Langsung ke konten utama

Bertamu ke Rumah Nh. Dini, Menyimak Kisah Kenangan Tentangnya

"Keinginan menginjakkan kaki di rumah masa kecil Nh. Dini telah tercapai. Namun, duduk di teras rumah itu dan diterima oleh seorang anggota keluarganya merupakan keberuntungan yang tak saya duga. Pengalaman yang mengatasi sebagian ketidaktahuan saya tentang Nh. Dini".

Rumah Nh. Dini di Sekayu, Kota Semarang (dok.pribadi).
 Menurut salah seorang warga Sekayu, sebelum kedatangan saya pada Minggu pagi (19/2/2023) itu ada sekelompok mahasiswa yang hendak bertamu ke rumah Nh. Dini. Namun, mereka urung mencapai halaman dan rumah sang sastrawati. Kemungkinan karena tak memberi kabar rencana kedatangannya terlebih dahulu.

Saya pun sebenarnya datang tanpa diundang, apalagi memberi kabar. Ibarat orang asing yang tiba-tiba muncul di depan pagar rumah seseorang, lalu terpaku agak lama mencari tahu cara agar bisa melihat rumah itu lebih dekat. Berdiri dengan keraguan akankah saya diterima bertamu? Terdiam dalam bimbang bolehkah membuka sendiri pintu pagar dan melangkah ke halamannya?

Namun, keberuntungan ternyata memilih saya. Seorang ibu yang tinggal di depan rumah Nh. Dini tiba-tiba menghampiri. Dengan ramah ia bertanya, “mau masuk ke sana mas? ayo saya anter”.

Ia pun berjalan mendahului saya, mendorong pintu pagar lalu menoleh ke belakang seolah memberi kode agar saya mengikutinya. Itulah langkah pertama saya menginjak halaman rumah Nh. Dini.
“Assalamualaikum, Mba Oeti…”, ibu itu mengucap salam dari halaman. Mencoba memberi tahu sang penghuni rumah bahwa ada tamu yang datang.

“Biasanya jam segini lagi salat (dhuha). Rajin dia, mas”, ibu itu kembali menjelaskan. Saya pun segera paham untuk bersabar.

Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah. Seiring pintu yang terbuka, seorang wanita berperawakan mungil muncul di ambang pintu. Bergegas ia menuju teras rumah yang menyerupai pendopo kecil.

Mula-mula ia menyapa tetangganya. Percakapan terjadi antara mereka. Ketika keduanya menyudahi perbincangan, ibu yang tadi mengantar saya berpamitan. Tak lupa saya sampaikan terima kasih atas kebaikannya.

Selanjutnya perhatian sang penghuni rumah tertuju ke saya. Dipersilakan olehnya saya untuk masuk ke teras. Diaturnya kursi-kursi kayu yang melingkari meja bundar untuk kami duduk.

Dimulai dari saat itu, hampir satu jam lamanya saya diizinkan mendengar cerita-cerita tentang Nh. Dini dari sang penghuni rumah. Ia adalah Oeti Adiyati Oetono, anak keenam Heratih, kakak sulung Nh. Dini.
 
Cara Nh. Dini Memperlakukan Buku dan Tanaman
Oeti memiliki banyak kenangan tentang Nh. Dini. Itu ia syukuri sebab Nh. Dini memiliki banyak kemenakan, tapi tak semuanya dekat.

Kedekatan Oeti dengan Nh. Dini barangkali meneruskan ikatan antara Nh. Dini dengan Heratih. Dalam buku-bukunya seperti “Sebuah Lorong di Kotaku" dan “Padang Ilalang di Belakang Rumah”, berulang kali dilukiskan oleh Nh. Dini betapa Heratih sangat mempedulikan dirinya.

Perhatian Heratih sebagai kakak betul-betul Nh. Dini rasakan sejak kecil. Heratih tidak sekadar mengajari Nh. Dini tentang beberapa hal, tapi juga mengurusnya dengan penuh kasih sayang. Begitu hangat dan dekat hubungan keduanya sehingga Nh. Dini menyembut Heratih sebagai pamongnya.

Ketika kembali ke Indonesia setelah melalang buana ke sejumlah negara, Nh. Dini memutuskan tinggal di rumah Sekayu bersama keluarga Heratih. Namun, Nh. Dini meminta dibuatkan bangunan atau ruangan sendiri di belakang rumah. Menurut Oeti, bangunan itu tersusun dari gebyok yang unik. Di sana Nh. Dini melanjutkan aktivitas menulisnya dan merintis pondok baca.

Oeti dan anak-anak di Sekayu termasuk generasi yang sempat menikmati pondok baca Nh. Dini yang memiliki banyak buku. Kecintaan Nh. Dini terhadap buku sangat besar. Itu diperlihatkan salah satunya dengan membuat aturan bagi setiap orang yang hendak membaca buku di pondok baca. Anak -anak atau orang yang ingin membaca diharuskan mencuci tangan dan mengelapnya hingga kering terlebih dahulu. Nh. Dini tak ingin buku-buku di pondok baca kotor dan rusak. 

Selain itu Nh. Dini tak menghendaki pembaca melipat halaman buku. Oleh karenanya ia membuat banyak pembatas buku. Oeti menuturkan saat ada anak yang selesai membaca sekian buku, Nh. Dini sering memberikan pembatas buku bertanda tangan dirinya sebagai cenderamata.

