Langsung ke konten utama

27 TAHUN KAHITNA bagian empat: Tentang Diriku


9 tahun sudah saya menyenangi KAHITNA sebagai sebuah grup yang lagu-lagunya bisa memenuhi selera hati dan telinga saya. Sepanjang itu pula saya tumbuh sebagai seorang penggemar yang melewati berbagai fase perkembangan. Saya jelas jauh dari predikat grupies, penggemar yang setia berada di depan panggung setiap kali idolanya beraksi. Namun demikian sayapun pernah melalui fase alay sebagai seorang penggemar. Tiga tahun pertama menjadi soulmateKAHITNA jelas masa-masa di mana saya tampak begitu freak, mencoreti setiap lembar kertas, tiap bangku dan meja, lalu memutar lagu-lagu mereka kapanpun dan menyanjungnya di manapun tak kenal kondisi. Juga mengutip banyak syair lagu KAHITNA sebagai komentar dan beberapa hal lain yang secara pribadi saya identikkan dengan ekspresi alay seorang penggemar baru.

Lambat tahun bentuk-bentuk ekspresi tersebut berkurang, namun bukan berarti kekaguman saya pada KAHITNA luntur. Sebagai seorang penggemar saya mulai memaknai KAHITNA dalam konteks yang sedikit berbeda dari masa-masa alay. Kecintaan dan kegemaran saya dengan lagu-lagu mereka tak lagi sebatas liriknya yang manis atau musiknya yang rapi. Tahap perkembangan ini secara pribadi saya ringkas sebagai tahap di mana setiap kali mendengar mereka bernyanyi yang saya dengarkan adalah makna dari liriknya, bukan bunyi pelafalannya. Saya pun mulai mencoba menginterpretasikan lagu-lagu mereka dalam konteks kehidupan saya maupun orang-orang terdekat saya. Itu sebabnya beberapa penampilan terakhir KAHITNA yang saya saksikan saya lebih bisa duduk tenang.

Tapi sesungguhnya bukan itu inti utama dari catatan kecil ini. Ketika bangun pagi jam 4 tadi, saya justru berniat berbagi hal lain yang boleh dianggap sebagai bentuk sisa-sisa ke-alay-an saya sebagai soulmateKAHITNA. Namun demikian hal-hal itu masih menyertai saya hingga kini, hingga detik ini.

Jika melihat saya mengenakan kemeja lengan panjang, maka sesungguhnya hal itu memuat unsur pencitraan karena sebagian citra diri saya lainnya adalah seperti yang ditunjukkan gambar-gambar di bawah nanti.
Jika selama 9 tahun saya hanya 3 kali ke mall, maka tempat ini hampir bosan saya kunjungi

Tupperware bekal lapangan

Kotak P3K yang selalu wajib dibawa

Ini untuk pertama kalinya dalam sebuah tulisan saya akan menyertakan foto diri. Tiga tahun berbagi di blog kompasiana dan 2 tahun di blog pribadi ini, saya nyaris tidak pernah dan tidak PD untuk menyertakan foto diri dalam setiap tulisan meski kerap  itu bercerita tentang diri sendiri. Tapi bolehlah untuk menambah catatan 27 Tahun KAHITNA kali ini, dalam kepercayaan diri yang juga masih belum tinggi, untuk pertama kalinya saya sertakan foto diri  yang mungkin kontras dengan kemeja kesukaan saya. 




Penting atau tidak penting, cerita ini penting untuk menambah arsip cerita di sini ^^. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk

PERBEDAAN

Sejatinya tulisan ada karena sms seseorang yang masuk ke HP Nokia saya kemarin malam. Sebut saja Indah, nama sebenarnya, usianya yang lebih muda dari saya membuat kami beberapa kali terlibat perbincangan seperti halnya saudara. Beberapa hal ia ceritakan pada saya, yang paling sering soal asmaranya beserta segala macam bumbu seperti perkelahian antar wanita (berkelahi beneran), cinta segitiga dan sebagainya. Saya sering “terhibur”mendengar cerita-cerita itu darinya. Daripada menonton kisah sinetron, kisah Indah ini lebih nyata. Dan semalam dia mengirim sms bahagia. Bahagia dari sudut pandang dirinya karena usai jalinan asmara lamanya kandas dengan meninggalkan banyak kisah sinetron, kini ia mengaku bisa merasai lagi indahnya cinta. Sekali lagi cinta menurut sudut pandang dirinya. Namun rasanya yang ini begitu menggembirakan untuknya. Alasan pastinya hanya ia yang tahu, namun satu yang terbaca dari bunyi smsnya semalam adalah bahagia karena tembok perbedaan yang menjadi batas pem