Langsung ke konten utama

KETIKA KAWANAN BURUNG GEREJA HINGGAP DI BUBUNGAN MASJID

"saat kawanan burung gereja telah lama hinggap nyaman di bubungan Masjid yang senantiasa memberikan tempat yang aman bagi mereka hidup, tak bisakah kita belajar dari mereka ??"

Hidup adalah sebuah seni memandang. Akan menjemukan berada dalam sebuah taman bunga yang hanya ditumbuhi satu macam bunga. Benarkah ?. Memang kelihatannya indah apalagi bunga-bunga itu tumbuh rapi dengan warna yang mencolok. Tapi buktikan saja, semua itu membosankan. Kita akan kehilangan makna keindahan bunga-bunga itu karena tak ada yang bisa disandingkan untuk dibandingkan, semua sama, menjemukan.

Lalu cobalah melangkah ke sebuah taman bunga yang lain. Di sana ada banyak macam bunga.  Ada hijau mengelilingi merah yang berbaris sederhana, di sebelahnya beberapa kumpulan si biru yang diselingi kelompok kuning. Di sebelah luar kumpulan itu, semua macam bunga terhampar bercampur satu sama lain. Tak terlalu rapi memang, tapi warna-warninya mendamaikan hati. Melihatnya saja orang akan merasa senang dan betah berlama-lama. Bosan ?. Tidak, dalam hati orang yang melihatnya justru muncul keinginan menjaganya, membayangkan andai dia jadi bunga pasti sangat menyenangkan menjadi bagian taman itu. Mengapa ?. Keberagaman yang membuat hati nyaman. Keindahan yang tak membosankan, sebaliknya mampu menghadirkan semangat, inspirasi dan rasa aman. Bayangkan bagaimana si hijau “melindungi” si merah dari angin kencang. Lalu si biru yang tumbuh di sisi bunga kuning agar hingga si kuning tak pernah sendirian menghadapi serangan serangga. Bagi orang yang menikmatinya, merusak taman itu sama halnya melenyapkan salah satu sumber kebahagiaan hidup.

Jika saat ini kembali diperbincangkan bahkan dibuat menjadi sebuah tanda tanya besar yang seolah meminta kita menjawab kebenaran tentang : APAKAH SEMUA AGAMA ITU SAMA ?. Sebenarnya tak perlu  dijawab. Boleh dipikirkan tapi tak ada nilai lebihnya kalau kita memberi jawaban. Karena hal itu bukanlah pertanyaan yang fundamental dalam sebuah keberagaman. Sebagai pemilik dan penganut keyakinan setiap manusia memang perlu menghargai keyakinan yang lain tapi bukan untuk melakukan studi atau pemikiran komparatif. Penghargaan dan penerimaan terhadap keyakinan yang lain, jika itu sudah bisa benar-benar dilakukan dan menciptakan kerukunan, itu lebih berarti dibandingkan melakukan perdebatan dan membedah pertanyaan “apakah semua agama itu sama ?”.

Yang pasti di antara sekian banyak keyakinan, di antara Islam, Kristen, Hindu, Budha atau Kepercayaan lainnya ada nilai-nilai universal. Tapi apakah itu harus berarti mereka sama ?. Apakah definisi “sama” itu ?. Semua agama juga mempunyai identitas dan sumber keyakinan masing-masing yang diyakini oleh penganutnya.

Seperti halnya bunga warna merah, biru, hijau dan kuning tadi. Semuanya adalah tumbuhan, berpijak di tanah dan meminum air pemberian Tuhan. Tapi apakah mereka sama ?. Bukan itu yang harus ditanyakan. Bukan itu yang harus dipermasalahkan. Mereka tetap merah, biru, hijau dan kuning. Mereka hidup bersama di sebuah taman, saling menjaga identitasnya namun juga tumbuh berdampingan untuk menciptakan sebuah keindahan.

