Langsung ke konten utama

TENTANG DIRIKU dua : Paradoks Aneh


Saya tidak menyukai warna HIJAU. Saya adalah penggemar berat warna BIRU, terutama biru muda dan biru tua. Namun demikian saya justru tidak terlalu menyukai pantai dan laut. Padahal tempat itu identik dengan biru. Air laut dan langit yang membatasi di atasnya adalah tempat-tempat yang paling biru. Sebaliknya meski tidak suka dengan warna hijau, juga tidak punya pakaian ataupun benda pribadi berwarna dedaunan itu, saya justru menyenangi tumbuh-tumbuhan terutama yang berbunga.

Saya lebih menyenangi kegiatan melintas hutan, bukit dan pegunungan yang hijau dan lebat dibanding menyusuri birunya laut. Paradoksnya sangat nyata jika dalam setahun saya bisa 5 kali berjalan-jalan melintasi hutan, maka saya hanya 2 kali ke pantai selama 5 tahun. Saya lebih menikmati membiarkan badan dihempas air hujan di tengah hutan ketimbang ditimpa gerimis di bibir pantai. Paradoks serupa juga berlaku jika dalam setahun saya 5 kali berjalan-jalan melintasi hutan dan  bukit , maka dalam setahun itu pula saya belum tentu masuk ke toko pakaian meski hanya untuk sekali. Mall ??. Seingat saya dalam 5 tahun ini juga baru sekali saya masuk Mall, itupun hanya setengah jam di mukanya saja.

Bagi saya tempat-tempat seperi bukit, hutan dan tempat rindang lainnya yang dipenuhi pepohonan lebih menyenangkan dan menenangkan dibanding pantai. Meski untuk menikmati indahnya bukit dan hijaunya hutan kita harus terlebih dahulu mendaki, menyusuri lembah, menerabas semak, terjatuh, tersesat dan sebagainya. Berbeda dengan pantai, orang jarang menyusuri habis garis pantai untuk menikmati keindahannya. Seringkali bahkan hanya perlu duduk berjam-berjam menatap ombak. Jadi meski melelahkan, melintasi bukit dan hutan lebih menarik buat saya ketimbang memainkan kecipak air laut, menatap ombak pecah menghantam karang atau membuat istana pasir.

Mungkin karena saya dilahirkan di sebuah kota yang sejuk di kaki gunung terbesar di pulau Jawa. Tiap pagi di masa kecil berteman dengan embun dan tetesan air yang luruh dari ujung dedaunan. Menikmati liburan masa kecil dengan melintasi pematang sawah lalu menceburkan diri ke sungai bening yang membelah puluhan hektar sawah itu. Kemudian mengunjungi rumah nenek yang bagian belakangnya penuh dengan macam sayuran hingga pohon-pohon besar. Masa kecil saya memang penuh dengan warna hijau.

Lalu mengapa justru menyenangi warna Biru ?. Saya tidak tahu alasan pastinya. Sama halnya dengan alasan mengapa saya justru tidak menyukai benda-benda pribadi yang berbalut warna hijau. Sebuah paradoks itu menjadi hal yang masih sukar saya jelaskan sebabnya.

Saya menyenangi pepohonan yang pemandangan yang dibentuknya. Tapi saya tidak suka jika warna hijau itu menempel di badan. Saya tidak menyukai birunya air laut dan deburan ombak, tapi saya sangat menyenangi jika warna itu menempel di badan.
Anggrek, salah satu alasan dan tujuan utama saya menyelusuri hutan mendaki bukit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk