Ruang pembicaraan media termasuk media sosial
akhir-akhir ini riuh dengan berita seputar LSM. Demikian juga dengan obrolan
dan perbincangan masyarakat ikut menyumbang pendapatnya tentang LSM.
Pemantiknya banyak tapi dua yang paling hangat adalah publikasi ICW mengenai
sejumlah nama caleg yang diragukan integritasnya. Dan yang terbaru adalah
“temuan” FITRA perihal dana blusukan Gubernur DKI, Joko Widodo yang jumlahnya
lebih dari 25 Milyar.
Yang menarik sekaligus agak mengejutkan
adalah kali ini aksi para pegiat LSM justru kerap mendapat feedback negatif
dari masyarakat. Jika publikasi ICW mendapat serangan balik dari sejumlah nama
politisi yang gerah. Maka publikasi FITRA justru mendatangkan caci dari
beberapa kalangan masyarakat DKI. Padahal FITRA menganggap publikasi tersebut
justru membantu masyarakat untuk mendorong dan mengawasi transparansi Pemda
DKI.
Hal ini tentu menjadi sebuah anomali karena
biasanya aksi LSM selalu mendapat dukungan dan bahan bakar tambahan dari
masyarakat. Tapi kali ini, contohnya dari kasus FITRA, LSM justru dihajar balik
oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat DKI.
Anomali itu pun membuat banyak orang sibuk
bertanya : “Bagaimana dan seperti apa sebenarnya LSM-LSM tersebut bekerja?”.
Pertanyaan lebih menohok bahkan muncul :”Apa yang dicari LSM dari beberapa
publikasinya yang kontroversial tersebut?”. Beberapa pertanyaan tersebut
akhirnya meringkas sejumlah kelemahan dan kritik untuk LSM atau Organisasi Non
Pemerintah (Ornop) ini.
Lemah Argumentasi
dan Kurang Analitik
Kita memang tidak bisa menyamaratakan kapabilitas
para aktivis LSM. Banyak para pegiat LSM, seperti mereka yang bergerak di
bidang lingkungan hidup atau pendidikan memiliki kapasitas pengetahuan dan
akademik yang baik. Tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa banyak pegiat
LSM yang mungkin belum matang. Hal ini bisa dibaca dari beberapa argumen atau
analisis masalah yang dilontarkan sering sekali hanya berupa pengulangan dan
terkesan emosional. Idealisme mereka memang pantas untuk diacungi jempol, tapi
sayang beberapa pegiat LSM tak membekali dirinya dengan kemampuan
berargumentasi dan menganalisis masalah secara kreatif dan mendalam.
Sampai saat ini saya menganggap beberapa LSM
seperti ICW yang getol menyoroti kasus korupsi, masih diperlukan untuk mengawal
dan membuka mata masyarakat betapa korupsi sudah menjadi gurita di Indonesia
sekaligus menunjukkan bahwa separuh negara ini mungkin telah disandera oleh
koruptor. Tapi saya juga kerap kecewa dengan argumen-argumen atau analisis yang
mereka lontarkan ketika berdiskusi dengan sejumlah pihak. Beberapa kali dalam
diskusi televisi mereka justru dipukul balik dan kehabisan kata kemudian
tertunduk. Beberapa kali juga
menunjukkan ketidaktelitian mereka terhadap isi undang-undang dan sebagainya.
Beberapa waktu lalu sebuah program TV
menyelenggarakan diskusi antara peneliti muda ICW dengan politisi terkait
tuduhan pencemaran nama baik setelah ICW mempublikasikan sejumlah nama caleg
yang diragukan integritasnya. Saat itu sang peneliti ICW dianggap
menyamaratakan kasus koruspi yang menimpa para anggota DPR tanpa bisa
memberikan argumentasi dan data yang diminta kecuali mereka berpedoman pada
sejumlah pemberitaan TV dan segelintir gunjingan media yang belum terbukti
kebenarannya. Argumentasi yang sama dan diulang-ulang serta kurangnya kedalaman analisis membuat
peneliti muda tersebut justru dihantam balik oleh sang politisi. Mimik muka dan
gesture tubuhnya yang berputar-putar di atas kursi menunjukkan jika sang
peneliti muda ICW tersebut “kalah”.
Sayang sekali niat baik dan semangat melawan
korupsi kurang diimbangi dengan dasar pemikiran dan analisis yang kuat.
Akhirnya mereka terlalu rapuh jika mendapat serangan balik.
Yang terbaru dan mungkin bisa menjadi kritik
terkini kepada LSM adalah pernyataan FITRA yang merujuk pemimpin Jakarta, yakini
Jokowi dan Ahok yang dipersepsikan menghambur-hamburkan 26,6 milyar per tahun hanya
untuk blusukan. Dari beberapa pemberitaan yang menyusul kemudian, juga
tanggapan dari sejumlah pihak menunjukkan bahwa FITRA cenderung emosional, tidak
teliti dan gagal memahami makna dana operasional tersebut. Anggapan bahwa
Jokowi-Ahok lebih boros dari pemimpin Jakarta sebelumnya dengan mudah
ditanggapi sebagai argumentasi yang mentah, beberapa bahkan menyebut
menyesatkan. FITRA dianggap mengada-ada karena besarnya dana operasional tersebut
adalah hal yang wajar sebagai hasil dari naiknya pendapatan asli daerah DKI
Jakarta. Kesan bahwa dana operasional adalah dana blusukan juga mudah ditepis
karena dana tersebut juga ada di masa-masa terdahulu. Hal tersebut kemudian
dilengkapi dengan penjelasan Jokowi dan Ahok jika dana operasional digunakan
bukan untuk ongkos jalan blusukan Gubernur atau Wakil Gubernur melainkan
sebagai dana taktis untuk beberapa masalah lapangan yang memerlukan penanganan
segera.
Lepas dari persepsi dana operasional versi
FITRA dan penjelasan dari Jokow-Ahok, hal ini menunjukkan bahwa LSM memang
kerap terlalu bersemangat dan ingin terus bersikap kritis tanpa mempersiapkan
banyak hal termasuk kajian yang mendalam. Inilah yang membuat mereka seringkali
tidak siap untuk beragumentasi dan akhirnya mengulang-ngulang argumentasi yang
sudah ada bahkan dianggap mengada-ada. Tanpa analisis mendalam
sangkaan-sangkaan mereka sering sangat mudah dipatahkan padahal bisa jadi
inisiatif mereka adalah hal yang benar.
Pada
akhirnya kemampuan akademik atau setidaknya kecerdasan menganalisis dan
meneliti sebuah masalah secara mendalam menjadi sangat penting untuk dimiliki
pada pegiat LSM. Tanpa kemampuan yang memadai, niat baik mereka menjadi
mata-mata dari masyarakat untuk mengawal kebijakan akan semakin berat.
Standar
Ganda dan Konflik Kepentingan
Beberapa tahun lalu ketika Yogyakarta
dihantam gempa bumi hebat, kami sempat terlibat dalam beberapa kegiatan
pemulihan dan pendampingan korban bencana. Ketika itu kami mendapat rekomendasi
untuk bekerja sama dengan sebuah LSM. Tapi dalam perjalanannya kami memutuskan
untuk berjalan sendiri dan meninggalkan kemitraan dengan LSM tersebut. Cerita
singkatnya respon dari LSM tersebut sangat lambat bahkan dalam beberapa hal
membuat program kerja kami menjadi mandeg. Dugaan yang sempat muncul di benak
beberapa teman terkait malasnya LSM tersebut bergerak adalah karena tak
tersedia banyak dana dari program tersebut. Sementara dana yang ada kami kelola sendiri.
Ada sebuah pendapat menarik dalam tulisan
Abdul Fickar Hadjar berjudul “Pertumbuhan LSM, Demonstrasi dan Demokrasi Era
Reformasi”. Ia memberikan sebutan “LSM Siluman”, “LSM Plat Merah” atau “LSM
Jadi-Jadian” untuk banyak LSM yang muncul pada periode 1990-an dan setelahnya.
Banyak LSM-LSM yang lahir pada periode tersebut hingga periode reformasi
memiliki karakter politik yang lebih kuat dan banyak bergerak di bidang
advokasi. Karakter LSM periode reformasi berbeda dengan karakter “LSM
tradisional” yang biasanya bergerak di bidang amal, sosial, penanganan bencana
dan pemberdayaan masyarakat.
Hal positifnya adalah LSM-LSM advokasi ini
lebih militan dalam menelanjangi dugaan-dugaan penyimpangan anggaran dan
bobroknya birokrasi pemerintahan pusat dan daerah. LSM-LSM tersebut juga sangat
kritis terhadap kejahatan korupsi yang menjalar di lingungan wakil rakyat atau
kementrian. Tapi sayang di saat gencar
menyuarakan tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan, beberapa LSM
justru gagap menjalankan good governance
di dalam tubuh mereka sendiri. Beberapa LSM tampak tertutup dalam hal
pembiayaan mereka. Argumen independensi seolah cukup untuk sekedar memberi
penjelasan bahwa dana mereka bukan dari pemerintah tanpa merincinya lagi. Inilah
yang membuat LSM kerap dianggap memiliki standar ganda dan mudah diserang balik
oleh orang-orang yang selama ini gerah dengan sikap kritis LSM.
Standar ganda yang disangkakan kepada
sejumlah LSM juga tak lepas dari hubungan mereka dengan sejumlah donatur di
balik aktivitasnya. Sebutan “LSM
Siluman”, “LSM Jadi-Jadian” atau “LSM Plat Merah” bukan tanpa alasan. Banyak LSM diduga dibentuk hanya untuk
menampung dana-dana proyek baik dari donatur luar negeri maupun dalam negeri.
LSM tipe ini biasanya akan sepi kegiatan dan tidak terdengar namanya jika dana
proyek sudah habis. Sejumlah LSM juga
terindikasi dibentuk dan dipelihara oleh pejabat negara untuk tujuan pragmatis.
Bagi LSM yang cukup profesional dan diisi
oleh orang-orang berintegritas tinggi, hadirnya donatur mungkin tidak akan
mampu “memanipulasi” arah gerakan mereka. Tapi bagi LSM “Plat Merah” hampir
dipastikan mengalami konflik kepentingan yang ditunjukkan antara lain dengan
sikap kritis yang pilih-pilih dan kadang kurang obyektif. Sayangnya booming LSM
akhir-akhir ini justru dianggap lebih banyak melahirkan LSM dengan tujuan
pragmatis tersebut yang memanfaatkan celah keuntungan ekonomi dan politik.
Perlu
Kode Etik?
Di beberapa negara seperti Filipina,
Australia dan Kanada, banyak LSM atau NGO membentuk jaringan satu sama lain dan
kemudian menentukan satu kode etik sebagai pedoman perilaku bersama. Bagaimana
dengan di Indonesia?. Banyak LSM di negeri ini memang membentuk jaringan,
aliansi atau forum antar sesama LSM dengan gerakan yang serupa. Tapi itu
dipandang belum cukup. LSM-LSM di
Indonesia perlu memikirkan standar akademis, moral dan etika yang dijalankan
secara bersama-sama.
Lalu siapa yang harus membuat kode etik untuk
LSM di Indonesia?. Tentu mereka sendiri. Kode etik tidak hanya berguna bagi LSM
untuk mengatur dirinya sendiri tapi juga sebagai pegangan dalam berkegiatan di
luar. Dengan kode etik atau norma-norma tersebut mereka bisa memberikan contoh
praktik yang baik sehingga bisa semakin dihargai dan dihormati. Dengan kode
etik LSM tidak hanya bisa mengkritik pihak luar tapi juga sesekali mengkritik
dirinya sendiri.
Berbagai kritik dan serangan balik yang
akhir-akhir ini diterima oleh sejumlah LSM tanah air adalah gambaran bahwa
mereka juga harus berbenah untuk bisa menjadi komunitas yang profesional,
transparan dan tidak bisa “dimanipulasi” oleh donor di belakang mereka.
Semoga LSM-LSM di Indonesia tetap gigih
bersuara sembari mengatur dan memperbaiki diri sendiri agar niat baik mengawal
penyelenggaraan pemerintahan dan melayani masyarakat mendapatkan kepercayaan
dan diakui.
Komentar
Posting Komentar