkan hilangnya banyak air
dan nutrient dari dalam tanah.
Konversi hutan untuk lahan perkebunan kelapa
sawit dan pengolahan produknya membuat Indonesia dan banyak negara senasib
terutama di Amerika Selatan mengalami kehilangan biodiversitas yang sangat
besar. Hal ini semakin menyedihkan jika memikirkan cara “sadis” seperti
pembakaran hutan, pengusiran penduduk dan pembantaian satwa yang kerap
dilakukan dalam pembukaan lahan perkebunan sawit.
Hilangnya biodiversitas akibat perkebunan kelapa sawit juga didorong sifat monokultur perkebunan kelapa sawit. Mikrohabitat dan mikroiklim yang dibentuk dari perkebunan monokultur sawit tidak memberikan daya dukung yang memadai bagi berkembangnya biodiversitas.
Hilangnya biodiversitas akibat perkebunan kelapa sawit juga didorong sifat monokultur perkebunan kelapa sawit. Mikrohabitat dan mikroiklim yang dibentuk dari perkebunan monokultur sawit tidak memberikan daya dukung yang memadai bagi berkembangnya biodiversitas.
“menganggap kelapa sawit sebagai tanaman hutan
dan mengklaim perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari hutan yang
berkelanjutan sangat menggelikan sekaligus menyakitkan. Bukan hanya mengkerdilkan
nalar pemikiran ilmiah dan merendahkan dampak negatif terhadap kelestarian
ekosistem dan keseimbangan alam, tapi juga membahayakan kelangsungan hidup
manusia”.
Akhirilah
atau Hutan dan Tanah ini yang Akan Berakhir
Bagi sekelompok orang “suburnya” lahan kelapa
sawit memang indah. Tapi bagi hutan dan masa depan ekosistem dunia termasuk
manusia sungguhlah parah. Laporan-laporan
ilmiah dan pemandangan nyata di dataran Sumatera, Kalimantan serta beberapa
negara di Afrika dan Amerika Selatan bisa mengantar kita untuk merenungkan
bagaimana masa depan jika hutan digantikan oleh perkebunan kelapa sawit.
Perluasan lahan kelapa sawit dan aktivitas
pengolahan hasilnya telah melahirkan ancaman mengerikan terhadap hutan dan
segala yang ada di dalamnyya termasuk manusia. Aktivitas-aktivitas dari perkebunan kelapa sawit tidak hanya melenyapkan
biodiversitas, menghilangkan air dari tanah, menurunkan produktivitas dan kesuburan
tanah, meningkatkan gas rumah kaca, membuat bumi kehilangan paru-parunya tapi
juga telah menimbulkan banyak konflik sosial masyarakat dan pelanggaran HAM
yang menyakitkan.
29 Maret 2013.
Komentar
Posting Komentar