“Satu Jam ini Tidaklah Akan Menghapus Dosa
Keborosan yang Selama Ini Kita Lakukan. Tapi Satu Jam Saja Bisa Menjadi Awal
Untuk Memperbaiki Diri dan Bumi”
Mengusung slogan “Ini Aksiku!, Mana Aksimu?”, puncak kampanye Earth Hour 2013 dilakukan
secara serentak pada 23 Maret 2013 di sejumlah kota dan tempat di Indonesia.
Ratusan orang yang hilir mudik menikmati
malam minggu di landmark kota Jogja berkumpul bersama untuk ikut menyuarakan
salah satu hari kasih sayang untuk bumi ini. Namun demikian gaung Earth Hour 2013 di Yogyakarta kali ini sepertinya
kurang menggema. Bukan tanpa partisipasi, tapi pemilihan tempat Titik Nol
Kilometer kurang mewakili simbol dari puncak kampanye ini. Meski mewakili pusat
kehidupan masyarakat Yogyakarta, namun sampai saat switch off ceremony tiba pada pukul 20.30 WIB tempat ini nyaris tak
berubah. Lampu-lampu jalan dan sejumlah gedung tetap berpendar. Di sepanjang
Jalan Malioboro pun demikian, hanya sejumlah gedung atau toko yang sudah tutup
yang lampunya tak lagi bercahaya. Praktis hanya gedung BNI dan Istana Negara
Yogyakarta yang bisa mewakili switch off
ceremony ini. Kedua gedung yang sebelumnya berpendar berhiaskan lampu
yang menyorot indah bangunannya menjadi pucat saat sejumlah lampunya dimatikan.
Sebagai bagian dari kampanye WWF yang mulai
digalakkan pada tahun 2007, Earth Hour boleh dianggap sebagai inisiatif terkini
dari sebuah ajakan global untuk mendinginkan bumi melalui sebuah aksi sederhana yang masif.
Aksi kecil untuk perubahan besar, begitulah suara
Earth Hour. Bukan mengacu pada capaian penghematan listrik puluhan atau ratusan
megawaat yang bisa didapat dari 60 menit kampanye ini. Pemadaman alat listrik dan lampu secara serempak hanyalah simbol dari
suara utama kampanye EH, seperti halnya kampanye gerakan konservasi lainnya.
Meski kerap dipandang secara apatis, bahkan kadang dilabeli gerakan omong
kosong, kampanye EH tak bisa dianggap bukan tanpa manfaat. Aksi Earth Hour
setidaknya menggugah kesadaran manusia yang terlalu angkuh dan egois
menempatkan dirinya sebagai penguasa bumi.
Aktivitas manusia dan konsumsi energi listrik
selama ini telah membuat jutaan ton gas rumah kaca bertambah setiap tahunnya
mengurung bumi. Di Indonesia sendiri semua sektor kehidupan masyarakatnya tak
luput dari konsumsi listrik yang semakin tinggi dan semakin sulit dikendalikan.
Konsumsi listrik rumah tangga masyarakat Indonesia bahkan bersaing ketat dengan
angka konsumsi listrik industri.
Di
Yogyakarta seperti halnya kota-kota besar lainnya, acara pemadaman lampu di
sejumlah gedung dan tempat utama di pusat kota sebenarnya adalah simbol untuk
pesan utama kepada masyarakat yang selama ini menutup mata pada konsumsi
listrik di rumahnya. Namun demikian terangnya lampu Malioboro malam kemarin
selama acara switch off ceremony mau
tak mau juga harus dipandang sebagai simbol dari gaya hidup sebagian masyarakat
saat ini yang semakin lupa untuk peduli kepada bumi dan masa depannya
kehidupannya sendiri.
Apapun bentuk dan caranya, gaya hidup ramah
lingkungan adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya mendesak untuk dimiliki
oleh setiap manusia. Sebaliknya switch
off ceremony dan kampanye Earth Hour tidak akan pernah bisa menyelamatkan
bumi jika hanya dilakukan sebagai sebuah acara dengan bicara dan simbolisasi
semata. Aksi nyata dalam keseharian, sekecil apapun yang bisa menyejukkan bumi,
itulah yang diharapkan dari Earth Hour.
Dari
titik Nol Kilometer Yogyakarta, kita dibawa melihat realita bumi dan kehidupan
masyarakatnya saat ini. Seperti dua arus yang berlari sama-sama cepat dan
saling berburu waktu, terangnya lampu dan jalan sementara di sisi lain sejumlah
manusia menyatakan tekad perubahan demi bumi yang lebih sejuk menunjukkan bahwa
manusia sendiri yang menjadi ancaman dan hambatan utama bagi kelangsungan bumi
dan kehidupannya.
fokusnya yang berbaju hitam.. |
Ehm..Fokus.. |
(salah) fokus.... |
Sebagai sebuah ajakan dan gerakan kesadaran,
Earth Hour berusaha membuka mata. Dari Yogyakarta semoga ini tidak hanya menjadi ceremony atau euforia kampanye semata. Bukan
berarti setelah menghemat listrik selama satu jam pada pukul 20.30 sampai 21.30
selanjutnya kita bisa puas menonton film sampai pagi atau bermain game hingga
dini hari. Seperti makna simbol Earth Hour 60+, sense dan kesadaran kita
setelah perayaan berakhir, itulah yang akan menentukan masa depan bumi dan menjadi jawaban
bagi kehidupan manusia mendatang.
manakah yang akan lebih dulu sampai, kesadaran manusia atau gelapnya masa depan dunia ?? |
Komentar
Posting Komentar