Saya mengangguk pelan ketika mendengar perkataan seorang ulama bahwa yang membuat manusia masuk surga bukanlah agamanya. Agama tak akan mengantarkan manusia ke dalam surga. Lalu apa ?. Iman dan Taqwa yang direpresentasikan dalam perbuatan, itulah yang menentukan apakah surga atau neraka yang menjadi pelabuhan akhir seseorang. Apa artinya ?. Orang Islam yang berbuat baik berhak atas surga, orang Hindu yang taat juga boleh masuk surga, penganut Kristen yang berbuat kebajikan juga dapat masuk surga dan sebagainya. Lalu surga mana yang mereka masuki ?. Tuhan juga tidak membuat banyak surga yang masing-masing menjadi surganya orang Islam, surganya orang Budha, surganya orang Kristen dan seterusnya. Begitupun neraka. Tuhan hanya menyediakan satu surga dan  satu neraka.

Saya sependapat dengan itu.  Juga sependapat untuk tidak melemparkan pertanyaan “apakah itu berarti semua agama sama ?”. Hal yang sekali lagi sudah tidak kontekstual di dalam sebuah keberagaman.

Banyaknya konflik masyarakat yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan ataupun bersumber dari perbedaan pemikiran dalam satu keyakinan memang menyedihkan. Apalagi terjadi di Indonesia, bumi yang nyata-nyata telah didirikan dengan pondasi keberagaman. Pendiri negeri ini bukan tidak menyadari kalau Nusantara ini diisi oleh banyak “keberbagaian”. Justru mereka menyadari bahwa karena keberbagaian itulah Indonesia ada dan dengan kekuatan keberbagaian itulah Indonesia lahir  dari kandungan Ibu Pertiwi.  Lalu mengapa “baru” akhir-akhir ini keberagaman itu “seolah-olah” menjadi masalah. Berbagai pendapat muncul kemarin dan saya tertarik dengan beberapa pendapat perwakilan umat yang yang hadir.

Pertama, ada yang berpendapat reformasi yang lepas kendali turut berperan dalam munculnya banyak konflik berlatar belakang keberagaman, salah satunya agama. Hal ini berbeda di zaman orde baru, saat di mana kebebasan berekspresi (konon) disandera sebagian oleh penguasa. Hal tersebut justru membuat masyarakat menjadi lebih hati-hati dan (dipaksa) lebih menghargai berbagai ruang yang dianggap sebagai ruang privasi baik bagi sesamanya maupun ruang privasi milik pemerintah dan negara. Masyarakat tidak mempunyai banyak keleluasaan membuka ruang-ruang tersebut. Penguasa pun bertindak tegas terhadap segala ekpresi yang dianggap mengancam ruang privasi tersebut. Memang hal tersebut akhirnya terbukti keliru namun ada sisi positifnya karena masyarakat menjadi lebih terkendali dalam mengangkat dan mengeksploitasi keberagaman.

Reformasi bergulir, semua bicara tentang kebebasan, semua mengekspresikan kebebasan, semua ruang dikritisi termasuk ruang keberagaman. Naasnya ketika semua pintu kekebasan dibuka, sebagian masyarakat belum siap untuk menjalankannya secara bertanggung jawab. Semua orang belum mempunyai kesadaran dan kesiapan yang sama untuk menerima dan menghargai keberagaman. Sialnya lagi, beberapa tokoh yang semula diharapkan menjadi panutan dan penjaga jalannya reformasi justru “menepi” dan terkesan “cuci tangan” ketika reformasi telah lepas kendali. Pemerintah dan pemimpin negara sebagai pemilik kekuasaan kehilangan  “wibawa” dalam mengontrol dan mengatur jalannya reformasi. Alih-alih menjadikan keberagaman sebagai pilar kekuatan bangsa, penguasa justru tak maksimal menjaganya. Beberapa pemimpin yang diserahi kepercayaan memelihara dan menjaga kebebasan serta keberagaman agama seolah-olah baru muncul jika ada  ajaran yang dianggap sesat. Mereka baru memperlihatkan aksi ketika kerusuhan antar umat telah terjadi. Padahal tugas mereka adalah menjaga keberagaman dan menjadikannya sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Memang menjaga kedamaian adalah tugas semua orang di Indonesia, namun tetap saja semuanya butuh contoh dan pemimpin yang dapat mengatur itu dengan baik. Inilah yang “hilang” di Indonesia saat ini.

Kedua, media sedikit banyak dianggap ikut berperan dalam memelihara bahkan sering “memanaskan” isu keberagaman. Demokrasi pasca reformasi pada beberapa sisi telah membawa media melangkah lebih jauh dalam memberitakan berbagai hal termasuk isu - isu agama. Beberapa fenomena bahkan dieksploitasi habis-habisan. Sayangnya eksploitasi itu dilakukan terhadap kejadian-kejadian yang tak mengenakan. Kita masih ingat bagaimana sebuah TV secara berjam-jam menyiarkan penggerebekan dan pemboman sarang teroris. Masih segar juga di mata kita bagaimana kerusuhan yang dilatar belakangi penyerangan Ahmadiyah berhari-hari ditayangkan sebagai berita utama. Lalu demonstrasi menentang keberadaan sebuah gereja yang berujung pada penghalangan umat melakukan ibadah. Hal itu belum termasuk bumbu kalimat redaksional yang sering kali berlebihan dan kurang akurat. Pemberitaan-pemberitaan tersebut sadar atau sadar, langsung atau tidak langsung telah menanamkan memori kekerasan di masyarakat. 

Pada akhirnya pemberitaan semacam itu membuat mata kita tertutup dengan hal-hal indah mengenai kerukunan antar umat Islam dan Kristen di NTT yang bahu membahu membangun masjid. Ibu – ibu di sana bergotong royong menyiapkan hidangan untuk Paskah. Lalu pedagang – pedangan muslim yang sering singgah beristirahat di rumah seorang pastur. Kemudian apakah kita juga tahu di Indonesia timur sana ada seorang ulama Islam yang menyekolahkan seorang warga hingga bisa menjadi seorang pendeta ??. Atau sebaliknya seorang Kristen yang rajin membantu kegiatan sebuah pesantren. Bagaimana warga Hindu di Bali menyiapkan pengamanan Idul fitri atau Natal ?. Apakah kita tahu ? Padahal semua itu ada dan banyak dijumpai di Indonesia. Indah bukan ?. Mengapa kita tidak tahu ?. Mengapa media kita jarang sekali mengungkap kisah insipiratif seperti demikian ?.

Sudah saatnya kita meniupkan ruh baru pada makna keberagaman agama. Jika dulu para ulama bersyiar membawa ajaran agama masing-masing dan berusaha merangkul penganut, maka saat ini tak lagi hanya demikian. Keberagaman bukan hanya mengakui ada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Namun juga menyadari dan menerima bahwa itulah kenyataan yang Tuhan hadirkan di sini, di bumi Indonesia. Oleh karena itu meniadakan keberagaman jelas bukanlah “pekerjaan” manusia. Manusia bahkan tidak punya hak untuk menghancurkan keberagaman. Yang harus dilakukan justru menjaga dan meletakkan keberagaman dalam bingkai kebersamaan, bukan kesamaan

Di tengah kita memang ada banyak perbedaan, itulah fitrah manusia. Tak usah ditanyakan mana yang sama. Namun tak perlu pula dipermasalahkan apa bedanya. Berbeda bukan berarti selalu berlawanan arah. 

_semua yang di atas bukanlah dilahirkan oleh saya. semua itu saya dapatkan dan kemudian saya fahami seusai menyimak diskusi masyarakat lintas agama dalam peringatan Hari Raya Paskah 2010 | pemilik blog_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk