Boleh jadi akan banyak yang tidak sependapat
dengan tulisan ini, terutama dengan judulnya. Mungkin ada banyak yang akan berseberangan dengan
pendapat saya ini, terutama jika membaca kesimpulan saya nanti. Tulisan ini
diilhami oleh sebuah tulisan singkat di kompas.com yang saya baca kemarin.
Namun tulisan ini sepenuhnya adalah pendapat saya, pikiran yang sudah lama
mengendap di kepala dan kemarin terpantik lagi karena rupanya ada yang
berpikiran sama dengan saya selama ini. Dan kali ini lewat tulisan ini saya
akan menuliskannya dengan lebih panjang dan lebar.
Saya tidak akan bertanya apakah teman-teman
mencintai bumi ini. Saya pun tak akan bertanya bagaimana teman-teman mencintai
bumi atau apa yang bisa kita sumbangkan
untuk turut menjaga alam dan bumi ini. Jujur saja, kadang pertanyaan-pertanyaan
itu menjadi tidak menarik buat saya. Bahkan saat pertanyaan-pernyataan itu
muncul di ajang kontes seperti murid teladan, putri Indonesia hingga soal-soal
ujian sekolah dan pidato pejabat negara, saya kurang tertarik untuk menyimak
jawabannya.
Saya sempat berfikir kalau pertanyaan-pertanyaan itu telah kehilangan makna. Seolah pertanyaan istimewa yang jawabannya pun harus istimewa. Lebih lagi kemudian jawaban-jawabannya sering dipakai untuk menilai (kualitas) seseorang. Sementara kenyataannya ??.
Saya sempat berfikir kalau pertanyaan-pertanyaan itu telah kehilangan makna. Seolah pertanyaan istimewa yang jawabannya pun harus istimewa. Lebih lagi kemudian jawaban-jawabannya sering dipakai untuk menilai (kualitas) seseorang. Sementara kenyataannya ??.
Jika ada pertanyaan “apa yang bisa kamu lakukan
untuk menjaga kelestarian alam ?”. Pasti akan muncul banyak jawaban. Namun
biasanya jawaban “yang diinginkan” seolah sudah ditentukan.
1.
“Tidak
membuang sampah sembarangan”.
2.
“Tidak
mengadakan acara ulang tahun di mall”
3.
“Tidak
makan makanan fast food”
4.
“Menjadi
panitia hari Bumi”
5.
“Bergotong
royong membersihkan selokan di lingkungan rumah”
Berdasarkan pengalaman menjawab soal demikian, orang pasti
akan memilah-milah dari kelima jawaban tersebut mana yang salah, mana yang
setengah benar, mana yang benar dan mana yang “paling benar”. Dari 5 jawaban
itu saya yakin nomor 4 dianggap jawaban paling bergengsi sementara nomor 3
dinilai jawaban yang ngaco. Orang yang memilih jawaban nomor 5 akan dinilai
lebih baik dibanding mereka yang memilih nomor 2. Tapi apa itu benar ?. Secara
pribadi saya menganggap mereka yang melakukan penilaian atau pengelompokkan
jawaban seperti demikian telah mengalami sesat pikir. Kenapa ??. Apakah dengan
tidak membuang sampah sembarangan bumi tidak terselamatkan ?. Apakah
dengan menjadi panitia hari bumi dan sejenisnya kita sudah menjadi pahlawan
bumi ?. Atau sebaliknya, dengan tidak makan makanan fastfood bisa dianggap
ramah lingkungan ?. Apa ada hubungannya fastfood dengan go green ??.
Jawabannya bisa kita renungkan sendiri-sendiri.
Saya hanya ingin berpendapat kalau kelima jawaban di atas sama nilainya. Tak ada yang paling
benar, tidak ada juga yang paling bergengsi. Semua boleh dilakukan orang
sebagai representasi kecintaannya pada lingkungan. Maka jika ada yang menganggap
jawaban tertentu lebih eksklusif, sebenarnya mereka telah membatasi perannya
dalam mencintai bumi. Dan itu disadari atau tidak membuat bumi kita justru
terancam.
Menjadi seorang aktivis lingkungan hidup
adalah sebuah pilihan yang mulia dan pantas dihargai. Tidak semua orang mau dan
berkesempatan menjadi seorang aktivis yang meluangkan tenaga serta hidupnya
demi bumi yang tetap indah. Namun jika dengan menjadi aktivitis orang kemudian
beranggapan bisa menjadi penyelamat bumi, maka ada yang harus dikoreksi.
Menjadi seorang pecinta alam adalah pilihan
yang membanggakan dan mengundang pujian. Tidak semua orang mau dan
berkesempatan meluangkan hidupnya untuk memaknai dan menjaga keindahan alam.
Namun jika dengan menjadi seorang pecinta alam orang kemudian menilai dirinya
sudah bisa menjadi penyelamat alam, maka ada yang harus dipertanyakan dari
pilihannya itu.
Menjadi aktivisis lingkungan tidak akan
membuat seseorang menjadi pahlawan bumi. Menjadi pecinta alam tidak akan
membuat orang bisa menyelamatkan alam. Benarkah ?. Jawabannya terserah
teman-teman. Namun saya memilih menjawab BENAR. Benar karena kenyataannya
menjadi seorang aktivis lingkungan bukan hal yang sederhana meski tidak sulit.
Label pecinta alam juga bukan sebutan yang eksklusif walau tidak semua orang
bisa mendapatkannya. Tapi semua orang bisa melakukannya.
Sering kali kita dengar di penjuru kampus, di
sudut-sudut keramaian, di sekolah-sekolah hingga kawasan umum orang-orang gemar
mengutip istilah GO GREEN. Apa-apa alasannya GO GREEN. Sedikit-sedikit berdalih
GO GREEN. Banyak selebaran dan poster disebar di sana-sini demi memasyaratkan
GO GREEN dan mengHIJAUkan masyarakat. Tujuannya sangat baik, namun memasang
poster di jalanan secara sembarangan, justru membuat saya geli.
Saya pun sering memutar otak untuk bertanya
mengapa dalam tempo tertentu GO GREEN begitu booming lalu kemudian lenyap,
disusul munculnya istilah baru, muncul garakan dan kampanye baru. Sementara
masalahnya itu-itu saja.
Kita tentu masih ingat tentang konsep
REVOLUSI HIJAU yang dulu pernah menjadi primadona dan dikampanyekan di
mana-mana. REVOLUSI HIJAU sepi lalu muncul istilah GREEN ECONOMIC. Begitu
seterusnya hingga kemudian muncul istilah-istilah baru seperti Earth Hour,
GREEN LIFESTYLE dan sebagainya padahal masalah yang dihadapai itu-itu saja.
Saya berfikir positif bahwa istilah-istilah itu merupakan sebuah konsep berbasis
konservasi yang diperlukan untuk membuat bumi lebih baik. Dan munculnya banyak
istilah itu merupakan bentuk pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan bumi yang lebih baik. Namun kenyataannya ??. Maaf, tanpa mengurangi rasa
kagum dan hormat saya pada para aktivis lingkungan, saya perlu menyampaikan
bahwa bukan itu semua yang akan membuat bumi jadi lebih baik. Tapi aksi dari
itu semua lah yang diperlukan.
Disorientasi telah terjadi. Banyak yang menganggap bahwa makna konservasi adalah gerakan pemulihan (recovery). Padahal konservasi memiliki pesan yang lebih besar yakni pencegahan (preventif). Inilah yang kemudian memunculkan beberapa ironi tentang gerakan-gerakan GREEN ECONOMIC, GREEN LIFESTYLE, EARTH HOUR dan sebagainya. Munculnya banyak "istilah" tersebut disadari atau tidak, telah memunculkan pertanyaan, Sebenarnya apa yang mereka lakukan dibawah bendera - bendera itu ?. Mengapa ada aktivis EarthHour di sisi lain muncul simpatisan Green Lifestyle ? Apa ada beda antar keduanya. Mengapa ada orang sangat semangat mengkampanyekan EarthHour tapi di sisi lain ia mengingkari Green Lifestyle, atau sebaliknya. Mengapa saat di alam bebas ia menjadi pecinta, namun ketika di masyarakat ia menjadi perusak ?. Mungkin ada satu jawaban yang bisa menjawab semua pertanyaan itu, yakni : "mencoba berbuat, meski sedikit, lebih baik daripada tidak sama sekali". Memang benar, tapi jawaban seperti itu menurut saya ada syarat dan batasnya dan semoga jawaban demikian tidak dieksploitasi seperti halnya pengacara koruptor selalu mengeksploitasi dalih praduga tak bersalah.
Disorientasi telah terjadi. Banyak yang menganggap bahwa makna konservasi adalah gerakan pemulihan (recovery). Padahal konservasi memiliki pesan yang lebih besar yakni pencegahan (preventif). Inilah yang kemudian memunculkan beberapa ironi tentang gerakan-gerakan GREEN ECONOMIC, GREEN LIFESTYLE, EARTH HOUR dan sebagainya. Munculnya banyak "istilah" tersebut disadari atau tidak, telah memunculkan pertanyaan, Sebenarnya apa yang mereka lakukan dibawah bendera - bendera itu ?. Mengapa ada aktivis EarthHour di sisi lain muncul simpatisan Green Lifestyle ? Apa ada beda antar keduanya. Mengapa ada orang sangat semangat mengkampanyekan EarthHour tapi di sisi lain ia mengingkari Green Lifestyle, atau sebaliknya. Mengapa saat di alam bebas ia menjadi pecinta, namun ketika di masyarakat ia menjadi perusak ?. Mungkin ada satu jawaban yang bisa menjawab semua pertanyaan itu, yakni : "mencoba berbuat, meski sedikit, lebih baik daripada tidak sama sekali". Memang benar, tapi jawaban seperti itu menurut saya ada syarat dan batasnya dan semoga jawaban demikian tidak dieksploitasi seperti halnya pengacara koruptor selalu mengeksploitasi dalih praduga tak bersalah.
Suatu ketika ada rapat yang digelar oleh para
aktivis lingkungan. Rapat berlangsung dari sore hingga larut malam. Topik pembahasannya
baik, tentang kampanye kepedulian terhadap sampah. Namun sangat disayangkan
rapat itu dibumbui kepulan asap rokok di sana-sini.
Sekali lagi saya salut kepada para pegiat
lingkungan hidup. Sayapun salut kepada adik-adik mahasiswa yang begitu semangat
jika sudah bicara tentang penghijauan, hari bumi dan sejenisnya. Namun alangkah
baiknya jika konsekuensi di balik aktivitas-aktivitas itu juga disadari.
Pecinta alam seharusnya mencintai alam
seutuhnya, di manapun dan kapanpun. Bukan hanya saat mendaki gunung mereka
mencintai alam, tapi kemudian di rumah mereka gemar membuang sampah
sembarangan. Seorang aktivis lingkungan juga bukan sekedar menjadi manager hari
bumi atau penghijauan hutan, namun juga bijak menggunakan listrik, membatasi
diri untuk tidak menonton TV dan menghidupkan laptop berjam-jam hanya untuk
bermain game atau menonton film. Berkampanye tentang pengolahan sampah juga
seharusnya tidak dilakukan dengan memasang poster sembarangan di perempatan
jalan, memasang spanduk secara acak di sudut-sudut kampus atau menyebar
selebaran dari atas mobil karena itu sama saja dengan “menyebar sampah”.
Ironi di saat orang aktif berkampanye membatasi penggunaan kantung plastik untuk berbelanja, di saat yang sama mereka justru terus memupuk kebiasaan makan di restoran cepat saji yang menggunakan kemasan plastik dan sterofoam padahal keduanya mengandung pengawet berbahaya tidak lebih sedikit dibanding kantung plastik.
Ironi di saat orang aktif berkampanye membatasi penggunaan kantung plastik untuk berbelanja, di saat yang sama mereka justru terus memupuk kebiasaan makan di restoran cepat saji yang menggunakan kemasan plastik dan sterofoam padahal keduanya mengandung pengawet berbahaya tidak lebih sedikit dibanding kantung plastik.
Saya belumlah ada apa-apanya jika
dibandingkan para aktivis lingkungan hidup. Saya hanya baru bisa membiasakan mengantungi
bungkus permen di saku celana jika tidak menemukan tempat sampah. Saya hanya
bisa membatasi diri saya untuk tidak makan di restoran fastfood.
Meskipun demikian secara pribadi juga saya
tidak menyukai istilah aktivis lingkungan. Selain kesan eksklusif yang
ditimbulkan dari penggunaan nama itu, juga karena kenyatannya banyak sekali
paradoks dan ironi yang terjadi di sana. Menurut saya bumi ini seharusnya TIDAK
butuh aktivis penyelamat bumi. Kelestarian alam juga TIDAK bergantung kepada
para aktivis pecinta alam. Sebaliknya bumi dan alam ini butuh manusia-manusia
yang konsisten dan tidak mengeksklusifkan dirinya dengan peran-peran terbatas. Semua orang
adalah pahlawan untuk lingkungan sekitarnya. Itu adalah hak, selain kewajiban
tentunya, silakan digunakan atau tidak. Yang jelas, menyelamatkan bumi ini
tidak bisa dilakukan dengan menjadi aktivis lingkungan “semata”.
Komentar
Posting Komentar