Langsung ke konten utama

DIKJUT BiOSC 2013: Detik-Detik Jelang Evakuasi


Jam 10 pagi, gerimis mendadak turun, hanya sebentar memang tapi lalu digantikan hujan. Saya mengikuti Septy, Ilham dan Abid melakukan sweeping jalur dan peserta memilih berhenti dan berteduh. Tak lama kemudian kabut mulai turun dan perlahan menutupi langit di depan kami. Saat itulah saya merasa Dikjut BiOSC  kali ini akan melahirkan cerita yang berbeda dan tak terduga.

Jam 12.30 hujan turun di puncak, tak terlalu besar tapi angin yang menyertainya cukup mengejutkan beberapa di antara kami. Dalam sekejab semuanya menjadi tampak abu-abu, seperti pagi yang baru diselimuti kabut.

Satu persatu-satu kelompok turun untuk melanjutkan perjalanan. Hanya ada saya, Septy, Abid, Ilham, Syaima dan Hanif di puncak. Sengaja kami memutuskan lama di sana karena sweeper ingin memastikan semua kelompok tiba dulu di puncak sebelum melanjutkan sweeping. Tak banyak yang kami perbincangkan saat itu hingga tiba-tiba bunyi peluit panjang terdengar dari dasar lembah. Beberapa saat kami terbangun dan saling memandang. Septy dengan cepat berkata “ada yang sakit!”. Sementara saya masih mengamati sekitar hingga kemudian permintaan tolong dan turun kami terima. Sial, kabut masih saja turun..

Saya meminta Syaima dan Ilham tetap di puncak, sementara Abid, Septy dan Hanif saya ajak turun membawa kotak P3K. Kami berusaha melalui jalur yang sama dengan jalur kelompok terakhir yang kami lihat menuruni puncak. Jujur bagi saya jalur ini beresiko  jika dipilih untuk dilalui pada cuaca seburuk kemarin. Saya tidak mengerti apakah Dikjut kemarin memiliki plan B untuk jalur alternatif jika kondisi cuaca berubah drastis seperti ini. Untungnya panitia lapangan BiOSC kali ini, meski jumlahnya tak terlalu banyak, apalagi didominasi para wanita (laki-lakinya hanya 9!!) tapi mereka bisa diandalkan.

Saya juga perlu minta maaf karena ketika insiden kemarin saya banyak memerintahkan ini dan itu. Mau apalagi ?. Ketika teriakan terdengar dari bawah saya tahu ini akan berjalan sulit, seorang peserta terjatuh dan tak bisa bangun serta berdiri. Dalam kondisi normal saja jalur hitam itu cukup sulit bagi saya, apalagi dalam kondisi hujan dan kabut tebal kemarin.

Pada satu titik saya dan Septy berhenti dan berteriak ke arah bawah menanyakan kabar kelompok dan peserta yang terjatuh.  Sementara Abid dan Hanif terus berjalan ke bawah membawa kotak P3K. Teriakan dari bawah menjawab pertanyaan saya. Sayangnya jawabannya adalah “tandu” dan saat itu saya tahu evakuasi tidak bisa dilakukan oleh BiOSC. Tak ada tandu dan membawa kembali korban ke atas maupun membawanya turun jelas penuh resiko, nyaris tak mungkin dengan dipapah. Sementara saya beberapa kali bertanya ke bawah apakah Aisha benar-benar tak bisa berdiri. Sayangnya cedera seperti itu memang sangat menyakitkan.

Sialnya BiOSC pun tak membawa HT. Jujur saja dalam hati kemarin saya merasa kesal dan geram kepada BiOSC untuk hal ini. Mengapa BiOSC kekeuh tidak membawa HT, ini hal yang konyol menurut saya. Saya kerap mengingatkan petingnya HT dalam kegiatan lapangan apalagi eksplorasi di medan seperti ini. Tapi  ketika saya mendapat jawaban bahwa di Nglanggeran sinyal HP mudah dan lancar, semoga BiOSC belajar banyak dari kejadian ini. 

Saya dan Septy beberapa kali mengumpati HP kami masing-masing ketika menghubungi yang ada di bawah maupun di camp susahnya setengah mati.  Beberapa nomor tersambung tapi tak diangkat sama sekali. Beberapa langsung mati, saya tahu baterainya pasti kosong. Sejam lebih kami mencoba menelepon banyak nomor. Saya bahkan sempat membongkar dua HP yang saya bawa untuk menukar SIM Card nya.

Komunikasi akhirnya tersambung meski dengan susah payah. Saya menghubungi camp sementara Septy menelepon Saka dan Wilis yang menurut skenario bersama kelompoknya akan melewati jalur di mana Aisha terjatuh. Kepada Fera di camp saya menyuruhnya menghubungi sekretariat Gunung Api Purba dengan sebelumnya saya ceritakan kondisi yang terjadi di puncak termasuk kondisi Aisha. Komunikasi ini pun berjalan susah karena telepon beberapa kali mati. Sinyal blank!. Ke bawah saya berteriak meminta Abid dan Hanif tetap bersama Aisha dan kelompoknya. Sementara Septy sudah terlihat cemas dan merasa kecelakaan ini akan menjadi tanggung jawab yang besar bagi BiOSC.

Konfirmasi akhirnya kami terima dari sekretariat Gunung Api Purba, tim penolong I segera berangkat dan 30 menit kemudian kami bertemu, tapi mereka tak membawa tandu. Saya meminta Abid menunjukkan lokasi Aisha kepada mereka.  Sesampainya di lokasi kejadian saya menelepon kembali dan diputuskan Aisha tidak bisa di bawa ke atas melainkan harus ditandu menuruni jalur hitam.

Saya mencoba menghubungi Fera kembali yang saya minta untuk tetap berada di sekretariat menjadi penghubung kami dengan Gunung Api Purba. Saat itu saya meminta tandu untuk dikirim. Konfirmasi datang beberapa menit kemudian bahwa tim II tengah bersiap naik membawa tandu. Koordinasi ini saya dan Septy lakukan bergantian dengan HP yang selalu kami tukar, lagi-lagi karena masalah sinyal.

Cerita tak selesai sampai di situ karena selain Aisha yang akan dibawa turun dengan tandu, teman-teman kelompoknya saya tak tahu harus diapakan, keputusan ada di panitia. Tapi saya dan Septy sepakat untuk menarik mereka ke atas. Semoga panitia memaklumi keputusan ini karena berkomunikasi dengan panitia pun susahnya bukan main. Lagi-lagi apa yang bisa diharapkan dari sinyal HP di kondisi cuaca seperti ini?. Atik sang ketua panitia belakangan saya tahu tidak membawa HP, sementara yang lainnya  sudah berjalan jauh bersama kelompoknya masing-masing. Oleh karena itu keputusan mengevakuasi sisa kelompok kembali ke atas adalah pilihan terbaik meski pada akhirnya kami kembali bertaruh, ini tidak akan mudah dan ternyata memang tak mudah.

selanjutnya : 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk