Mengabadikan momen atau mengambil
foto tidak selalu direncanakan. Kadang di tengah perjalanan menuju manapun,
atau sedang ada di tempat apapun, keinginan itu sering muncul tiba-tiba. Kegemaran
mengamati tingkah laku orang lain
beserta kondisi sekitar membuat saya suka merekam itu semua. Namun ada kalanya
sudah sedari awal hal itu saya rencanakan.
|
Usai erupsi Merapi |
Aturan untuk menghasilkan sebuah foto yang
baik telah banyak dirumuskan oleh sejumlah pakar. Namun ada yang bilang baik
atau tidaknya foto adalah masalah subyektivitas semata. Sebuah foto yang
menurut saya indah belum tentu bagus menurut orang lain. Sebaliknya sebuah foto
yang terpilih menjadi juara belum tentu menarik buat saya atau buat kita. Foto
yang diambil dengan tidak mengikuti aturan seringkali justru lebih “menarik”
ketimbang foto yang diambil secara “text book”.
Banyak hal atau parameter yang sering menjadi
dasar dan ukuran orang menilai sebuah foto. Ada yang menilai dari warnanya,
obyeknya, peristiwanya atau paramater fisik seperti kecerahan, kontras, clarity dan sebagainya. Namun demikian banyak yang sependapat kalau sebuah foto yang baik adalah yang mengandung
informasi lalu membuat penikmatnya tertarik untuk menganalisis. Nah, untuk yang
satu ini pun ternyata tak sesimpel kalimatnya. Lagi-lagi subyektivitas berperan
karena paramater warna, kontras dan sebagainya itu juga ikut menentukan kuat
lemahnya informasi dalam sebuah foto. Oleh karena itu saat mata kita membidik
gambar, tidak usah memusingkan akan sebagus apa hasilnya nanti, seberapa banyak
orang yang suka atau akan dihargai semahal apa itu nanti. Kata seorang
profesional, gunakan saja hati dan jarimu ketika memotret.
Seringkali sebuah foto yang dihasilkan dari
kegiatan memotret adalah foto yang “sakit”. Lalu kemudian banyak orang yang “mengobatinya”
dengan membawanya ke sebuab rumah sakit digital nomor 1 di dunia bernama Photoshop.
Saya sendiri sangat jarang mengobati foto
sakit dengan Photoshop. Atau merekondisi total foto-foto menggunakan Photoshop.
Sesuatu yang salah tidak harus disembunyikan bukan ??. Oleh karena itu jika menemukan
foto yang sakit ada dua kemungkinan yang sering saya lakukan. Pertama melemparkannya
ke recycle bin daripada harus “dimanipulasi” habis di Photoshop. Kedua
membiarkannya lebih lama di hardisk untuk selanjutnya saya buat sakitnya
makin “parah” dengan “sedikit” perlakuan.
Foto yang sakit mungkin memiliki
banyak "permasalahan", meski sekali lagi tidak ada foto yang benar-benar jelek 100%
atau sempurna bagusnya 100%. Namun secara umum bagi saya foto yang sakit adalah
foto yang fokusnya meleset atau malah tidak fokus di semua bagian, foto
yang komposisinya terlalu “ramai” atau foto yang warnanya agak meleset karna
keliru menentukan setting hingga foto yang diambil dari sudut yang tidak tepat
karena tergesa-gesa.
Lalu apa yang saya maksud dengan membuat foto
sakit menjadi makin “sakit parah” ?. Begini contohnya, jika foto yang saya dapat ternyata fokusnya
meleset maka saya akan membuatnya makin parah dengan menurunkan nilai clarity dan kontrasnya sampai di batas
menurut saya “pas”. Akhirnya foto yang dihasilkan memang semakin kabur, namun
menurut mata saya itu justru menarik. Dan bisa jadi orang tertipu menilai bahwa
fotografernya memang sengaja mengambil foto yang tidak fokus untuk alasan
estetika, hehehe ^^V. Berikutnya jika komposisi yang dihasilkan ternyata
terlalu “ramai” dan kaya warna, maka saya akan munurunkan saturasinya atau
membuang habis warnanya hingga menyisakan hitam dan putih. Jika foto yang
didapat ternyata kurang kontras, maka saya akan menurunkan brightness nya sementara kontras akan saya naikkan sedikit saja.
|
Dasi Kupu-kupu |
Apakah cara itu benar ?. Bisa jadi salah atau
tak digunakan oleh yang lain. Tapi ini foto saya, jadi terserah saya mau diapakan
foto itu.
|
Nanamia | Debut |
|
|
Dasi Kupu-kupu | Cinta Sudah Lewat |
|
|
Meski Senja Langit Tetap Biru |
|
Gambar Sakit |
|
|
Jelang Buka Puasa Setahun Kemarin |
|
|
|
Senja Menjelang Lebaran Setahun Kemarin | |
|
|
Lebih Dari Sekedar Cantik |
|
|
Kosong | Nanamia |
|
Dari Cermin | |
|
|
Saya menyebutnya "Manis"
"Entah apa..." |
|
|
bersambung...
Komentar
Posting Komentar