Sekayu, salah satu cerita kenangan yang ditulis Nh. Dini dan pembatas buku yang dibuat untuk pondok baca Nh. Dini (dok.pribadi).
Nh. Dini juga memiliki ketertarikan dan kepedulian mendalam pada tanaman, terutama anggrek. Menurut Oeti, saat tinggal di Ngalian Nh. Dini merawat banyak anggrek. Ketika ada anggrek yang mekar, Nh. Dini sering menawarkan kepada Oeti untuk membawanya ke rumah Sekayu sebagai penghias halaman.

Serupa dengan kecintaan Nh. Dini terhadap buku yang diperlihatkan dengan caranya menghargai sebuah buku, kecintaannya pada tumbuhan juga tercermin dari cara Nh. Dini memperlakukan  dan merawat tanaman.

Suatu hari Oeti pernah dimarahi oleh Nh. Dini saat memetik cabe. Terbiasa dengan hal praktis, Oeti memetiknya langsung dengan menggunakan tangan. Cara itu ternyata tidak disukai oleh Nh. Dini yang menginginkan Oeti memetik dengan memotong menggunakan gunting tanaman. Alasannya untuk meminimalisir kerusakan pada tanaman.

Berpindah-pindah Mencari Ketenangan

Sepulangnya ke Indonesia, Nh. Dini hanya sekitar 5 tahun tinggal di Sekayu. Menurut Oeti, tantenya menyukai rumah dan ruangan yang lega dengan lingkungan yang tenang. Maka ketika lingkungan sekitar rumahnya telah dirasa semakin riuh, Nh. Dini memilih meninggalkan tempat masa kecilnya itu.

Keinginan untuk berpindah rumah disampaikan Nh. Dini kepada kakak iparnya Oetono, ayah Oeti. Sejak saat itu Nh. Dini hidup memisahkan diri di Ngalian. Lalu berpindah ke Sendowo, Yogyakarta.

Tak lama Nh. Dini tinggal di Yogyakarta, setelah 4 tahun ia pulang lagi Semarang dan menepi ke Banyumanik sebagai tempat tinggalnya secara mandiri. Dalam buku “Dari Ngalian ke Sendowo”, Nh. Dini mengisyaratkan alasannya kembali ke Semarang. Menurutnya ketenangan dan kenyamanan hidup tak didapatkan secara utuh selama di Yogyakarta. 

Sementara menurut Oeti ada alasan lain di balik keputusan Nh. Dini tersebut. Selain merasa sudah semakin lanjut usia, kenalan dan relasi yang lebih banyak di Semarang juga melatarbelakangi keputusan Nh. Dini kembali ke kota kelahirannya.

Bertamu ke rumah Nh. Dini. Wanita berkerudung coklat ialah Oeti Adiyati, kemenakan Nh. Dini (dok.pribadi).
Sederhana
Bagi Oeti, Nh. Dini merupakan sosok yang sederhana sampai akhir hayatnya. Tak banyak kemewahan yang melekat pada Nh. Dini.

Di antara barang-barang istimewa yang dipunyai Nh. Dini tak lain ialah buku-buku dan tanaman kesayangannya. Oleh karena itu, saat berturut-turut pindah ke Ngalian, Sendowo, lalu kembali ke Semarang, buku-buku dan tanaman tersebut selalu ikut diangkut.

Kesederhanaan Nh. Dini yang tetap bertahan juga meliputi makanan kesukaan. Seleranya tak banyak berubah. Meski kemudian tinggal di Banyumanik, saat hendak berkunjung ke rumahnya di Sekayu, Nh. Dini masih sering meminta untuk disiapkan makanan yang sama. “Kalau ke sini nggak pernah menginap. Cuma minta dimasakin sayur asem dan ikan belanak”, kata Oeti mengenang makanan kegemaran Nh. Dini.

Mengenang Nh. Dini membuat Oeti mengingat kembali salah satu perjumpaan mereka di Banyumanik. Perjumpaan yang sebenarnya merupakan kunjungan biasa layaknya anggota keluarga menjenguk saudaranya. Namun, ternyata itu menjadi pertemuan terakhir Oeti dengan Nh. Dini.

Kepergian Nh. Dini akibat kecelakaan lalu lintas pada 4 Desember 2018 menjadi kabar yang teramat pedih bagi keluarga. Apalagi sekitar 2 minggu sebelum meninggal dunia, Nh. Dini baru melepas rindu dengan sang putri Lintang yang menetap di Kanada dan kebetulan sedang berkunjung ke Indonesia untuk urusan pekerjaan.

Oeti bercerita bahwa menurut Lintang, Nh. Dini tampak gembira saat berada di Bandung. Berdua, ibu dan anak itu menghabiskan waktu bersama.

Untaian kenangan tentang Nh. Dini akan terus membekas di benak Oeti. Walau demikian, ada sedikit penyesalan yang dirasakan. Yakni tiadanya dokumentasi hari-hari terakhir kebersamaan dan perjumpaan mereka. “Sayangnya saya kok nggak sempat memfoto waktu di Banyumanik. Gebyok di belakang juga nggak sempat (difoto)”, kata Oeti sambil melempar tatapan jauh ke halaman rumah.

Minggu pagi itu, sejauh Oeti mengenang Nh. Dini, saya menjadi sedikit mengenal Nh. Dini.  Sosok yang sebelumnya hanya saya tahu lewat lembar-lembar ketikan ceritanya yang luar biasa.

Nh. Dini (dok.pribadi).


CERITA SEBELUMNYA:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk