Langsung ke konten utama

KETIKA MAHASISWA DAN KARTU BERTEMU DI LAPAK


Kemarin sore, usai menyudahi aktivitas, saya mampir ke sudut kampus di mana aktivitas mahasiswa di luar jam kuliah banyak dilakukan di situ. Di tempat itu terdapat beberapa ruang berukuran besar dan sedang yang masing-masing mempunyai kekhasan atribut dan aktivitas. Itulah sudut ruang kelompok studi mahasiswa. Ada ruangan untuk mahasiswa pecinta alam yang suka naik gunung, ada markas pecinta serangga, ular, hingga ruangan berdinding hijau muda menyerupai kamar wanita yang di dalamnya didominasi gambar dan foto bungga Anggrek.

Beragam aktivitas berlangsung di sana. Mulai dari rapat mahasiswa, diskusi, bernyanyi dan bermain musik atau sekedar berbincang sambil menikmati sebotol teh Sosro menjelang pulang (sengaja disebut merek-nya karena ini adalah minuman yang populer di kampus ini). Bahkan kisah Cerita Cinta sering terlahir di sini. Tak hanya itu, sejak lama saya juga sudah tahu kalau ada aktivitas “pelampiasan” lain yang giat dilaksanakan oleh beberapa kelompok mahasiswa. Belakangan malah beberapa mahasiswi ikut bergabung. Dan kemarin saya mengamati lebih lama fenomena itu.

LAPAK. Kita mungkin familiar dengan istilah ini untuk merujuk sebuah tempat jualan sederhana di tepian jalan yang biasanya ilegal dan sering jadi sasaran razia Satpol PP. Tapi LAPAK di sini bukan gambaran tempat yang demikian. Meski aspek legalnya juga dipertanyakan karena memang aktivitas yang berlangsung di lapak ini bukanlah aktivitas yang dikelola oleh kelompok studi apapun. Jadi bisa dibilang liar meski belum terlarang.

LAPAK adalah sebuah sudut yang terdiri dari meja besar dengan beberapa kursi mengelilinginya. Belakangan LAPAK mengalami perluasan area dan membuka “cabang” di beberapa tempat tak jauh dari LAPAK pusat. Aktivitas lapak-lapak itu tak jauh berbeda, malah identik. Orang-orangnya pun itu-itu saja namun belakangan penggemar LAPAK bertambah. Tak cuma mahasiswa, namun juga para mahasiswa berambut panjang alias mahasiswi. Tak cuma mahasiswa tingkat akhir yang sedang galau tugas akhir, tapi juga mahasiswa tingkat 1 dan 2 yang sedang dalam puncak galau menentukan jati diri, ckckckckck.

Lalu  apa sebenarnya aktivitas yang berlangsung di LAPAK itu ?. Foto-foto berikut ini yang akan menceritakannya.






Yap, Lapak adalah sebuah ruang ekspresi mahasiswa. Lapak menjadi pilihan pelampiasan beberapa dari mereka. Lalu apa kegiatan LAPAK ini benar-benar ilegal dan melanggar norma ?. Sepengamatan dan sepengetahuan saya, LAPAK cukup menghibur bahkan untuk sekedar disaksikan tanpa ikut bergabung di dalamnya. Tak ada uang atau harta yang bermain di sana. Dan semoga tidak akan pernah ada itu. Jadi meski aspek legalnya belum diakui sebagai kegiatan mahasiswa, karena memang tidak ilmiah, hehehe, saya tak menganggapnya sebagai kegiatan yang tercela. Lagipula saya juga sering melakukannya dulu di sekolah waktu SMA, bahkan lebih parah karena melakukannya di saat jam pelajaran berlangsung..<---- ketahuan aslinya =.=’’. 

LAPAK, inilah ruang ekspresi yang tengah jadi pemandangan lazim di kampus. Sebuah kegiatan yang mungkin bisa jadi fenomena. Setidaknya kini yang terlibat di dalamnya tak lagi kaum pria, namun telah melintas gender. Hanya saja saya sering heran dan harus menggelengkan kepala karena mereka yang sudah duduk di lapak ini sanggup setia menduduki kursinya berjam-jam, bahkan hingga jelang malam. 

Namun sekali lagi jangan dulu berprasangka buruk dengan aktivitas LAPAK yang satu ini. Lagipula LAPAK ini sering jadi media pemanasan untuk mahasiswa yang ingin curhat hingga berbagi cerita dan pengalaman ilmiah. Asalkan tidak ada uang, tidak ada harta, tidak ada alkohol, narkoba dan bebas rokok, saya menganggap aktivitas ini cukup menghibur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk