Langsung ke konten utama

Diari Isoman 1: Diendorse Covid-19

Senin, 26 Juli 2021. Saya bangun dengan merasakan sakit pada tenggorokan. Rasa sakitnya tidak biasa. Bukan seperti orang yang kehausan layaknya orang yang baru bangun tidur.

Oleh karena punya riwayat kontak erat dengan orang positif Corona beberapa hari terakhir saya berpikir mungkin sekarang “tiba giliran saya”.

Memulai isolasi mandiri (dok. pribadi).

Sakit tenggorokan itu sebenarnya sudah hilang menjelang siang. Namun, gejala lain segera menggantikan. Badan mulai meriang. Merasa demam meski suhunya tidak lebih dari 37 derajat. Tungkai, terutama lutut terasa pegal dan tidak nyaman untuk digerakkan. Seperti baru melakukan lari jauh atau bersepeda kencang, tapi tidak berkeringat. Hanya lutut dan kaki serasa kelelahan.

Keyakinan saya pun semakin kuat bahwa virus Corona telah berhasil menjebol pertahanan tubuh.  Peperangan awal antara antibodi vaksin Sinovac dengan virus mungkin sedang dimulai.

Hal pertama yang saya pikirkan ialah melakukan tes secepatnya, entah swab antigen atau swab PCR. Sebagai kontak erat saya sebenarnya bisa mengakses tes Covid-19 secara gratis melalui puskesmas. Siang itu pun saya mendapatkan konfirmasi bahwa saya dipersilakan datang ke puskesmas pada Rabu, 28 Juli 2021 untuk menjalani tes swab antigen.

Mengapa harus menunggu 2 hari? Saya kurang tahu. Barangkali menunggu gejala saya berkembang untuk memastikan bahwa inkubasi virus Corona akan bisa terdeteksi akurat. Atau mungkin karena sumber daya puskesmas yang harus dibagi untuk operasional rutin dengan aktivitas pelacakan Covid-19 sehingga tes antigen baru akan dijadwalkan 2 hari kemudian.

Saya putuskan untuk melakukan tes swab antigen melalui laboratorium swasta. Sebab semakin cepat saya bisa mengetahui status kesehatan, semakin saya bisa menyiapkan diri dan mencegah penularan lebih luas. Lagipula jika harus datang ke puskesmas dan antre bersama pasien umum, saya khawatir akan lengah sehingga bisa menularkan kepada orang-orang di sekitar yang sehat.

Maka saya membuat janji layanan homecare dengan sebuah laboratorium swasta. Biaya layanan homecare tes swab antigen tentu lebih mahal dibanding biaya reguler. Sebab selain biaya tes, saya juga dikenakan biaya kunjungan dan APD. Walau demikian saya tidak perlu datang ke laboratorium untuk antre. Petugas merekalah yang akan datang ke rumah untuk mengambil sampel saya secara langsung.

Akhirnya saya mendapatkan jadwal tes sore hari. Penanggung jawab laboratorium dan petugas pengambilan sampel mengirim whatsapp untuk memastikan waktu kedatangan sekaligus meminta “share loc”.

Ada senggang waktu yang lumayan lebar dari siang itu sampai petugas layanan homecare datang. Sekitar 6 jam saya harus menunggu. Selama itu pula gejala mulai berkembang. Pegal yang semula saya rasakan hanya di lutut dan kaki mulai menjalar ke badan bagian atas, terutama pinggang, pundak, dan pergelangan tangan. Lagi-lagi rasanya seperti orang yang habis melakukan aktivitas fisik berat. Padahal saya tidak melakukan apa-apa.

Ketidaknyamanan di persendian juga bercampur dengan rasa tidak nyaman yang oleh orang Jawa disebut “nggreges”. Semacam demam yang walau tidak terlalu tinggi, tapi suhu tubuh seperti naik turun antara dingin dan panas.

Waktu yang ada saya gunakan untuk menyiapkan diri seandainya nanti hasil tes swab antigen menyatakan saya reaktif atau positif Covid-19. Saya menyiapkan obat-obatan pribadi, terutama parasetamol dan obat flu. Kebetulan kedua jenis obat ini selalu saya sediakan di kala sehat.

Termometer saya cek ulang kelayakannya. Masker medis tambahan saya keluarkan dari lemari. Peralatan makan dan perlengkapan mandi saya rapikan untuk memastikan saya bisa menjangkaunya lebih aman. Barang-barang di kamar yang tidak terlalu penting saya sisihkan agar saya tidak tergoda untuk menyentuhnya. Selanjutnya saya istirahat.

Waktu yang dinanti pun tiba. Petugas layanan homecare datang dengan mengenakkan pakaian APD lengkap.

Usai memastikan identitas saya dan sayapun memastikan identitasnya sebagai petugas laboratorium swasta yang saya pesan, tes swab antigen dimulai. Prosesnya berlangsung cepat dan lancar. Colokan ke dalam rongga hidung saya berhasil dilakukan dengan mulus.

Sekitar 10 menit kemudian hasilnya diketahui. Dua garis merah menandakan saya reaktif atau positif Covid-19. Petugas lalu mengatakan bahwa surat hasil tes akan dikirimkan lewat whatsapp pada malam harinya agar bisa saya gunakan sebagai laporan ke pihak puskesmas.

Surat pernyataan tes swab antigen (dok. pribadi).

Ada perasaan lega. Meski hasil reaktif atau positif bukan hal yang diharapkan, tapi dengan hasil tersebut saya bisa segera mengambil tindakan yang diperlukan. 

Sore itu menjelang maghrib saya resmi menjalani isolasi dengan status “diendorse Corona”. Begitu kalau kata para SJW pro konspirasi.

Serangan resmi pertama pun langsung saya terima beberapa jam kemudian. Malam hari menjelang tidur, tenggorokan saya kembali terasa tidak nyaman. Demam ringan saya rasakan. Virus Corona rupanya tidak membiarkan saya istirahat dengan nyaman.

Kepada diri sendiri saya tekankan untuk tidak perlu terlalu khawatir. Meski ini jadi pengalaman baru yang tidak sepele, tapi saya perlu lapang dada. Yang saya harus lakukan ialah membulatkan tekad untuk berperang melawan virus Corona yang telah menginvasi ke sel-sel tubuh saya.

“Baiklah, saya terima dan mari kita lakukan sebaik mungkin mulai malam ini”, kalimat itu menyertai tidur saya pada hari pertama isolasi. Saya percayakan misi perang kepada sistem kekebalan tubuh dan antibodi vaksin dalam tubuh saya yang semoga sudah siap untuk diandalkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk