"Tujuan akhir perjuangan kita bukan hanya untuk kemerdekaan bangsa dan negara saja, tapi untuk membuat manusia Indonesia berbahagia"
![]() |
Indonesia, merdeka! (dok. pribadi). |
Delapan puluh tahun lalu proklamasi diucapkan oleh pendiri bangsa. Sejak itu Indonesia merdeka. Sebuah negara baru terlahir, dipimpin oleh putra dan putri bangsa sendiri.
Tanah ini tidak diperintah lagi oleh bangsa lain. Tak lagi berada di bawah kuasa bangsa-bangsa asing seperti dulu Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang bergantian mendirikan tahta. Bukan lagi Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah. Juga bukan lagi bendera Jepang yang mesti dihormati oleh rakyat sambil membungkukkan badan setiap pagi.
Namun, kemerdekaan sejatinya bukan sekadar pergantian pemimpin dari seorang gubernur jenderal orang Belanda ke presiden orang bangsa sendiri. Merdeka juga berarti lahirnya kehidupan baru yang lebih baik dan adil bagi rakyat. Merdeka yang mewujudkan kebebasan menentukan pilihan terbaik bagi setiap manusia Indonesia.
Merdeka seharusnya ialah terwujudnya kehidupan masyarakat yang bebas dari kelaparan, kebodohan, ketakutan, dan penindasan-penindasan oleh siapa pun.
Oleh karena itu, melihat dan merasakan Indonesia sekarang, sudahkah kemerdekaan yang sejati tercapai? Ataukah selama 80 tahun Indonesia baru mencapai kemerdekaan lapis terluar? Baru sebatas tidak lagi diperintah oleh bangsa lain dan memiliki pemimpin bangsa sendiri.
Para Pemimpin yang Menyeleweng
Mochtar Lubis mewariskan sebuah karya apik yang mulai ditulisnya saat dalam penjara dan baru selesai bertahun-tahun kemudian. Terbit pertama kali pada 1977, “Maut dan Cinta” pada satu sisi menampilkan manusia-manusia Indonesia yang bergairah dan optimis dalam membangun negerinya yang telah merdeka. Pada sisi lain memuat tanda tanya dan kekhawatiran terhadap perilaku para pemimpinnya.
Sadeli, tokoh utama dalam “Maut dan Cinta” merupakan seorang patriot yang rela meninggalkan kemapannya di dinas tentara untuk beralih menjadi agen intelijen. Ia bersedia menjalankan misi-misi penuh bahaya karena ingin ikut menulis sejarah bersama Indonesia yang baru merdeka. Sadeli berhasrat mengiringi perubahan-perubahan nasib rakyat Indonesia menjadi manusia-manusia baru.
Meski menghadapi banyak keterbatasan, Sadeli tidak ragu menjalankan tugas karena yakin bahwa setelah merdeka Indonesia akan menjadi negara yang besar dan mapan. Salah satu yang membuatnya optimis terhadap masa depan Indonesia ialah adanya para pemimpin yang bermoral tinggi, penuh keteladanan, dan sederhana.
Sadeli percaya para pemimpin Indonesia akan selalu jujur dan tidak akan menyeleweng. Mereka akan bekerja keras mewujudkan keadilan bagi segenap rakyat karena lahir dari rakyat biasa dan merasakan penderitaan yang sama. Di mata Sadeli, para pemimpin Indonesia akan sanggup membangun jembatan untuk mencapai harapan generasi-generasi baru yang bebas dari penderitaan dan penindasan.
![]() |
"Maut dan Cinta" karya Mochtar Lubis (dok. pribadi). |
Namun, seiring berjalannya waktu rentetan pertanyaan tentang masa depan Indonesia mulai menganggu pikiran Sadeli. Rasa percayanya terhadap keteladanan pemimpin mendapat gugatan dari dalam sanubarinya. Semua itu muncul berkat interaksi dan pertemuannya dengan banyak pihak. Realitas yang dihadapinya selama menjalankan misi rahasia membuat wawasannya lebih terbuka.
Sadeli menerawang para pemimpin yang berkuasa menjadi korup dan menyelewengkan hak-hak istimewanya untuk menundukkan rakyat. Sadeli memandang jauh tentang pemimpin-pemimpin yang sederhana akan tergoda dengan kekuasaan untuk menyejahterakan diri dan keluarga sendiri, lalu tidak peduli terhadap nasib rakyat.
Berbagai rupa pengkhianatan yang dilakukan oleh pemimpin dan penguasa membuat kemerdekaan Indonesia semakin jauh dari tujuan mulianya. Para pemimpin yang semula sederhana itu sulit mempertahankan idealismenya karena dengan kekuasaan ia bisa hidup mewah dan senang.
Semakin jauh menerawang ke depan, Sadeli merenungkan tentang orang-orang yang berbicara dengan berapi-api tentang kemerdekaan dan rakyat, tapi hanya sebatas suara di mulut. Sementara mereka tak sungguh-sungguh merasakan dan mengamalkannya.
Sadeli tidak lagi menolak kemungkinan-kemungkinan tersebut. Bahkan, pada masalah persatuan bangsa Sadeli khawatir bahwa perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat Indonesia menyimpan potensi perpecahan yang tinggi. Sementara pemimpin yang diharapkan menciptakan kesatuan, justru mengadu domba dan berebut kekuasaan bersama partai-partai.
Pada akhirnya Sadeli bertanya: Akankah para pemimpin setelah sampai pada kekuasaan, masih setia mengabdi pada rakyat atau berkhianat dan meninggalkan rakyat? Akankah kemiskinan, kebodohan, ketakutan, dan penindasan-penindasan baru menjadi pemandangan hari depan Indonesia?
Sadeli membayangkan semua itu. Namun, ia berdoa dan menyimpan harapan bahwa hari-hari depan merupakan masa penuh keemasan bagi bangsanya. Sementara ia tetap teguh melanjutkan pengabdiannya, hari depan Indonesia biarlah waktu yang menjawab.
Kini, 80 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, jika harus menulis surat pada Sadeli untuk mengabarkan tentang Indonesia, bagaimana harus kita tulis? Sedangkan semua kekhawatiran Sadeli ternyata terbukti sekarang.
Diperintah Bangsa Sendiri, tapi Tidak Merdeka
George Orwell menulis “1984” untuk menggambarkan bagaimana kekuasaan yang totaliter dan otoriter memerintah dengan sangat sistemastis, rapi, tapi penuh manipulasi. Buku ini memaparkan kehidupan suatu negara beserta rakyatnya yang dibuat tunduk oleh persekutuan penguasa dan partai yang memerintah secara absolut.
Jangan heran bahwa dalam “1984” kita akan membaca sejumlah peristiwa yang mirip dengan yang berlangsung di Indonesia saat ini: penulisan ulang sejarah, pembungkaman terhadap perbedaan pendapat, angka kemiskinan yang menurun, kesejahteraan yang dilaporkan membaik, dan ekonomi yang tercatat lebih tinggi.
Tokoh utama dalam “1984” ialah Winston, seorang pegawai pemerintah yang berusaha patuh menunaikan tugas serta kewajibannya melayani kepentingan penguasa dan partai. Pekerjaannya nyaris monoton, tapi efektif untuk melanggengkan rezim dan memoles citra pemimpin.
Bersama para pegawai kementerian lainnya, Winston terampil mengutak-atik data produksi pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya untuk menghasilkan angka yang akan diklaim sebagai keberhasilan penguasa. Ia juga meracik angka-angka untuk disebarkan sedemikan rupa sehingga rakyat yakin bahwa mereka sedang menikmati kemakmuran.
Winston menjalankan perintah menulis ulang sejarah, menghapus data-data lama yang mencoreng rekam jejak pemimpin, dan menciptakan catatan-catatan baru untuk mendukung penguasa.
![]() |
"1984" karya George Orwell (dok. pribadi). |
Hanya ada satu kebenaran dan itu bersumber dari negara. Semua dikerjakan dan disebarkan luaskan secara masif sehingga rakyat hanya tahu bahwa semua yang mereka terima, baca, dan dengar sepenuhnya merupakan kebenaran dan kebaikan berkat kerja penguasa.
Winston, sebagaimana rakyat lainnya di negeri itu tidak punya pilihan selain harus diam, patuh dan percaya terhadap partai serta penguasa. Secara rutin mereka diwajibkan mendengarkan propaganda tentang bahaya musuh asing. Kebencian ditanamkan di otak mereka terhadap pihak-pihak di luar bangsa mereka.
Tak ada kebebasan dan kemerdekaan sejati di sana. Meski tak dijajah bangsa asing, Winston dan segenap rakyat hidup dalam belenggu yang sangat ketat. Rakyat yang berbeda pendapat akan dihilangkan. Mereka yang menggugat dan meragukan “kebenaran” akan ditangkap.
Melalui sejumlah perangkat seperti polisi pikiran dan teleskrin, setiap perkataan disadap. Bahkan, mimpi dalam tidur pun diawasi. Barang siapa ketahuan mengigau dalam tidurnya dengan mengeluarkan kata-kata tertentu mereka akan ditangkap.
Tak boleh ada satupun pegawai pemerintah yang menonjol kecerdasannya. Isi otak dan pemikiran mereka dikendalikan pada azas kepatuhan. Jika ditemukan seorang pegawai yang lebih cerdas dan kritis, orang itu akan segera diuapkan dan dihapus jejaknya.
Winston sebenarnya menyadari sistem yang rusak tersebut. Ia paham telah bekerja melayani kepentingan yang tidak baik. Maka diam-diam ia memikirkan pembangkangan dan perlawanan kecil.
Namun, rezim yang totaliter dan otoriter ternyata terlalu kuat dan canggih. Winston, sebagaimana ia ketahui tentang nasib orang-orang yang pernah melawan, akhirnya takluk dan lenyap.
Bangkitnya Militerisme, Gelapnya Kebebasan
Gramedia Pustaka Utama baru saja menerbitkan ulang karya Okky Madasari yang berjudul “Entrok”. Dengan cover baru berlatar hitam, “Entrok” seolah sedang menyambung gema “Indonesia Gelap”.
“Entrok” memang sebuah pengingat yang menampilkan kisah gelap militerisme yang merongrong demokrasi dan kebebasan sipil. Terbit ulangnya “Entrok” agar masyarakat tidak lupa bagaimana kekuasaan yang represif menggunakan perangkat-perangkat negara untuk memeras dan membungkam rakyat.
Jika tidak percaya, tanyakan pada Marni, tokoh utama dalam buku ini. Ia adalah korban dari premanisme oleh aparat dan pamong negara yang dengan aneka cara, intimidasi serta muslihat terus menerus mengutip uang.
Bukannya mengayomi, aparat justru menciptakan ketakutan. Agar bebas dari ketakutan, rakyat harus “membeli” keamanan dari aparat juga.
Kepada perangkat desa, polisi, dan tentara, Marni perlu mengeluarkan uang untuk setiap masalah yang dihadapi. Dari kecelakaan lalu lintas hingga mediasi masalah warisan, semua ditempuh Marni secara tidak gratis.
![]() |
"Entrok" karya Okky Madasari (dok. pribadi). |
Marni dipaksa percaya bahwa sumbangan dan setoran kepada aparat merupakan timbal balik karena negara telah memberikan kemudahan hidup padanya. Menolak memberikan setoran berarti melawan negara dan akan dicap sebagai orang komunis. Marni dan rakyat kecil seperti dirinya dipaksa menuruti setiap permintaan aparat, termasuk mencoblos partai tertentu dalam pemilu.
Lingkaran premanisme yang berlapis itu membuat Marni tidak kuasa berbuat banyak. Ia pasrah meski tahu keadaan itu menyengsarakan hidupnya.
***
Buku-buku tersebut menjadi sedikit pengingat bahwa proklamasi 80 tahun silam pada dasarnya hanya awal untuk mewujudkan kemerdekaan-kemerdekaan lain bagi semua yang berumah di Indonesia tanpa terkecuali. Pengingat yang penting karena kita seolah lupa bagaimana membangun dan merajut kehidupan bersama setelah penjajah pergi.
Saat proklamasi diucapkan, saat itu pula banyak impian dan cita-cita bersemi. Kini, sebagian telah mewujud nyata. Akan tetapi masih banyak yang tetap berupa segumpal mimpi.
“Maut dan Cinta”, “1984”, “Entrok” dan buku-buku lainnya bukan hanya fiksi. Melainkan cermin dan perwakilan dari kondisi suatu bangsa dan masyarakat yang masih harus berjuang untuk merdeka meski sedang tidak dijajah oleh bangsa asing.
Dan tugas-tugas perjuangan kini berlanjut ke tangan kita para penerusnya untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati.
Komentar
Posting Komentar