Langsung ke konten utama

Bukan Perjalanan yang Bernestapa (Tak Mampu Mendua)



Sepanjang jalan lagu ini saya dengarkan lewat earphone yang menggetarkan kedua gendang telinga. Termasuk saat beristirahat sejenak di Taman Bungkul sore itu. Ada harap membuncah lagu ini bisa saya saksikan secara langsung untuk pertama kalinya setelah10 tahun jatuh cinta. Tapi apa daya, keberuntungan belum termiliki. Seperti yang sudah-sudah lagu ini akhirnya hanya saya nyanyikan sendiri dalam hati.
  
Konser berlangsung sangat meriah dan bagi saya seperti jatuh cinta lagi. Setelah tahun 2012 sempat tiga kali menonton  mereka, setelah  itu  saya belum lagi menatap panggung mereka lagi. Oleh karena itu, pertemuan 24 Juni 2014 jelas sangat membekas bagi saya. Meski tanpa Tak Mampu Mendua.

Tiba di Surabaya setengah lima sore lalu beristirahat sejenak di Taman Bungkul,  setengah tujuh malam saya sudah di depan panggung itu. Puas dan senang mendengarkan lagu-lagu kesukaan walau tanpa Tak Mampu Mendua. Rasanya masih sama, cintanya tetap tak berubah. Mereka masih KAHITNA yang dulu. Konser pun usai jam setengah sebelas malam.

Jam setengah dua belas malam saya sudah di terminal Purabaya menunggu bus yang akan mengantarkan saya pulang. Sejam menanti bus masuk terminal dan segera setalah itu perjalanan 8 jam saya mulai lagi. 
Perjalanan pulang dini hari.
  
Kaki yang sudah sangat pegal, mata yang sudah sangat berat dan kepala yang agak pening ternyata gagal membuat saya tertidur. Beberapa jam di awal perjalanan mata saya masih terjaga hingga bisa melihat pemandangan di luar dari kaca depan bus. Saat itu sekitar jam 1 dini hari dan bus sudah meninggalkan Surabaya untuk segera memasuki Mojokerto.
Sesaat memasuki rest area.

Pukul 4 pagi bus berhenti di rest area. Saya memesan semangkuk soto ayam dan teh panas. Tak habis saya memakan sotonya karena bis segera akan berangkat lagi. Tapi perut yang sudah lumayan kenyang akhirnya membuat saya bisa tertidur hingga akhirnya 1 jam kemudian dengan earphone yang masih menancap di telinga, dengan lagu yang masih sama, saya terjaga. Sorot mentari menembus kaca jendela bus menuntun kedua mata untuk terbuka. Hari sudah berganti, tapi hati rasanya belum ingin beranjak pergi, semua masih sama, Tak Mampu Mendua. Semoga suatu saat saya bisa mendengarkan lagu ini dibawakan. Tak tahu kapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk

PERBEDAAN

Sejatinya tulisan ada karena sms seseorang yang masuk ke HP Nokia saya kemarin malam. Sebut saja Indah, nama sebenarnya, usianya yang lebih muda dari saya membuat kami beberapa kali terlibat perbincangan seperti halnya saudara. Beberapa hal ia ceritakan pada saya, yang paling sering soal asmaranya beserta segala macam bumbu seperti perkelahian antar wanita (berkelahi beneran), cinta segitiga dan sebagainya. Saya sering “terhibur”mendengar cerita-cerita itu darinya. Daripada menonton kisah sinetron, kisah Indah ini lebih nyata. Dan semalam dia mengirim sms bahagia. Bahagia dari sudut pandang dirinya karena usai jalinan asmara lamanya kandas dengan meninggalkan banyak kisah sinetron, kini ia mengaku bisa merasai lagi indahnya cinta. Sekali lagi cinta menurut sudut pandang dirinya. Namun rasanya yang ini begitu menggembirakan untuknya. Alasan pastinya hanya ia yang tahu, namun satu yang terbaca dari bunyi smsnya semalam adalah bahagia karena tembok perbedaan yang menjadi batas pem